Rabu, 14 Desember 2016

Nur Indah Fitro S - Ijarah Muntahiya Bi Al-Tamlik di Bank Syari'ah



IJARAH MUNTAHIYA BI AL-TAMLIK DI BANK SYARIAH

Disusun Oleh:
NUR INDAH FITRO SETIANI
1413222040

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON

Abstrak
Ijarah Muntahiya Bi Al-tamlik di Bank Syariah. Krisis iman, krisis ekonomi dewasa ini ditambah dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang demikian tinggi di Negara ini. Semakin besar kebutuhan pribadi yang harus dipenuhi dengan keterbatasan dana dan keuangan, kadang mendorong seorang muslim untuk mencari kesempatan dan cara yang dianggapnya tepat dan pas tanpa bertanya hukumnya dahulu. Apalagi dipacu oleh upaya produsen dan industry dalam memasarkan produknya kemasyarakat yang tanpa memandang halal dan haram. Maka bermunculanlah beragam mu’amalah dengan beraneka ragam cara dan coraknya. Diantaranya adalah sewa beli atau dikenal dengan istilah leasing di masyarakat kita dan mulai dikenal dengan istilah lain oleh lembaga keuangan syariah dengan nama ijarah muntahiyah bi al-tamlik (IMBT). Akad pembiayaan ijarah muntahiyah bi al-tamlik ini timbul dalam praktek perbankan karena adanya tuntutan kebutuhan yang semakin berkembang dalam masyarakat, yang mana ternyata tidak diikuti dengan peningkatan kondisi keuangan yang signifikan, sehingga tidak dapat mengimbangi pemenuhan akan berbagai kebutuhan tersebut. Pihak-pihak yang terkait dalam pembiayaan ini adalah bank syariah, nasabah dan supplier. Hak kepemilikan obyek pembiayaan selama masa ijarah masih tetap pada bank syariah, ada baru kemudian apabila masa ijarah telah selesai atau apabila pihak nasabah telah memenuhi segala kewajibannya maka hak kepemilikan obyek ijarah muntahiyah bi al-tamlik tersebut baru beralih kepada nasabah, baik dengan akad jual beli atau hibah sesuai dengan kesepakatan dari para pihak.
Kata kunci: murabahah, leasing, ijarah, ijarah muntahiyah bi al-tamlik
Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank salah satunya sewa guna usaha (leasing), dimana kegiatan  pembiayaan ini berdasarkan prinsip syariah yang  menggunakan akad Ijarah dan Ijarah Muntahiyah Bittamlik. Transaksi model ini adalah bentuk pengembangan dari jual beli kredit (ba’I at-taqsith) dan dikenal dengan jual beli kredit dengan menjaga status kepemilikan (untuk penjual) sampai ansurannya lunas (Vent Atem Cerment).

A.    Pengertian Ijarah Muntahia Bittamlik
Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 dan Peraturan Bank Indonesia akad ijarah muntahiya bittamlik" adalah Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan si penyewa. Sifat permindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa[1].

B.     Rukun dan Syarat Ijarah Muntahia Bittamlik
Dalam semua pembiayan murabahab, termasuk pembiayaan KPR syariah, terdapat rukun ijarah muntahia bittamlik diantaranya:
1.      Adanya pihak yang berakad.
2.      Objek yang diakadkan.
3.      Akad/sighat
Dengan mengacu pada murobahah dapat disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi KPR Syariah adalah sebagai berikut:
1.      Pihak bank harus memberitahukan biaya pembelian rumah kepada nasabah
2.      Kontrak transaksi harus sah dan terbebas dari riba.
3.      Objek transaksi jelas.
4.      Penjual harus menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan proses perolehan barang tersebut.
Selain itu juga, dalam pelaksanaan akad IMBT ada ketentuan ketentuan yang bersifat umum dan ketentuan bersifat khusus. Adapun ketentuan yang bersifat umum dalam akad ijarah muntahiya bittamlik sebagai berikut:
1.      Rukun dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula dalam aqad IMBT.
2.      Perjanjian untuk melakukan akad IMBT harus disepakati ketika akad ijarah ditandatangani,
3.      Hak dan kewajiban setiap pihak dijelaskan dalam aqad.
Sedangkan ketentuan yang bersifat khusus dalam akad ijarah muntahiya bittamlik sebagai berikut[2]:
1.      Pihak yang melakukan IMBT harus melakukan akad ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan baik dengan jual beli (bai’) atau pemberian (hibah) hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.
2.      Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati diawal akad ijarah adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak mengikat. Apabila wa’ad (janji) dilaksanakan, maka pada akhir masa ijarah (sewa) wajib dibuat akad pemindahan kepemilikan. Artinya dalam akad IMBT tidak bertentangan dengan prinsip syariah yaitu melarang 2 (dua) akad dalam satu perjanjian. Namun Ijarah Muntahiya Bittamlik memiliki perbedaan dengan leasing konvensional.

C.    Landasan Hukum Ijarah Muntahia Bittamlik
1.      Bersumber Al-Quran
Sebagai suatu transaksi yang bersifat tolong menolong, ijarah mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Quran dan Hadist. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslimin di wilayah yang ditaklukkan. Langkah alternatif dari larangan ini adalah membudayakan tanah berdasarkan pembayaran Kharaj dan Jizyah. Landasan ijarah disebut secara terang dalam Al-Qur’an dan Hadist.Dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 233 Allah menjelaskan bahwa :
“dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa tidak berdosa jika ingin mengupahkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus membayar upah terhadap pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ingin anak-anak disusui oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa asalkan kita membayar upah. Jika dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan kebolehan untuk menyewa jasa orang lain dalam melakukan sesuatu pekerjaan yang kita butuhkan. Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa tidak berdosa jika ingin mengupahkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus membayar upah terhadap pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ingin anak-anak disusui oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa asalkan kita membayar upah. Jika dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan kebolehan untuk menyewa jasa orang lain dalam melakukan sesuatu pekerjaan yang kita butuhkan.
2.      Bersumber Hadits
Dan Rasullullah SAW bersabda dalam sebuah riwayat :
إحتجمواعطالحجامااجرهه
Artinya : Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda : “berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”. (H.R. Bukhari dan Muslim.
Hadist diatas mengidentifikasi bahwa pada masa Rasulullah juga pernah terjadi transaksi ijarah, yaitu dengan cara Rasulullah memerintahkan kepada orang yang dibekam untuk memberikan upah kepada tukang bekam disebarkan dia telah menyelesaikan bekam. Dalam riwayat lain Nabi juga bersabda :
إأعطواالأجيرأجرهقبل أن يجف عرقه
Artinya : Dari Ibnu Umar, bahwa Rasullah bersabda : “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering” (H.R Ibnu Majah).
Dalam hadit di atas menggunakan makna yaitu setiap penyewaan keahlian (jasa) seseorang harus dibayar upahnya secepatnya sebelum keringat pekerja tersebut kering, jangan sampai diundur-undurkan. Penekanan hadist ini sangat jelas bahwa jangan sekali-kali pembayaran upah itu dilakukan ketika seseorang itu telah menjadi lemah atau ketika orang tersebut sudah sakit, karena dengan upah tersebut penyewa bisa menggunakan upah tersebut untuk keperluaanya[3].

D.    Pro dan Kontra dalam Kajian Masail Fiqiyah
Hubungan antara 2 pihak yang melakukan sewa-menyewa atau dalam ilmu fiqh muamalat disebut sebagai ijarah. Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefenisikan ijarah. Ulama Hanafiyah mendefinisikan ijarah sebagai suatu transaksi terhadap manfaat dengan imbalan. Sedangkan ulama Syafi’iyah mendefinisikannya ijarah sebagai suatu transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Sejatinya, dalam akad Ijarah tidak ada pemindahan kepemilikan / transfer of title atas barang yang disewakan. Namun, jika pihak penyewa menginginkan adanya pemindahan kepemilikan atas barang tersebut, maka dapat dilakukan dengan opsi penjualan dan atau opsi hibah di akhir akad. Atas transaksi sewa yang ingin diakhiri dengan pemindahan kepemilikan, maka dalam khazanah fiqh muamalat kontemporer dikenal dengan istilah Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT).
Pada prinsipnya terdapat kesepakatan di kalangan para sahabat bahwa dibolehkan melakukan aqad ijarah dalam kehidupan bermuamalah. Alasan ini mereka membolehkan aqad ini adalah karena sewa merupakan jual manfaat yang dibutuhkan, namun ketika kontrak yang dibuat terhadap manfaat ini tidak dapat diserah terimakan, inilah sebabnya ada ulama yang mengatakan aqad ini tidak boleh, karena tidak dapat diserah terimakan seperti pada aqad jual beli.
Dasarkan hukum ijarah muntahiya bittamlik menurut pendapat ualam masih terdapat perbedaan mengenai kebolehannya, sebagian yang kontroversi berlakunya transaksi ijarah di kalangan ulama madzhab yaitu tentang sewa yang diakhiri dengan pemilikan atau hibah bersyarat. Ulama madzhab Hanafi, Syafi’I, dan Zaidiyah, dan Imamiyah membolehkan aqad ijarah muntahiya bittamlik ini, sedangkan ulama madzab Hambali, sebagian ulama madzhab Hanafi, dan madzhab Maliki, tidak membolehkannya.
Perbedaan pendapat ulama tersebut dikarenakan masing-masing mempunyai perbedaan pemahaman tentang kerelasi aqad ijarah dengan hibah, tetapi walaupun demikian eksistensi ijarah ini dapat dilakukan boleh, karena didasarkan pada salah satu pendapat ulama yang mengatakan boleh hukumnya.
Hibah ini bersifat mengikat terhadap masa akan datang. Hukumnya boleh menurut ketentuan Fiqh Islam. Demikian pula dalam jual beli yang bersifat mengikat dengan waktu. Misalnya, “jika anda telah menyelesaikan cicilan sewa pada masa tertentu, maka saya menjual barang ini kepada anda”. Praktek ini dibenarkan menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim.
Selain itu menurut para ulama perpindahan kepemilikan secara otomatis seperti cara-cara diatas tidak perlu membuat kontrak baru. Hal ini dipertegas dengan fatwa DSN-MUI bahwa pihak yang melakukan ijarah muntahiya bittamlik harus melaksanakan aqad ijarah terlebih dahulu. Aqad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli maupun pemberian (hibah), hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Dari penjelasan di atas, menurut pendapat saya bahwa ijarah itu hukumnya boleh dan begitu juga dengan ijarah muntahiya bittamlik juga boleh, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya.

E.     Ketentuan Teknis Pelaksanaan IMBT
Pelaksanaan IMBT sebenarnya memiliki banyak bentuk tergantung apa yang disepakati oleh kedua pihak yang berkontrak. Dalam hal ini berlaku kaidah substance over form, yaitu maksud tujuan akad lebih diutamakan ketimbang bentuk akad itu sendiri. 
Merujuk Fatwa Dewan Syariah Nasional No.7/DSN-MUI/III/2002 tanggal  28 Maret 2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiya Bi Al-Tamlik[4], berikut ketentuan teknis yang harus diperhatikan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang ingin menerapkan IMBT dalam produk pembiayaan :
1.      Perjanijian untuk melakukan IMBT harus disepakati ketika akad Ijarah ditandatangani.
2.      Pihak yang melakukan IMBT harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu, akad pemindahan kepemilikan baik dengan jual beli atau pemberian hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.
3.      Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d, yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Mengingat, ketentuan ijarah berlaku pula pada akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT), maka LKS, khususnya Bank Syariah wajib memperhatikan ketentuan sebagai berikut :
1.      Bank dapat membiayai pengadaan objek sewa berupa barang yang telah dimiliki bank.
2.      Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas barang sewa serta ketetapan waktu penyediaan barang sewa sesuai kesepakatan.
3.      Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/asset sewa yang sifatnya materiil dan struktural sesuai kesepakatan.
4.      Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang akan disewakan oleh nasabah.
5.      Nasabah wajib membayar sewa secara tunai dan menjaga keutuhan barang sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan barang sewa sesuai dengan kesepakatan.
6.      Nasabah tidak bertanggung jawab atas kerusakan barang sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah.
Contoh:
A   : Rumah milik Developer PT. Makmur
B : Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan untuk memiliki rumah kepada Bank Syariah dengan membawa semua berkas-berkas yang dibutuhkan. Kemudian Bank Syariah melakukan proses analisa pembiayaan.
C: Bank Syariah telah menyetujui permohonan pembiayaan pemilikan rumah untuk nasabah, kemudian Bank Syariah melakukan pembelian Rumah seluas xx m2 yang diminta nasabah kepada PT. Makmur (Penjual/Supplier Rumah) sebesar Rp 450 juta. Dalam contoh ini, nasabah telah melakukan pembayaran uang muka kepada BPS sebesar Rp 50 juta. 
Catatan : Dalam prakteknya di BPS, uang muka diberikan langsung kepada developer.
C : Rumah seluas xx m2 menjadi milik penuh Bank Syariah
C & B: Bank Syariah dan Nasabah melakukan Akad Pembiayaan berdasarkan Prinsip Ijarah (Muntahiya Bit Tamlik) selama 100 bulan untuk menyewa Rumah xx m2 dengan uang sewa sebesar Rp 7 juta /bulan.
B : Nasabah menyewa Rumah xx m2 milik Bank Syariah dan memperoleh manfaat dengan menempati rumah tersebut, nasabah membayar uang sewa bulan pertama sebesar Rp 7 juta hingga 99 (sembilan puluh sembilan) bulan ke depan.
C: Pada bulan ke-100 atau akhir masa perjanjian, Bank Syariah dan Nasabah melakukan Akad Hibah atas Rumah xx m2 (Bank meng-hibah-kan ke Nasabah)
Ilustrasi tersebut adalah model yang diutamakan diterapkan oleh BPS. Artinya, BPS telah memutuskan bahwa dalam kondisi pembiayaan normal pemindahan kepemilikan dari objek sewa akan dilakukan berdasarkan dengan akad hibah. Dalam akad perjanjian pembiayaan berdasarkan prinsip IMBT milik BPS, dijelaskan bahwa pengertian IMBT adalah ”yaitu BANK menyewakan barang kepada MUSTA’JIR dengan diakhiri oleh pemindahan kepemilikian melalui hibah diakhir masa sewa.”
Berdasarkan ilustrasi penerapan akad murabahah di BPS tersebut di atas, maka terdapat perbedaan antara praktek akad murabahah di lapangan dengan akad murabahah yang ada di teori fiqih muamalah, yaitu pada :
1.      Bank Bukan Sebagai Pemberi Sewa Murni 
Posisi BPS bukanlah sebagai pemberi sewa murni (Operating Lease) atau layaknya agen perusahaan sewa yang memang memiliki persediaan barang (rumah) sebelum melakukan IMBT dengan nasabah. BPS hanya akan melakukan pembelian rumah sebagai syarat untuk melakukan IMBT kepada nasabah bilamana sudah dapat dipastikan ada nasabah yang akan menyewa rumah tersebut dengan prinsip IMBT. Pada konteks inilah terlihat bahwa BPS memang merupakan intermediary institution, yang melakukan IMBT secara finance lease, bukan sebagai pemberi sewa murni / operating lease. 
Secara teoritik dalam IMBT, baik pada saat transaksi maupun tidak, pemberi sewa memang sudah memiliki persediaan barang untuk di-IMBT-kan.
2.      Penggunaan Akad Wakalah ; 
Selain melakukan IMBT, BPS ternyata juga melakukan akad wakalah untuk mendelegasikan tugas pembelian rumah kepada nasabah sebelum dilakukan IMBT. Artinya, terdapat indikasi bahwa nasabah tidak akan mendapatkan barang dari bank melainkan hanya sejumlah uang pembiayaan. 
Fakta yang unik terjadi di lapangan adalah walaupun BPS menggunakan akad wakalah namun pada prakteknya nasabah tetap tidak menerima uang, dana pembiayaan yang telah dimasukkan ke rekening nasabah langsung ditransfer ke rekening developer yang ada di BPS maupun bank lain. Penggunaan akad wakalah dimaksudkan hanya sebatas untuk membutikan secara hukum positif bahwa nasabah telah menerima pembiayaan dari bank serta nasabah telah mengetahui telah terjadi transaksi jual-beli antara bank dengan developer/penjual/suplier. Jika terjadi wanprestasi di kemudian hari akan tertutup peluang nasabah akan mengingkari bahwa ia telah menerima sejumlah pembiayaan dari bank.
Secara teoritik dalam IMBT, tidak dikenal penggunaan akad wakalah pada saat penjual dan pembeli selaku pemberi sewa melakukan jual-beli objek yang akan disewakan pembeli ke pihak lain.
4.      Pembuatan Surat Accept (Pengakuan Hutang dan atau Sanggup Bayar)
Menurut petugas BPS, bahwa Surat Pengakuan (Accept) merupakan salah satu diantara beberapa langkah antisipasi bank kepada nasabah dalam hal pembuktian secara hukum positif bahwa nasabah telah menerima pembiayaan dalam bentuk uang tunai maupun barang. Jika terjadi wanprestasi di kemudian hari akan tertutup peluang nasabah akan mengingkari bahwa ia telah menerima sejumlah pembiayaan dari bank.
Dalam teori IMBT dijelaskan bahwa tidak ada hubungan utang piutang antara pemberi sewa dan penyewa, apalagi utang pokok objek sewa. Mengingat, pada saat IMBT (akad ijarah) masih berlangsung maka objek sewa adalah tetap milik pemberi sewa. 
Namun, bila dalam IMBT yang telah ditentukan masa sewa-nya adalah pertahun sedangkan pembayaran uang sewa dilakukan secara bulanan, maka penyewa bisa ditetapkan memiliki sejumah utang uang sewa kepada pemberi sewa.
5.      Pembayaran Uang Muka Sewa
Seluruh pembiayaan yang disalurkan oleh BPS dengan menggunakan beraneka ragam akad wajib tunduk pada satu ketetapan dalam SOP pembiayaan BPS yang menyatakan bahwa setiap nasabah pembiayaan wajib melakukan pembayaran uang muka (dalam rangka self financing) yang besarannya variatif maksimal 20%. Dalam konteks KPR iB IMBT, sebelum dilakukan akad pembiayaan, nasabah wajib melakukan pembayaran uang muka langsung kepada developer yang akan diakui sebagai uang muka sewa kepada Bank.
Secara teoritik dalam IMBT tidak dikenal adanya kewajiban penyewa untuk untuk membayar uang muka. Namun, jika pemberi sewa dan penyewa telah menyepakati adanya uang muka sewa maka secara syariah dibolehkan.
6.      Riview Ujroh
Bank dapat melakukan riview ujroh, yaitu mengurangi maupun menambah uang sewa nasabah bilamana ditengah masa perjanjian terjadi perubahan kondisi pasar. Bank berpedoman kepada Fatwa Dewan Syariah nomor 56/DSN-MUI/V/2007 tanggal 30 Mei 2007 tentang Ketentuan Review Ujroh Pada Lembaga Keuangan Syariah.
Dalam IMBT, besaran uang sewa yang akan kenakan kepada penyewa adalah hak dari pemberi sewa. Jika di masa datang pemberi sewa ingin merubah kewajiban uang sewa (menambah dan atau mengurangi), maka hal tersebut dibolehkan. Namun, dalam pelaksanaannya wajib disetujui oleh penyewa.
7.      Penyerahan Jaminan Dari Nasabah/Pembeli
Seluruh pembiayaan yang disalurkan oleh BPS dengan menggunakan beraneka ragam akad wajib tunduk pada satu ketetapan dalam SOP pembiayaan BPS yang menyatakan bahwa setiap pembiayaan yang akan disalurkan wajib disertai dengan jaminan. Dalam konteks KPR iB IMBT, rumah yang menjadi objek pembiayaan itu sendiri yang dijadikan jaminan atas pembiayaan IMBT rumah. Bank melakukan pengikatan secara Hak Tanggungan atas rumah tersebut. 
Secara teoritik, tidak ada kewajiban untuk menyediakan jaminan dalam rangka pelaksanaan IMBT. Namun, jika penyewa telah menyepakati adanya jaminan tersebut, maka secara syariah dibolehkan.
Menurut penulis ada hal unik yang terjadi dalam praktik IMBT di BPS (dan bank syariah lain pada umumnya), yaitu dengan melakukan pengikatan Hak Tanggungan atas objek IMBT (rumah), sama saja Bank telah melakukan pengikatan Hak Tanggungan atas rumah miliknya sendiri yang telah di-IMBT-kan ke nasabah. Hal tersebut tentunya terkesan sia-sia, mengingat secara syariah rumah itu adalah milik bank, jika penyewa (nasabah) tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai penyewa, maka bank berhak menghentikan IMBT dan mengambil rumah tersebut.
Menurut petugas BPS, bahwa langkah seperti itu harus dilakukan bank, mengingat sertifikat rumah dibuat atas nama nasabah bukan bank (dengan tujuan salah satunya meminimalisir biaya-biaya yang dapat merugikan nasabah). Jika tidak dilakukan pengikatan secara Hak Tanggungan, maka bilamana di kemudian hari terjadi sengketa yang harus diselesaikan melalui penjualan rumah sudah pasti secara hukum positif posisi bank akan lemah.
Ijarah Muntahiya bittamlik memiliki banyak bentuk, bergantung pada apa yang disepakati kedua pihak yang berkontak. Misalnya ijarah dan jnji menjual senilai sewa yang mereka tentukan dalam ijarah, harga barang dalam transaksi jual, dan kapan kepemilikan dipindahkan. Ijarah Muntahiya bittamlik di dalam Fatwa MUI nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 diartikan sebagai perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada  penyewa, setelah selesai masa akad ijarah. Adapun di dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK) Nomor: PER.04/BI/2007 dalam Bab ketentuan Umum IMBT adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (Ujrah) antara Perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang tersebut kepada penyewa setelah selesai masa sewa.
Secara konseptual IMBT hampir sama dengan leasing, bahwa leasing merupakan bentuk pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala, disertai dengan hak pilih atau opsi bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang modal yang bersangkutan atau memeperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama[5].





Penutup
Dari penjelasan di atas dapat saya simpulkan bahwa ijarah itu hukumnya boleh dan begitu juga dengan ijarah muntahiya bittamlik juga boleh, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 dan Peraturan Bank Indonesia akad ijarah muntahiya bittamlik" adalah Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
Pada prinsipnya terdapat kesepakatan di kalangan para sahabat bahwa dibolehkan melakukan aqad ijarah dalam kehidupan bermuamalah. Alasan ini mereka membolehkan aqad ini adalah karena sewa merupakan jual manfaat yang dibutuhkan, namun ketika kontrak yang dibuat terhadap manfaat ini tidak dapat diserah terimakan, inilah sebabnya ada ulama yang mengatakan aqad ini tidak boleh, karena tidak dapat diserah terimakan seperti pada aqad jual beli.
Daftar Pustaka
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah, Cetakan ke-1, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Nasional, (Jakarta:DSN MUI bekerjasama dengan Bank Indonesia).







[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cetakan ke-1, Jakarta: PT. Raja Grafindo. Hlm. 114-118
[4] Nasional, (Jakarta:DSN MUI bekerjasama dengan Bank Indonesia), hlm. 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar