Komersialisasi
Badal Haji
Makalah ini Disusun dan Diajukan untuk memenuhi
Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu:
Dr. Faqiuddin Abdul Qodir, MA
NIP. 1972123120001210004
Disusun oleh:
Syamsul Munir (1413223092)
Fakultas Syariah / Muamalah 1 / Semester
VII
KEMENTRIAN
AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI CIREBON
Tahun
2016-1017
Komersialisasi Badal Haji
ABSTRAK
Penelitian
ini dilatar belakangi karena sudah maraknya praktek badal haji yang sudah
nenjadi agenda bisni layaknya jual beli maupun layanan jasa berbayar pada
biasanya. Seperti yang sudah kita ketahui, komersialisasi itu sendiri berarti
sesuatu yang bertujuan untuk mendapat keuntungan. Sedang Badal itu berarti
menggantikan, dan Haji ialah rukun Islam yang kelima dan
wajib dikerjakan jika sudah terpenuhinya syarat materil maupun formil. Badal
Haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang atas nama orang lain
yang telah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji. Namun orang
tersebut berhalangan sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri, maka
pelaksanaan ibadah haji tersebut diserahkan kepada orang lain.[1]
Badal haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang atas nama orang
lain yang telah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji, namun karena
orang tersebut uzur (berhalangan) sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri,
maka pelaksanaan ibadah tersebut didelegasikan kepada orang lain. Badal haji
ini menjadi masalah mengingat ada beberapa ayat al-Qur’an yang dapat difahami
bahwa seseorang hanya akan mendapatkan pahala dari hasil usahanya sendiri.
Artinya, seseorang tidak dapat melakukan suatu peribadatan untuk orang lain,
pahala dari peribadatan itu tetap bagi orang yang melakukannya bukan bagi orang
lain. Disamping itu ada juga hadis Nabi saw yang menerangkan bahwa seorang anak
dapat melaksanakan ibadah haji untuk orang tuanya atau seseorang melaksanakan
haji untuk saudaranya yang telah uzur baik karena sakit, usia tua atau telah
meninggal dunia, padahal ia sudah berkewajiban untuk menunaikan ibadah haji.[2]
A. Latar
Belakang
Setiap orang Islam tentu mendambakan
untuk menunaikan ibadah haji
untuk memenuhi rukun Islam yang kelima,
bagi umat Islam yang bermukim
disekitar tanah Arab, pergi menunaikan ibadah haji mungkin tidak menjadi
masalah karena berdekatan tempat tinggal mereka. Tetapi bagi umat Islam
yang berada di Asia Tenggara
diantaranya; Cina, Jepang, Malaysia, Indonesia dan beberapa
negara lainnya, perjalanan
ke Makkah merupakan pengembaraan yang
mengagumkan. Berbagai cara
ditempuh baik dengan kapal
laut yang memakan
waktu berminggu-minggu, berjalan
kaki atau naik kendaraan darat yang memakan waktu
berminggu-minggu, berjalan kaki atau naik kendaraan darat yang memakan waktu
berbulan-bulan. Sekarang dengan bertambah
majunya ilmu pengetahuan
dan makin lancarnya
transportasi kemudahan sudah banyak
didapatkan.[3] Agama
Islam bertugas mendidik dzahir manusia, mensucikan jiwa manusia, dan
membebaskan diri manusia dari hawa nafsu. Dengan ibadah yang tulus ikhlas dan
aqidah yang murni sesuai kehendak Allah, insya Allah akan menjadi orang yang
beruntung. Ibadah dalam agama Islam banyak macamnya. Haji dan umroh adalah
salah satunya. Haji merupakan rukun iman yang kelima setelah syahadat, sholat,
zakat, dan puasa. Ibadah haji adalah ibadah yang baik karena tidak hanya
menahan hawa nafsu dan menggunakan tenaga dalam mengerjakannya, namun juga
semangat dan harta.
Ibadah Haji adalah perjalanan rohani
menuju rahmat dan karunia Allah swt, ia merupakan salah satu dari kelima pilar
penyangga tegaknya agama islam di muka bumi yang disyariatkan oleh Allah swt
kepada hamba-hambanya. Kita sebagai umat islam tentu harus tetap menjaga supaya
ibadah haji ini menjadi pilar yang semakin memperkokoh pondasi islam, bukan
sebaliknya. Yaitu dengan cara mengamalkan sesuai dengan rukun, syarat, dan
ketentuan-ketentuan yang ada. Ibadah haji juga sebagai penyempurna dari Rukun
Islam. Bahkan as-Sayyid as-Sabiq mengatakan sekiranya ada orang yang
mengingkari kewajibannya maka sungguh dia telah kafir dan keluar dari agama
Islam.
Seiring
dengan perkembangan zaman yang semakin modern, kini mulai muncul program
pemerintah mengenai pelaksanaan haji yaitu Komersialisasi Badal Haji. Sebagaimana firman
Allah SWT dalam QS. al-Hajj: 27
adalah sebagai berikut :
bÏir&ur Îû Ĩ$¨Y9$# Ædkptø:$$Î/ qè?ù't Zw%y`Í 4n?tãur Èe@à2 9ÏB$|Ê úüÏ?ù't `ÏB Èe@ä. ?dksù 9,ÏJtã ÇËÐÈ
“dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus[984] yang
datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS. Al-Hajj:27)[4]
[984] Unta yang kurus menggambarkan jauh
dan sukarnya yang ditempuh oleh jemaah haji.
B. Identifikasi
Masalah
1.
Bagaimana hukum pelaksanaan Badal Haji?
2.
Bagaimana hukum orang membayar jasa Badal Haji?
3.
Bagaimana hukum Badal Haji jika dilakukan orang
lain?
C. Gagasan
Yang ingin disampaikan
1.
Pada dasarnya, setiap orang boleh menjadikan
pahala dari amal perbuatannya untuk orang lain seperti shalat, puasa, sadaqah,
dan lain sebagainya (termasuk dalam hal ini membaca al-Qur`an dan berzikir),
menurut golongan ahlu as-Sunnah wal Jama’ah.[5]
Hal ini menunjukan bahwa dalam haji sekalipun, apabila digantikan oleh orang
lain maka pahala haji tetap menjadi milik orang yang digantikan. Pendapat ini
masyhur dikalangan mazhab Hanafi, dengan syarat bahwa ongkos yang dikeluarkan
untuk haji berasal dari harta peninggalan atau sebagian besar harta yang
digunakan milik orang yang memerintah.
Ibadah dilihat dari segi sarana
dapat dibagi kedalam tiga bagian yaitu;[6]
1.
Ibadah
badan semata-mata, dan
tidak memerlukan harta
benda, seperti puasa dan shalat.
2.
Ibadah
harta semata-mata, dan
tidak mempengarui badan
dan pekerjaan, seperti zakat.
3.
Gabungan
antara harta dan badan,
seperti haji. Haji merupakan
ibadah yang membutuhkan pekerjaan
seperti : tawaf, sa’i, dan
melempar, juga membutuhkan harta
sebagai ongkos perjalanan
dan keperluan-keperluan lainnya.[7]
D. Argumentasi-argumentasi
Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa
kewajiban haji gugur
kalau dari segi kewajiban fisik (badan), tapi kalau dia berwasiat agar
mengeluarkan upah haji, maka
ahli warisnya harus mengeluarkan spertiga hartanya dari upah
haji, sebagaimana wasiat untuk
kebaikan-kebaikan yang lain,
tetapi apabila tidak berwasiat, kewajiban itu tidak wajib diganti.[8]
Sedangkan menurut Imam Shafi’i, haji
wajib dilaksanakan sendiri, dan
kalau tidak melaksanakan,
kewajiban itu tidak
gugur karena meninggal dunia, sebab
dia mempunyai kemampuan
di bidang harta
namum fisiknya tidak mampu, wajib
mewakilkan hajinya agar
dijalani orang lain
atas nama orang yang
fisiknya tidak mampu.
dan dia wajib
mengeluarkan uang sesuai dengan
onkos haji dari
harta warisannya, kalau
dia tidak berwasiat
untuk mengeluarkan ongkos (upah) haji.[9]
E. Penutup
1.
Dari penjelasan diatas terhadap pendapat Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi’i tentang upah badal haji maka penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut: Dalam upah badal haji Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa seseorang di haramkan untuk
mengambil upah badal haji. Adapun upah berbuat taat, di dalam mazhab Hanafi
berpendapat bahwa, ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa
orang lain untuk
shalat, atau puasa,
atau mengerjakan haji, atau
membaca al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada (yang menyewa), atau untuk azan, atau
untuk menjadi imam manusia atau hal-hal yang
serupa itu, tidak
dibolehkan, dan hukumnya
haram mengambil upah tersebut.[10]
berdalil kepada sabda Nabi saw. Yang artinya;
“Bacalah al-Quran
Janganlah kalian mengkhianatinya,janganlah kalian berpaling darinya,
janganlah kalian makan
darinya, dan janganlah kalian menginginkan banyak
(mendapat harta) dengannya”.[11]
2. Imam Abu Hanifah
dan Imam Shafi’i
sama-sama berpendapat bahwa istilah (kemampuan secara finansial)
sebagai syarat wajib haji, sehingga seseorang
yang dipandang mampu
untuk melaksanakan ibadah
haji, agar supaya segera
melaksanakannya. Apabila seseorang meninggal sebelum melaksanakan haji,
maka menurut Imam
Abu Hanifah tidak
diwajibkan untuk
menghajikannya karena kewajiban
haji tersebut telah
gugur, kecuali apabila dia berwasiat dan di haruskan mengeluarkan 1/3
dari harta warisnya. Sedangkan menurut Imam
Shafi’i, kewajiban haji
tidaklah gugur dengan meninggalnya seseorang
yang memungkinkan untuk melaksanakannya sebelum dia meninggal,
dengan harta warisnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Tarjih,
Majelis, and P. P. Muhammadiyah. "Badal Haji." Badal Haji 338 (2009).
Tarjih,
Majelis, and P. P. Muhammadiyah. "Fatwa Seputar Badal Haji dan
Umrah." Fatwa Seputar Badal Haji dan Umrah (2011).
Zakiah Darajad, Haji Ibadah
yang Unik, (Jakarta, Ruhama, Cet. ke-6, 1994),
7.
Agus Abdurrahim
Dahlan, AL-JUMA<NATUL
HA<DI< Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit
J-Art, 2006), 255.
Ibn
al-Himam, Syarah Fath al-Qadar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), III, hlm. 142.
Muhammad
Jawad Mugh{niyah, al-Fiqhu ‘ala> al-madza>h}ibi al-kh{amsah.alih bahasa:
Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kahff, cet . ke-2, (Jakarta: PT Lentera
Basritama, 1996), 212.
Muchtar
Adam, Tafsir Ayat-Ayat Haji, Telaah intensif dari pelbagai mazh}ab, (Bandung:
Mizan, 1997), 44-45.
Muhammad
Jawad Mughniyah, al-Fiqh...., 212-213
Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, (Beirut: Dar al-fikr, 1995),
257.
Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah 13,(Bandung: PT Alma’arif, cet. pertama, 1987), 14.
Hasan Muhammad
Ayyub, Panduan Beribadah Khusus
Pria; Menjalankan Ibadah
Sesuai Tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah, Cet. I (Jakarta: Almahira,
2007), 661.
[1] Tarjih, Majelis, and P. P. Muhammadiyah. "Badal Haji."
Badal Haji 338 (2009).
[2] Tarjih, Majelis, and P. P. Muhammadiyah. "Fatwa Seputar Badal
Haji dan Umrah." Fatwa Seputar Badal Haji dan Umrah (2011).
[4] Agus Abdurrahim Dahlan, AL-JUMA<NATUL HA<DI<
Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV
Penerbit J-Art, 2006), 255.
[5] Ibn al-Himam, Syarah Fath al-Qadar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t),
III, hlm. 142.
[6] Muhammad Jawad Mugh{niyah, al-Fiqhu ‘ala>
al-madza>h}ibi al-kh{amsah.alih bahasa: Masykur, Afif Muhammad, Idrus
al-Kahff, cet . ke-2, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996), 212.
[7] Muchtar Adam, Tafsir Ayat-Ayat Haji, Telaah intensif dari pelbagai
mazh}ab, (Bandung: Mizan, 1997), 44-45.
[8] Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh...., 212-213
[9] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, (Beirut: Dar
al-fikr, 1995), 257.
[10] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13,(Bandung: PT Alma’arif, cet. pertama,
1987), 14
[11] Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah
Khusus Pria; Menjalankan
Ibadah Sesuai Tuntunan al-Qur’an
dan as-Sunnah, Cet. I (Jakarta: Almahira, 2007), 661.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar