Rabu, 14 Desember 2016

Syamsul Munir - Komersialisasi Badal Haji



Komersialisasi Badal Haji
Makalah ini Disusun dan Diajukan untuk memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Masail Fiqhiyah

Dosen Pengampu:
Dr. Faqiuddin Abdul Qodir, MA
NIP. 1972123120001210004




Disusun oleh:
Syamsul Munir (1413223092)


Fakultas Syariah / Muamalah 1 / Semester VII
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
Tahun 2016-1017



Komersialisasi Badal Haji
ABSTRAK
            Penelitian ini dilatar belakangi karena sudah maraknya praktek badal haji yang sudah nenjadi agenda bisni layaknya jual beli maupun layanan jasa berbayar pada biasanya. Seperti yang sudah kita ketahui, komersialisasi itu sendiri berarti sesuatu yang bertujuan untuk mendapat keuntungan. Sedang Badal itu berarti menggantikan, dan Haji ialah rukun Islam yang kelima dan wajib dikerjakan jika sudah terpenuhinya syarat materil maupun formil. Badal Haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang atas nama orang lain yang telah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji. Namun orang tersebut berhalangan sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri, maka pelaksanaan ibadah haji tersebut diserahkan kepada orang lain.[1] Badal haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang atas nama orang lain yang telah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji, namun karena orang tersebut uzur (berhalangan) sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri, maka pelaksanaan ibadah tersebut didelegasikan kepada orang lain. Badal haji ini menjadi masalah mengingat ada beberapa ayat al-Qur’an yang dapat difahami bahwa seseorang hanya akan mendapatkan pahala dari hasil usahanya sendiri. Artinya, seseorang tidak dapat melakukan suatu peribadatan untuk orang lain, pahala dari peribadatan itu tetap bagi orang yang melakukannya bukan bagi orang lain. Disamping itu ada juga hadis Nabi saw yang menerangkan bahwa seorang anak dapat melaksanakan ibadah haji untuk orang tuanya atau seseorang melaksanakan haji untuk saudaranya yang telah uzur baik karena sakit, usia tua atau telah meninggal dunia, padahal ia sudah berkewajiban untuk menunaikan ibadah haji.[2]




A.    Latar Belakang
            Setiap  orang Islam tentu  mendambakan  untuk  menunaikan  ibadah haji  untuk  memenuhi  rukun Islam yang  kelima,  bagi  umat Islam yang bermukim disekitar tanah Arab, pergi menunaikan ibadah haji mungkin tidak menjadi masalah karena berdekatan tempat tinggal mereka. Tetapi bagi umat Islam yang  berada  di  Asia  Tenggara  diantaranya; Cina,  Jepang,  Malaysia, Indonesia dan  beberapa  negara lainnya, perjalanan  ke  Makkah  merupakan pengembaraan  yang  mengagumkan.  Berbagai  cara  ditempuh  baik  dengan kapal  laut  yang  memakan  waktu  berminggu-minggu,  berjalan  kaki  atau  naik kendaraan darat yang memakan waktu berminggu-minggu, berjalan kaki atau naik kendaraan darat yang memakan waktu berbulan-bulan. Sekarang dengan bertambah  majunya  ilmu  pengetahuan  dan  makin  lancarnya  transportasi kemudahan  sudah  banyak  didapatkan.[3] Agama Islam bertugas mendidik dzahir manusia, mensucikan jiwa manusia, dan membebaskan diri manusia dari hawa nafsu. Dengan ibadah yang tulus ikhlas dan aqidah yang murni sesuai kehendak Allah, insya Allah akan menjadi orang yang beruntung. Ibadah dalam agama Islam banyak macamnya. Haji dan umroh adalah salah satunya. Haji merupakan rukun iman yang kelima setelah syahadat, sholat, zakat, dan puasa. Ibadah haji adalah ibadah yang baik karena tidak hanya menahan hawa nafsu dan menggunakan tenaga dalam mengerjakannya, namun juga semangat dan harta.

            Ibadah Haji adalah perjalanan rohani menuju rahmat dan karunia Allah swt, ia merupakan salah satu dari kelima pilar penyangga tegaknya agama islam di muka bumi yang disyariatkan oleh Allah swt kepada hamba-hambanya. Kita sebagai umat islam tentu harus tetap menjaga supaya ibadah haji ini menjadi pilar yang semakin memperkokoh pondasi islam, bukan sebaliknya. Yaitu dengan cara mengamalkan sesuai dengan rukun, syarat, dan ketentuan-ketentuan yang ada. Ibadah haji juga sebagai penyempurna dari Rukun Islam. Bahkan as-Sayyid as-Sabiq mengatakan sekiranya ada orang yang mengingkari kewajibannya maka sungguh dia telah kafir dan keluar dari agama Islam.

Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern, kini mulai muncul program pemerintah mengenai pelaksanaan haji yaitu Komersialisasi Badal Haji. Sebagaimana  firman  Allah  SWT dalam QS. al-Hajj: 27 adalah sebagai berikut :
bÏiŒr&ur Îû Ĩ$¨Y9$# Ædkptø:$$Î/ šqè?ù'tƒ Zw%y`Í 4n?tãur Èe@à2 9ÏB$|Ê šúüÏ?ù'tƒ `ÏB Èe@ä. ?dksù 9,ŠÏJtã ÇËÐÈ  
dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus[984] yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS. Al-Hajj:27)[4]

[984] Unta yang kurus menggambarkan jauh dan sukarnya yang ditempuh oleh jemaah haji.

B.     Identifikasi Masalah
1.      Bagaimana hukum pelaksanaan Badal Haji?
2.      Bagaimana hukum orang membayar jasa Badal Haji?
3.      Bagaimana hukum Badal Haji jika dilakukan orang lain?

C.     Gagasan Yang ingin disampaikan
1.      Pada dasarnya, setiap orang boleh menjadikan pahala dari amal perbuatannya untuk orang lain seperti shalat, puasa, sadaqah, dan lain sebagainya (termasuk dalam hal ini membaca al-Qur`an dan berzikir), menurut golongan ahlu as-Sunnah wal Jama’ah.[5] Hal ini menunjukan bahwa dalam haji sekalipun, apabila digantikan oleh orang lain maka pahala haji tetap menjadi milik orang yang digantikan. Pendapat ini masyhur dikalangan mazhab Hanafi, dengan syarat bahwa ongkos yang dikeluarkan untuk haji berasal dari harta peninggalan atau sebagian besar harta yang digunakan milik orang yang memerintah.
                  
Ibadah dilihat dari segi sarana dapat dibagi kedalam tiga bagian yaitu;[6]
1.      Ibadah  badan  semata-mata,  dan  tidak  memerlukan  harta  benda,  seperti puasa dan shalat.
2.      Ibadah  harta  semata-mata,  dan  tidak  mempengarui  badan  dan  pekerjaan, seperti zakat.
3.      Gabungan  antara harta  dan  badan,  seperti  haji. Haji  merupakan  ibadah yang  membutuhkan  pekerjaan  seperti  : tawaf, sa’i,  dan  melempar,  juga membutuhkan  harta  sebagai  ongkos  perjalanan  dan  keperluan-keperluan lainnya.[7]
D.    Argumentasi-argumentasi
            Imam  Abu Hanifah  berpendapat  bahwa  kewajiban  haji  gugur  kalau dari segi kewajiban fisik (badan), tapi kalau dia berwasiat agar mengeluarkan upah  haji,  maka  ahli  warisnya  harus  mengeluarkan  spertiga hartanya  dari upah  haji,  sebagaimana wasiat  untuk  kebaikan-kebaikan  yang  lain,  tetapi apabila tidak berwasiat, kewajiban itu tidak wajib diganti.[8]
            Sedangkan menurut Imam Shafi’i,  haji  wajib  dilaksanakan  sendiri, dan  kalau  tidak  melaksanakan,  kewajiban  itu  tidak  gugur  karena  meninggal dunia,  sebab  dia  mempunyai  kemampuan  di  bidang  harta  namum  fisiknya tidak mampu,  wajib  mewakilkan  hajinya  agar  dijalani  orang  lain  atas  nama orang  yang  fisiknya  tidak  mampu.  dan  dia  wajib  mengeluarkan  uang  sesuai dengan  onkos  haji  dari  harta  warisannya,  kalau  dia  tidak  berwasiat  untuk mengeluarkan ongkos (upah) haji.[9]
E.     Penutup
1.      Dari penjelasan diatas terhadap pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i tentang upah badal haji maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: Dalam upah badal haji Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa  seseorang di haramkan untuk mengambil upah badal haji. Adapun upah berbuat taat, di dalam mazhab Hanafi berpendapat bahwa, ijarah dalam perbuatan taat seperti  menyewa  orang  lain  untuk  shalat,  atau  puasa,  atau  mengerjakan haji,  atau  membaca al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada  (yang menyewa), atau untuk azan, atau untuk  menjadi imam manusia atau hal-hal  yang  serupa  itu,  tidak  dibolehkan,  dan  hukumnya  haram  mengambil upah tersebut.[10] berdalil kepada sabda Nabi saw. Yang artinya;
“Bacalah  al-Quran  Janganlah  kalian  mengkhianatinya,janganlah kalian berpaling  darinya,  janganlah  kalian  makan  darinya,  dan janganlah   kalian menginginkan   banyak   (mendapat   harta) dengannya”.[11]
2.      Imam  Abu  Hanifah  dan  Imam  Shafi’i  sama-sama  berpendapat  bahwa istilah (kemampuan secara finansial) sebagai syarat wajib haji, sehingga seseorang  yang  dipandang  mampu  untuk  melaksanakan  ibadah  haji,  agar supaya  segera  melaksanakannya.  Apabila  seseorang meninggal  sebelum melaksanakan  haji,  maka  menurut  Imam  Abu  Hanifah  tidak  diwajibkan untuk   menghajikannya   karena   kewajiban   haji   tersebut   telah   gugur, kecuali apabila dia berwasiat dan di haruskan mengeluarkan 1/3 dari harta warisnya.  Sedangkan  menurut Imam  Shafi’i,  kewajiban  haji  tidaklah gugur   dengan   meninggalnya   seseorang   yang   memungkinkan   untuk melaksanakannya sebelum dia meninggal, dengan harta warisnya.












DAFTAR PUSTAKA
Tarjih, Majelis, and P. P. Muhammadiyah. "Badal Haji." Badal Haji 338 (2009).
Tarjih, Majelis, and P. P. Muhammadiyah. "Fatwa Seputar Badal Haji dan Umrah." Fatwa Seputar Badal Haji dan Umrah (2011).
 Zakiah Darajad, Haji Ibadah yang Unik, (Jakarta, Ruhama, Cet. ke-6, 1994),  7.
Agus  Abdurrahim  Dahlan, AL-JUMA<NATUL  HA<DI<  Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV  Penerbit J-Art, 2006), 255.
Ibn al-Himam, Syarah Fath al-Qadar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), III,  hlm. 142.
Muhammad Jawad Mugh{niyah, al-Fiqhu ‘ala> al-madza>h}ibi al-kh{amsah.alih bahasa: Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kahff, cet . ke-2, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996),  212.
Muchtar Adam, Tafsir Ayat-Ayat Haji, Telaah intensif dari pelbagai mazh}ab, (Bandung: Mizan, 1997), 44-45.
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh...., 212-213
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, (Beirut: Dar al-fikr, 1995), 257.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13,(Bandung: PT Alma’arif, cet. pertama, 1987), 14.
Hasan   Muhammad   Ayyub, Panduan   Beribadah   Khusus   Pria;   Menjalankan   Ibadah   Sesuai Tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah, Cet. I (Jakarta: Almahira, 2007), 661.


[1] Tarjih, Majelis, and P. P. Muhammadiyah. "Badal Haji." Badal Haji 338 (2009).
[2] Tarjih, Majelis, and P. P. Muhammadiyah. "Fatwa Seputar Badal Haji dan Umrah." Fatwa Seputar Badal Haji dan Umrah (2011).
[3] Zakiah Darajad, Haji Ibadah yang Unik, (Jakarta, Ruhama, Cet. ke-6, 1994),  7.
[4] Agus  Abdurrahim  Dahlan, AL-JUMA<NATUL  HA<DI<  Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV  Penerbit J-Art, 2006), 255.
[5] Ibn al-Himam, Syarah Fath al-Qadar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), III,  hlm. 142.
[6] Muhammad Jawad Mugh{niyah, al-Fiqhu ‘ala> al-madza>h}ibi al-kh{amsah.alih bahasa: Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kahff, cet . ke-2, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996),  212.
[7] Muchtar Adam, Tafsir Ayat-Ayat Haji, Telaah intensif dari pelbagai mazh}ab, (Bandung: Mizan, 1997), 44-45.
[8] Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh...., 212-213
[9] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, (Beirut: Dar al-fikr, 1995), 257.
[10] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13,(Bandung: PT Alma’arif, cet. pertama, 1987), 14
[11] Hasan   Muhammad   Ayyub, Panduan   Beribadah   Khusus   Pria;   Menjalankan   Ibadah   Sesuai Tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah, Cet. I (Jakarta: Almahira, 2007), 661.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar