IJARAH MUNTAHIYA BI AL-TAMLIK DI BANK SYARIAH
Disusun
Oleh:
NUR INDAH FITRO SETIANI
1413222040
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
Abstrak
Ijarah
Muntahiya Bi Al-tamlik di Bank Syariah. Krisis
iman, krisis ekonomi dewasa ini ditambah dengan pertumbuhan jumlah penduduk
yang demikian tinggi di Negara ini. Semakin besar kebutuhan pribadi yang harus
dipenuhi dengan keterbatasan dana dan keuangan, kadang mendorong seorang muslim
untuk mencari kesempatan dan cara yang dianggapnya tepat dan pas tanpa bertanya
hukumnya dahulu. Apalagi dipacu oleh upaya produsen dan industry dalam
memasarkan produknya kemasyarakat yang tanpa memandang halal dan haram. Maka
bermunculanlah beragam mu’amalah dengan beraneka ragam cara dan coraknya.
Diantaranya adalah sewa beli atau dikenal dengan istilah leasing di masyarakat
kita dan mulai dikenal dengan istilah lain oleh lembaga keuangan syariah dengan
nama ijarah muntahiyah bi al-tamlik
(IMBT). Akad pembiayaan ijarah muntahiyah
bi al-tamlik ini timbul dalam praktek perbankan karena adanya tuntutan
kebutuhan yang semakin berkembang dalam masyarakat, yang mana ternyata tidak
diikuti dengan peningkatan kondisi keuangan yang signifikan, sehingga tidak
dapat mengimbangi pemenuhan akan berbagai kebutuhan tersebut. Pihak-pihak yang
terkait dalam pembiayaan ini adalah bank syariah, nasabah dan supplier. Hak
kepemilikan obyek pembiayaan selama masa ijarah
masih tetap pada bank syariah, ada baru kemudian apabila masa ijarah telah selesai atau apabila pihak
nasabah telah memenuhi segala kewajibannya maka hak kepemilikan obyek ijarah muntahiyah bi al-tamlik tersebut
baru beralih kepada nasabah, baik dengan akad jual beli atau hibah sesuai
dengan kesepakatan dari para pihak.
Kata
kunci: murabahah, leasing, ijarah, ijarah muntahiyah bi al-tamlik
Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer,
sekunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan perekonomian
masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang ditawarkan
oleh lembaga keuangan bank salah satunya sewa guna usaha (leasing), dimana
kegiatan pembiayaan ini berdasarkan prinsip syariah yang
menggunakan akad Ijarah dan Ijarah Muntahiyah Bittamlik.
Transaksi model ini adalah bentuk pengembangan dari jual beli kredit (ba’I at-taqsith) dan dikenal dengan
jual beli kredit dengan menjaga status kepemilikan (untuk penjual) sampai
ansurannya lunas (Vent Atem Cerment).
A.
Pengertian
Ijarah Muntahia Bittamlik
Menurut
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 dan Peraturan Bank Indonesia akad ijarah muntahiya
bittamlik" adalah Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna
atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi
pemindahan kepemilikan barang.
Ijarah
Muntahiya Bittamlik adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa
lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan si
penyewa. Sifat permindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah
biasa[1].
B.
Rukun
dan Syarat Ijarah Muntahia Bittamlik
Dalam
semua pembiayan murabahab, termasuk pembiayaan KPR syariah, terdapat rukun
ijarah muntahia bittamlik diantaranya:
1. Adanya
pihak yang berakad.
2. Objek
yang diakadkan.
3. Akad/sighat
Dengan
mengacu pada murobahah dapat disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
dalam transaksi KPR Syariah adalah sebagai berikut:
1. Pihak
bank harus memberitahukan biaya pembelian rumah kepada nasabah
2. Kontrak
transaksi harus sah dan terbebas dari riba.
3. Objek
transaksi jelas.
4. Penjual
harus menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan proses perolehan barang
tersebut.
Selain
itu juga, dalam pelaksanaan akad IMBT ada ketentuan ketentuan yang bersifat
umum dan ketentuan bersifat khusus. Adapun ketentuan yang bersifat umum dalam
akad ijarah muntahiya bittamlik sebagai berikut:
1. Rukun
dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula dalam aqad IMBT.
2. Perjanjian
untuk melakukan akad IMBT harus disepakati ketika akad ijarah ditandatangani,
3. Hak
dan kewajiban setiap pihak dijelaskan dalam aqad.
Sedangkan
ketentuan yang bersifat khusus dalam akad ijarah muntahiya bittamlik sebagai
berikut[2]:
1. Pihak
yang melakukan IMBT harus melakukan akad ijarah terlebih dahulu. Akad
pemindahan kepemilikan baik dengan jual beli (bai’) atau pemberian (hibah)
hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.
2. Janji
pemindahan kepemilikan yang disepakati diawal akad ijarah adalah wa’ad (janji)
yang hukumnya tidak mengikat. Apabila wa’ad (janji) dilaksanakan, maka pada
akhir masa ijarah (sewa) wajib dibuat akad pemindahan kepemilikan. Artinya
dalam akad IMBT tidak bertentangan dengan prinsip syariah yaitu melarang 2
(dua) akad dalam satu perjanjian. Namun Ijarah Muntahiya Bittamlik memiliki
perbedaan dengan leasing konvensional.
C.
Landasan
Hukum Ijarah Muntahia Bittamlik
1. Bersumber
Al-Quran
Sebagai suatu transaksi yang
bersifat tolong menolong, ijarah mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Quran
dan Hadist. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab
yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari
Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslimin di wilayah yang
ditaklukkan. Langkah alternatif dari larangan ini adalah membudayakan tanah
berdasarkan pembayaran Kharaj dan Jizyah. Landasan ijarah disebut secara terang
dalam Al-Qur’an dan Hadist.Dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 233 Allah
menjelaskan bahwa :
“dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa tidak berdosa jika ingin mengupahkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus membayar upah terhadap pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ingin anak-anak disusui oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa asalkan kita membayar upah. Jika dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan kebolehan untuk menyewa jasa orang lain dalam melakukan sesuatu pekerjaan yang kita butuhkan. Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa tidak berdosa jika ingin mengupahkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus membayar upah terhadap pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ingin anak-anak disusui oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa asalkan kita membayar upah. Jika dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan kebolehan untuk menyewa jasa orang lain dalam melakukan sesuatu pekerjaan yang kita butuhkan.
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa tidak berdosa jika ingin mengupahkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus membayar upah terhadap pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ingin anak-anak disusui oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa asalkan kita membayar upah. Jika dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan kebolehan untuk menyewa jasa orang lain dalam melakukan sesuatu pekerjaan yang kita butuhkan. Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa tidak berdosa jika ingin mengupahkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus membayar upah terhadap pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ingin anak-anak disusui oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa asalkan kita membayar upah. Jika dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan kebolehan untuk menyewa jasa orang lain dalam melakukan sesuatu pekerjaan yang kita butuhkan.
2. Bersumber
Hadits
Dan Rasullullah SAW bersabda dalam
sebuah riwayat :
إحتجمواعطالحجامااجرهه
Artinya : Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda : “berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”. (H.R. Bukhari dan Muslim.
Artinya : Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda : “berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”. (H.R. Bukhari dan Muslim.
Hadist diatas mengidentifikasi
bahwa pada masa Rasulullah juga pernah terjadi transaksi ijarah, yaitu dengan
cara Rasulullah memerintahkan kepada orang yang dibekam untuk memberikan upah
kepada tukang bekam disebarkan dia telah menyelesaikan bekam. Dalam riwayat
lain Nabi juga bersabda :
إأعطواالأجيرأجرهقبل أن يجف عرقه
Artinya : Dari Ibnu Umar, bahwa
Rasullah bersabda : “Berikanlah upah
pekerja sebelum keringatnya kering” (H.R Ibnu Majah).
Dalam hadit di atas menggunakan
makna yaitu setiap penyewaan keahlian (jasa) seseorang harus dibayar upahnya
secepatnya sebelum keringat pekerja tersebut kering, jangan sampai diundur-undurkan.
Penekanan hadist ini sangat jelas bahwa jangan sekali-kali pembayaran upah itu
dilakukan ketika seseorang itu telah menjadi lemah atau ketika orang tersebut
sudah sakit, karena dengan upah tersebut penyewa bisa menggunakan upah tersebut
untuk keperluaanya[3].
D.
Pro
dan Kontra dalam Kajian Masail Fiqiyah
Hubungan antara 2 pihak yang
melakukan sewa-menyewa atau dalam ilmu fiqh muamalat disebut sebagai ijarah.
Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefenisikan ijarah. Ulama Hanafiyah
mendefinisikan ijarah sebagai suatu transaksi terhadap manfaat dengan imbalan.
Sedangkan ulama Syafi’iyah mendefinisikannya ijarah sebagai suatu transaksi
terhadap manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan
dengan imbalan tertentu.
Sejatinya, dalam akad Ijarah tidak
ada pemindahan kepemilikan / transfer of title atas barang yang disewakan.
Namun, jika pihak penyewa menginginkan adanya pemindahan kepemilikan atas
barang tersebut, maka dapat dilakukan dengan opsi penjualan dan atau opsi hibah
di akhir akad. Atas transaksi sewa yang ingin diakhiri dengan pemindahan
kepemilikan, maka dalam khazanah fiqh muamalat kontemporer dikenal dengan
istilah Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT).
Pada
prinsipnya terdapat kesepakatan di kalangan para sahabat bahwa dibolehkan
melakukan aqad ijarah dalam kehidupan bermuamalah. Alasan ini mereka
membolehkan aqad ini adalah karena sewa merupakan jual manfaat yang dibutuhkan,
namun ketika kontrak yang dibuat terhadap manfaat ini tidak dapat diserah
terimakan, inilah sebabnya ada ulama yang mengatakan aqad ini tidak boleh,
karena tidak dapat diserah terimakan seperti pada aqad jual beli.
Dasarkan
hukum ijarah muntahiya bittamlik menurut pendapat ualam masih terdapat
perbedaan mengenai kebolehannya, sebagian yang kontroversi berlakunya transaksi
ijarah di kalangan ulama madzhab yaitu tentang sewa yang diakhiri dengan
pemilikan atau hibah bersyarat. Ulama madzhab Hanafi, Syafi’I, dan Zaidiyah,
dan Imamiyah membolehkan aqad ijarah muntahiya bittamlik ini, sedangkan ulama
madzab Hambali, sebagian ulama madzhab Hanafi, dan madzhab Maliki, tidak
membolehkannya.
Perbedaan
pendapat ulama tersebut dikarenakan masing-masing mempunyai perbedaan pemahaman
tentang kerelasi aqad ijarah dengan hibah, tetapi walaupun demikian eksistensi
ijarah ini dapat dilakukan boleh, karena didasarkan pada salah satu pendapat
ulama yang mengatakan boleh hukumnya.
Hibah
ini bersifat mengikat terhadap masa akan datang. Hukumnya boleh menurut
ketentuan Fiqh Islam. Demikian pula dalam jual beli yang bersifat mengikat
dengan waktu. Misalnya, “jika anda telah menyelesaikan cicilan sewa pada masa
tertentu, maka saya menjual barang ini kepada anda”. Praktek ini dibenarkan
menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim.
Selain
itu menurut para ulama perpindahan kepemilikan secara otomatis seperti
cara-cara diatas tidak perlu membuat kontrak baru. Hal ini dipertegas dengan
fatwa DSN-MUI bahwa pihak yang melakukan ijarah muntahiya bittamlik harus
melaksanakan aqad ijarah terlebih dahulu. Aqad pemindahan kepemilikan, baik
dengan jual beli maupun pemberian (hibah), hanya dapat dilakukan setelah masa
ijarah selesai.
Dari
penjelasan di atas, menurut pendapat saya bahwa ijarah itu hukumnya boleh dan
begitu juga dengan ijarah muntahiya bittamlik juga boleh, karena tidak ada
dalil yang mengharamkannya.
E. Ketentuan Teknis Pelaksanaan IMBT
Pelaksanaan IMBT sebenarnya memiliki
banyak bentuk tergantung apa yang disepakati oleh kedua pihak yang berkontrak.
Dalam hal ini berlaku kaidah substance over form, yaitu maksud tujuan akad
lebih diutamakan ketimbang bentuk akad itu sendiri.
Merujuk Fatwa Dewan Syariah Nasional
No.7/DSN-MUI/III/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Al-Ijarah
Al-Muntahiya Bi Al-Tamlik[4],
berikut ketentuan teknis yang harus diperhatikan oleh Lembaga Keuangan Syariah
(LKS) yang ingin menerapkan IMBT dalam produk pembiayaan :
1. Perjanijian untuk melakukan IMBT
harus disepakati ketika akad Ijarah ditandatangani.
2. Pihak yang melakukan IMBT harus
melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu, akad pemindahan kepemilikan baik
dengan jual beli atau pemberian hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah
selesai.
3. Janji pemindahan kepemilikan yang
disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d, yang hukumnya tidak mengikat.
Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan
kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Mengingat,
ketentuan ijarah berlaku pula pada akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT), maka
LKS, khususnya Bank Syariah wajib memperhatikan ketentuan sebagai berikut :
1. Bank dapat membiayai pengadaan objek
sewa berupa barang yang telah dimiliki bank.
2. Bank wajib menyediakan barang sewa,
menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas barang sewa serta ketetapan waktu
penyediaan barang sewa sesuai kesepakatan.
3. Bank wajib menanggung biaya
pemeliharaan barang/asset sewa yang sifatnya materiil dan struktural sesuai
kesepakatan.
4. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah
untuk mencarikan barang yang akan disewakan oleh nasabah.
5. Nasabah wajib membayar sewa secara
tunai dan menjaga keutuhan barang sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan
barang sewa sesuai dengan kesepakatan.
6. Nasabah tidak bertanggung jawab atas
kerusakan barang sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran perjanjian atau
kelalaian nasabah.
Contoh:
A : Rumah milik Developer PT.
Makmur
B : Nasabah mengajukan permohonan
pembiayaan untuk memiliki rumah kepada Bank Syariah dengan membawa semua
berkas-berkas yang dibutuhkan. Kemudian Bank Syariah melakukan proses analisa
pembiayaan.
C: Bank Syariah telah menyetujui
permohonan pembiayaan pemilikan rumah untuk nasabah, kemudian Bank Syariah
melakukan pembelian Rumah seluas xx m2 yang diminta nasabah kepada PT. Makmur
(Penjual/Supplier Rumah) sebesar Rp 450 juta. Dalam contoh ini, nasabah telah
melakukan pembayaran uang muka kepada BPS sebesar Rp 50 juta.
Catatan : Dalam prakteknya di BPS,
uang muka diberikan langsung kepada developer.
C : Rumah seluas xx m2 menjadi milik
penuh Bank Syariah
C & B: Bank Syariah dan Nasabah
melakukan Akad Pembiayaan berdasarkan Prinsip Ijarah (Muntahiya Bit Tamlik)
selama 100 bulan untuk menyewa Rumah xx m2 dengan uang sewa sebesar Rp 7 juta
/bulan.
B : Nasabah menyewa Rumah xx m2
milik Bank Syariah dan memperoleh manfaat dengan menempati rumah tersebut, nasabah
membayar uang sewa bulan pertama sebesar Rp 7 juta hingga 99 (sembilan puluh
sembilan) bulan ke depan.
C: Pada bulan ke-100 atau akhir masa
perjanjian, Bank Syariah dan Nasabah melakukan Akad Hibah atas Rumah xx m2 (Bank
meng-hibah-kan ke Nasabah)
Ilustrasi tersebut adalah model yang
diutamakan diterapkan oleh BPS. Artinya, BPS telah memutuskan bahwa dalam
kondisi pembiayaan normal pemindahan kepemilikan dari objek sewa akan dilakukan
berdasarkan dengan akad hibah. Dalam akad perjanjian pembiayaan berdasarkan
prinsip IMBT milik BPS, dijelaskan bahwa pengertian IMBT adalah ”yaitu BANK
menyewakan barang kepada MUSTA’JIR dengan diakhiri oleh pemindahan kepemilikian
melalui hibah diakhir masa sewa.”
Berdasarkan ilustrasi penerapan akad
murabahah di BPS tersebut di atas, maka terdapat perbedaan antara praktek akad
murabahah di lapangan dengan akad murabahah yang ada di teori fiqih muamalah,
yaitu pada :
1. Bank Bukan Sebagai Pemberi Sewa
Murni
Posisi
BPS bukanlah sebagai pemberi sewa murni (Operating Lease) atau layaknya agen
perusahaan sewa yang memang memiliki persediaan barang (rumah) sebelum
melakukan IMBT dengan nasabah. BPS hanya akan melakukan pembelian rumah sebagai
syarat untuk melakukan IMBT kepada nasabah bilamana sudah dapat dipastikan ada
nasabah yang akan menyewa rumah tersebut dengan prinsip IMBT. Pada konteks
inilah terlihat bahwa BPS memang merupakan intermediary institution, yang
melakukan IMBT secara finance lease, bukan sebagai pemberi sewa murni / operating
lease.
Secara
teoritik dalam IMBT, baik pada saat transaksi maupun tidak, pemberi sewa memang
sudah memiliki persediaan barang untuk di-IMBT-kan.
2. Penggunaan Akad Wakalah ;
Selain
melakukan IMBT, BPS ternyata juga melakukan akad wakalah untuk mendelegasikan
tugas pembelian rumah kepada nasabah sebelum dilakukan IMBT. Artinya, terdapat
indikasi bahwa nasabah tidak akan mendapatkan barang dari bank melainkan hanya
sejumlah uang pembiayaan.
Fakta
yang unik terjadi di lapangan adalah walaupun BPS menggunakan akad wakalah
namun pada prakteknya nasabah tetap tidak menerima uang, dana pembiayaan yang
telah dimasukkan ke rekening nasabah langsung ditransfer ke rekening developer
yang ada di BPS maupun bank lain. Penggunaan akad wakalah dimaksudkan hanya sebatas
untuk membutikan secara hukum positif bahwa nasabah telah menerima pembiayaan
dari bank serta nasabah telah mengetahui telah terjadi transaksi jual-beli
antara bank dengan developer/penjual/suplier. Jika terjadi wanprestasi di
kemudian hari akan tertutup peluang nasabah akan mengingkari bahwa ia telah
menerima sejumlah pembiayaan dari bank.
Secara
teoritik dalam IMBT, tidak dikenal penggunaan akad wakalah pada saat penjual
dan pembeli selaku pemberi sewa melakukan jual-beli objek yang akan disewakan
pembeli ke pihak lain.
4. Pembuatan Surat Accept (Pengakuan
Hutang dan atau Sanggup Bayar)
Menurut
petugas BPS, bahwa Surat Pengakuan (Accept) merupakan salah satu diantara
beberapa langkah antisipasi bank kepada nasabah dalam hal pembuktian secara
hukum positif bahwa nasabah telah menerima pembiayaan dalam bentuk uang tunai
maupun barang. Jika terjadi wanprestasi di kemudian hari akan tertutup peluang
nasabah akan mengingkari bahwa ia telah menerima sejumlah pembiayaan dari bank.
Dalam
teori IMBT dijelaskan bahwa tidak ada hubungan utang piutang antara pemberi
sewa dan penyewa, apalagi utang pokok objek sewa. Mengingat, pada saat IMBT
(akad ijarah) masih berlangsung maka objek sewa adalah tetap milik pemberi
sewa.
Namun,
bila dalam IMBT yang telah ditentukan masa sewa-nya adalah pertahun sedangkan
pembayaran uang sewa dilakukan secara bulanan, maka penyewa bisa ditetapkan
memiliki sejumah utang uang sewa kepada pemberi sewa.
5. Pembayaran Uang Muka Sewa
Seluruh
pembiayaan yang disalurkan oleh BPS dengan menggunakan beraneka ragam akad
wajib tunduk pada satu ketetapan dalam SOP pembiayaan BPS yang menyatakan bahwa
setiap nasabah pembiayaan wajib melakukan pembayaran uang muka (dalam rangka
self financing) yang besarannya variatif maksimal 20%. Dalam konteks KPR iB IMBT,
sebelum dilakukan akad pembiayaan, nasabah wajib melakukan pembayaran uang muka
langsung kepada developer yang akan diakui sebagai uang muka sewa kepada Bank.
Secara
teoritik dalam IMBT tidak dikenal adanya kewajiban penyewa untuk untuk membayar
uang muka. Namun, jika pemberi sewa dan penyewa telah menyepakati adanya uang
muka sewa maka secara syariah dibolehkan.
6. Riview Ujroh
Bank
dapat melakukan riview ujroh, yaitu mengurangi maupun menambah uang sewa
nasabah bilamana ditengah masa perjanjian terjadi perubahan kondisi pasar. Bank
berpedoman kepada Fatwa Dewan Syariah nomor 56/DSN-MUI/V/2007 tanggal 30 Mei
2007 tentang Ketentuan Review Ujroh Pada Lembaga Keuangan Syariah.
Dalam
IMBT, besaran uang sewa yang akan kenakan kepada penyewa adalah hak dari pemberi
sewa. Jika di masa datang pemberi sewa ingin merubah kewajiban uang sewa
(menambah dan atau mengurangi), maka hal tersebut dibolehkan. Namun, dalam
pelaksanaannya wajib disetujui oleh penyewa.
7. Penyerahan Jaminan Dari
Nasabah/Pembeli
Seluruh
pembiayaan yang disalurkan oleh BPS dengan menggunakan beraneka ragam akad
wajib tunduk pada satu ketetapan dalam SOP pembiayaan BPS yang menyatakan bahwa
setiap pembiayaan yang akan disalurkan wajib disertai dengan jaminan. Dalam
konteks KPR iB IMBT, rumah yang menjadi objek pembiayaan itu sendiri yang
dijadikan jaminan atas pembiayaan IMBT rumah. Bank melakukan pengikatan secara
Hak Tanggungan atas rumah tersebut.
Secara
teoritik, tidak ada kewajiban untuk menyediakan jaminan dalam rangka
pelaksanaan IMBT. Namun, jika penyewa telah menyepakati adanya jaminan
tersebut, maka secara syariah dibolehkan.
Menurut
penulis ada hal unik yang terjadi dalam praktik IMBT di BPS (dan bank syariah
lain pada umumnya), yaitu dengan melakukan pengikatan Hak Tanggungan atas objek
IMBT (rumah), sama saja Bank telah melakukan pengikatan Hak Tanggungan atas
rumah miliknya sendiri yang telah di-IMBT-kan ke nasabah. Hal tersebut tentunya
terkesan sia-sia, mengingat secara syariah rumah itu adalah milik bank, jika
penyewa (nasabah) tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai penyewa, maka bank
berhak menghentikan IMBT dan mengambil rumah tersebut.
Menurut
petugas BPS, bahwa langkah seperti itu harus dilakukan bank, mengingat
sertifikat rumah dibuat atas nama nasabah bukan bank (dengan tujuan salah
satunya meminimalisir biaya-biaya yang dapat merugikan nasabah). Jika tidak
dilakukan pengikatan secara Hak Tanggungan, maka bilamana di kemudian hari
terjadi sengketa yang harus diselesaikan melalui penjualan rumah sudah pasti
secara hukum positif posisi bank akan lemah.
Ijarah Muntahiya bittamlik memiliki banyak bentuk, bergantung
pada apa yang disepakati kedua pihak yang berkontak. Misalnya ijarah dan jnji
menjual senilai sewa yang mereka tentukan dalam ijarah, harga barang dalam
transaksi jual, dan kapan kepemilikan dipindahkan. Ijarah Muntahiya bittamlik di dalam Fatwa MUI nomor:
27/DSN-MUI/III/2002 diartikan sebagai perjanjian sewa-menyewa yang disertai
dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa akad ijarah.
Adapun di dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam dan LK) Nomor: PER.04/BI/2007 dalam Bab ketentuan Umum IMBT adalah
akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang
dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (Ujrah) antara Perusahaan
pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajir) dengan penyewa (musta’jir) disertai
opsi pemindahan hak milik atas barang tersebut kepada penyewa setelah selesai
masa sewa.
Secara konseptual IMBT hampir sama dengan leasing, bahwa
leasing merupakan bentuk pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal
untuk digunakan oleh perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran secara
berkala, disertai dengan hak pilih atau opsi bagi perusahaan tersebut untuk membeli
barang modal yang bersangkutan atau memeperpanjang jangka waktu leasing
berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama[5].
Penutup
Dari penjelasan di atas dapat saya simpulkan bahwa ijarah
itu hukumnya boleh dan begitu juga dengan ijarah muntahiya bittamlik juga
boleh, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 dan
Peraturan Bank Indonesia akad ijarah muntahiya bittamlik" adalah Akad
penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu
barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan
barang.
Pada prinsipnya terdapat kesepakatan di kalangan
para sahabat bahwa dibolehkan melakukan aqad ijarah dalam kehidupan
bermuamalah. Alasan ini mereka membolehkan aqad ini adalah karena sewa
merupakan jual manfaat yang dibutuhkan, namun ketika kontrak yang dibuat
terhadap manfaat ini tidak dapat diserah terimakan, inilah sebabnya ada ulama
yang mengatakan aqad ini tidak boleh, karena tidak dapat diserah terimakan
seperti pada aqad jual beli.
Daftar Pustaka
Suhendi,
Hendi. 2002. Fiqh Muamalah, Cetakan
ke-1, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Nasional,
(Jakarta:DSN MUI bekerjasama dengan Bank Indonesia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar