SUKUK
IJARAH
Makalah ini Disusun dan Diajukan Sebagai Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Masail
Fiqhiyah
Dosen Pengampu: Dr. Faqihuddin Abdul
Kodir, Lc. MA
Disusun oleh:
Asep Hilman Nuryaman
(1413221002)
Prodi Muamalah-1
Fakultas Syariah Semester VII
Kementrian Agama Republik Indonesia
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon
Tahun 2016
SUKUK IJARAH
Abstrak
Konsep keuangan berbasis syariah islam (Islamic Finance) yang real syariah dewasa
ini telah tumbuh secara pesat, Beberapa prinsip pokok dalam transaksi keuangan sesuai
syariah antara lain berupa penekanan pada perjanjian yang adil, anjuran atas sistem bagi hasil
atau profit sharing, serta larangan terhadap riba, gharar, dan maysir. Salah satu bentuk instrumen
keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah sukuk.
Di beberapa negara, sukuk telah menjadi instrumen pembiayaan anggaran negara yang penting.
Penerbitan sovereign sukuk biasanya ditujukan untuk keperluan pembiayaan negara secara umum
(general funding) atau untuk pembiayaan proyek-proyek tertentu.
Kata Kunci: Sukuk Ijarah, Obligasi Syariah
Abstract
Financial concept based on Islamic ( Islamic Finance ) is real syariah today has grown rapidly ,
Some fundamental principle in financial transactions in accordance syariah which include an emphasis
on a fair deal , suggestions on a system of profit sharing or profit sharing , as well as the prohibition
against usury , gharar , and maysir . One form of Islamic financial instruments which have been widely
published both by corporate and state is sukuk . In some countries , sukuk has become an instrument
of state budget financing is important . Sovereign sukuk issuance is usually intended for the financing
of the country in general ( funding) or for financing specific projects.
Key Words: Sukuk Ijarah, Obligasi Syariah
A.
Latar
Belakang
Sukuk berasal dari bahasa Arab bentuk jamak dari
kata Shakk yang berarti surat berharga. DSN menamakan surat berharga ini
dengan istilah Obligasi Syariah.
Menurut
Drs. Bambang Riyanto, obligasi merupakan suatu pengakuan hutang yang
dikeluarkan oleh pemerintah atau perusahaan atau lembaga-lembaga lain sebagai
pihak yang berhutang yang mempunyai nilai nominal tertentu dan kesanggupan
untuk membayar bunga secara periodic atas dasar persentase tertentu yang tetap[1]
Sedangkan
dalam buku pengantar ekonomi perusahaan, diberi batasan bahwa yang dimaksud
dengan obligasi adalah suatu surat tunda hutang yang dikeluarkan umumnya oleh
perseroan terbatas dan mendapat bunga setiap tahun sekalipun suatu perseroan tidak
mendapatkan laba dalam tahun tertentu, namun perusahaan harus membayar bunga
bagi para pemegang obligasi. Bunga ini besarnya sudah ditentukan terbit dahulu
dan dicantumkan dalam obligasi yang bersangkutan.[2]
Dari
kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa obligasi adalah pinjaman uang
untuk jangka waktu yang panjang dengan dikeluarkannya surat pengakuan hutang
oleh debitor yang mempunyai nominal tertentu.
Secara terminologi AAOIFI mendefinisikan Sukuk
dengan, "Beberapa lembar sertifikat dengan nilai sama yang mewakili
bagian kepemilikan tidak tertentu atas barang, manfaat suatu barang,
jasa atau kegiatan investasi tertentu"[3].
Perkembangan
sukuk di Indonesia dimulai sejak 2002 dan terus mengalami kemajuan, Fatwa dewan
syari`ah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Obligasi syari`ah adalah
surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikelurkan
emitten kepada pemegang obligasi syariah, tersebut berupa bagi
hasil/margin/fee, serta membyar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.”[4]
Sukuk
bukan merupakan utang berbunga tetap, tetapi lebih merupakan penyertaan dana
(investasi) yang didasarkan pada prinsip bagi hasil.
Antara
obligasi dan sukuk dalam harga penawaran, jatuh tempo, pokok obligasi saat
jatuh tempo, dan rating obligasi, antara obligasi syariah (sukuk) dengan
obligasi konvensioanal tidak ada bedanya. Perbedaan terdapat pada pendapatan
dan return[5]
B.
Identifikasi
Masalah
Pada tahun 1999 dewan syariah di Bahrain menfatwakan
bolehnya negara menerbitkan sukuk ijarah untuk membiayai belanja negara. Dengan
diterbitkannya sukuk ijarah tersebut Bahrain dapat mengumpul dana sebanyak 10
Milyar US Dollar.
Keberhasilan Bahrain meraup dana dalam jumlah besar
ini mengundang negara teluk lainnya untuk mengikuti langkahnya, seperti; Kuwait
dan Dubai.
Skema penerbitan sukuk tersebut sebagai berikut:
Pemerintah Bahrain menginginkan dana untuk menutupi
belanja negara dengan cara menjual sebagian barang milik negara yaitu sebagian
tanah bandar udara internasional Bahrain, dengan harga 40 juta Dinar Bahrain
secara tunai. Yang dibagi menjadi beberapa lembar sertifikat dengan nilai yang
sama untuk dijual ke publik melalui bank sentral Bahrain.
Masih dalam majlis yang satu, para pemegang sukuk
yang diwakili oleh bank sentral Bahrain menyewakan barang tersebut (sebidang
tanah Bandara) kepada pemerintah Bahrain selama 10 tahun dengan harga 20 juta
500 ribu Dinar Bahrain yang dibayar oleh pemerintah Bahrain dengan cara
angsuran sebanyak 20 kali, yaitu setiap 6 bulan sebanyak 1 juta 25 ribu Dinar
Bahrain. Nilai pertambahan ini yang mirip dengan bunga pada obligasi sebesar
5,125% per tahun.
Masih dalam majlis akad tersebut, pemerintah Bahrain
berjanji dengan janji yang mengikat untuk membeli kembali tanah yang telah
dijualnya kepada pemegang sukuk setelah berakhirnya masa sewa pemerintah selama
10 tahun dengan harga yang sama dengan harga pada saat dijual yaitu 40 juta
Dinar Bahrain[6].
Oleh karena itu gagasan yang ingin penulis sampaikan
adalah tentang hukum sukuk ijarah seperti yang telah dijelaskan di atas
C.
Hukum sukuk Ijarah
Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang
hukum Sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah Bahrain. Diantaranya :[7]
Pendapat pertama:
Sukuk dengan skema yang disebutkan di atas hukumnya mubah/boleh.
Pendapat ini didukung oleh Dr. Abdul Sattar Abu Ghuddah.
Dalil dari pendapat
ini bahwa skema sukuk adalah gabungan dari beberapa bentuk akad;
jualbeli, ijarah (sewa) dan wa'ad (janji). Dan setiap akad ini
hukumnya adalah mubah maka gabungan dari akad tersebut hukumnya adalah mubah.
Dan hukum ashal setiap transaksi muamalat adalah mubah
Tanggapan:
dalil ini tidak kuat, karena tidak semua gabungan dari akad yang
satuannya mubah hukum gabungannya juga mubah, contoh; menikahi seorang wanita
mubah, akan tetapi bila seorang laki- laki menggabung untuk menikahi seorang
wanita dengan saudari wanitanya maka gabungan dua akad nikah ini menjadi tidak
boleh. Begitu juga dengan muamalat maliyyah, seperti; akad 'Inah yang merupakan
gabungan dua akad jualbeli yang satuannya adalah mubah, namun ketika dua akad
tersebut digabung dan menjadi sarana untuk terjadinya riba maka mayoritas para
ulama mengharamkannya, begitu juga menggabungkan akad pinjaman dan akad
jualbeli telah diharamkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
padahal satuan dari masing-masing akad ini dibolehkan.
Pendapat kedua:
Sukuk dengan skema yang dijelaskan di atas hukumnya haram dan salah satu
bentuk pengelabuan riba. Pendapat ini didukung oleh mayoritas para ulama
kontemporer, diantaranya; Prof. Dr. As Shiddiq Ad Dharir, Prof. Dr. Nazih
Hammad, Syaikh Abdullah bin Mani', Syaikh Muhammad Taqiyy Al Utsmani dan para
ulama lainnya.
Dalil-dalil dari
pendapat yang mengharamkan adalah sebagai berikut
a. Hakikat
yang terjadi dalam akad ini adalah jualbeli 'Inah yang
diharamkan sekalipun menurut mazhab syafii, karena telah direkayasa dengan
gabungan akad tersebut bahwa pemilik barang (pemerintah Bahrain) mendapatkan
uang tunai sebesar 40 juta Dinar Bahrain dengan menjual sukuk yang underlyingnya
adalah sebagian tanah Bandara. Kemudian barang kembali menjadi milik penjual
setelah berlalu 10 tahun dengan cara dikembalikan uang secara berangsur setiap
6 bulan ditambah dengan uang pembelian kembali barang. Maka hasil akhirnya
pemilik uang mengeluarkan uang 40 juta Dinar dan setelah 10 tahun uangnya
bertambah menjadi 60 juta 500 ribu Dinar Bahrain.
Ini sangat mirip dengan 'Inah,
dimana pemilik barang (penjual) mendapat uang tunai dan kemudian dia
mengembalikan dalam jumlah yang lebih besar dengan cara tidak tunai dan barang
kembali lagi kepada penjual yang ini merupakan pengelabuan riba. jual beli ‘inah dan hukumnya haram
karena sebagai wasilah (perantara) menuju riba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Apabila kalian melakukan jual beli dengan cara ‘inah,
berpegang pada ekor sapi, kalian ridha dengan hasil tanaman dan kalian
meninggalkan jihad, maka Allah akan membuat kalian dikuasai oleh kehinaan yang
tidak ada sesuatu pun yang mampu mencabut kehinaan tersebut (dari kalian)
sampai kalian kembali kepada agama kalian.” [HR. Abu Dawud dari ‘Abdullah bin
‘Umar Radhiyallahu anhuma].
Ini sama artinya pemerintah Bahrain
terima uang tunai dengan jumlah 40 juta Dinar Bahrain dari pemegang sukuk
dan dikembalikan setelah 10 tahun dengan jumlah 60 juta 500 ribu Dinar Bahrain,
sedangkan akad jualbelinya fiktif karena barang disyaratkan kembali lagi ke
tangan pemiliknya semula (pemerintah Bahrain)[8].
b. Akad
sukuk ini serupa dengan jaulbeli wafa'. Yaitu suatu akad jualbeli dengan
persyaratan apabila penjual mengembalikan uang pembelian barang yang
diterimanya dari pembeli maka pembeli harus mengembalikan barang, dan selama
uang belum dikembalikan pembeli berhak memanfaatkan barang[9].
Persamaan antara dua akad ini yaitu:
penerbit sukuk pada hakikatnya telah menerima uang sebesar 40 juta Dinar
Bahrain dan menyerahkan sebagian tanah lapangan terbang internasionalnya kepada
pemegang sukuk dan pemegang sukuk bebas mendapat manfaat dari barang tersebut hingga
penerbit sukuk mengembalikan uang sebesar 40 juta Dinar. Dan dalam akad sukuk
terdapat tambahan akad yaitu penerbit sukuk menyewa barang tanah bandara tadi
dan membayar upah sewa.
Maka hukum sukuk sama dengan hukum
jualbeli wafa'.
Mayoritas para ulama dari mazhab Maliki,
Syafii, Hanbali dan sebagian ulama Mazhab Hanafi mengharamkan jualbeli wafa'
ini. Pendapat mayoritas ulama klasik ini diperkuat oleh keputusan
OKI melalui divisi fikih Islam internasional dalam muktamar ke VII di Jeddah,
Arab Saudi pada tahun 1992, No. 66 (4/7) yang berbunyi, "Hakikat
jualbeli wafa' yaitu: Seseorang menjual harta miliknya dengan syaratkapan
penjual mengembalikan uang pembeli maka pembeli harus mengembalikan barang yang
dibelinya.
Maka majlis memutuskan sebagai berikut:
Pertama: hakikat jualbeli ini adalah
pinjam meminjam yang mendatangkan manfaat yang merupakan pengelabuan riba. Dan
jualbeli ini tidak sah menurut mayoritas para ulama.
Kedua: Dewan memutuskan bahwa akad ini
tidak dibenarkan syariat"[10].
Semakna dengan pernyataan OKI, syaikh
Islam Ibnu Taimiyah 7 abad yang lalu telah mengharamkan jualbeli wafa' dan
bahkan secara khusus menjelaskan transaksi yang sama dengan akad sukuk
serta menghukuminya haram. Ia berkata, "Apabila maksud seseorang ketika
menyerahkan uang kepada orang lain dan menerima rumah dari penerima uang
adalah ingin memanfaatkan rumah tersebut selama uangnya masih berada di tangan
penerima uang. Dan apabila pemilik rumah mengembalikan uang iapun mengembalikan
rumah, ini hukumnya haram –tanpa ragu- karena hakikat yang terjadi yaitu uang
ditukar dengan semisal akan tetapi ada tambahan manfaat penggunaan rumah. Ini
adalah riba yang nyata … Adapun istilah bahwa ini dinamakan jualbeli
wafa' adalah jualbeli yang batil menurut kesepakatan para ulama … dan dalam
akad ini kebijakan yang harus diambil bahwa rumah dikembalikan kepada
pemiliknya dan uang dikembalikan kepada pemiliknya dan kedua pelakunya dijatuhi
sanksi jika mereka telah mengetahui bahwa hukumnya haram karena ini adalah
pinjaman yang mendatangkan manfaat … Adapun bentuk lainnya yaitu: keduanya
membuat kesepakatan bahwa dia membeli rumah dengan uang tunai, lalu
pembeli rumah menyewakan rumah itu kepada penjual selama waktu tertentu dan
apabila penjual bisa mengembalikan uang pembeli maka pembeli wajib
mengembalikan rumah. Maka yang dimaksud dalam akad ini bahwa pemberi
uang menerima upah sewa selama uangnya berada di tangan pemilik rumah. Dan ini
hakikatnya adalah mengambil manfaat dari pinjaman dengan
bentuk imbalan jasa rumah, semuanya diharamkan"[11].
c. Akad
yang dibuat dalam skema sukuk adalah fiktif dan dijadikan sebagai sarana untuk
pengelabuan riba.
Pernyataan bahwa akad ini fiktif
tergambar dalam hal-hal berikut ini:
- Kepemilikan
barang di tangan pemegang sukuk bukanlah sebenarnya hak milik mereka. Karena
barang yang dibeli adalah aset vital negara yang tidak mungkin dipindah
tangankan kepada siapapun. Dan ini bertentangan dengan konsekuensi akad bahwa barang
yang telah dibeli sepenuhnya menjadi milik pembeli; dia dapat menjualnya,
menghibahkan ataupun mewakafkannya kepada siapa saja yang dia kehendaki dan hal
ini tentu tidak mungkin akan berlaku dalam barang yang dijadikan underlying
akad sukuk.
Oleh karena itu dalam seminar "Sukuk
Islami; pemaparan dan kritikan" yang diselenggarakan
di Jeddah pada tahun 1431H direkomendasikan sebagai berikut,
"Menekankan kembali bahwa kepemilikan aset underlying sukuk di
tangan pemegang sukuk haruslah kepemilikan yang hakiki dan dapat dikuasai penuh
dan kepemilikan tersebut terus berlangsung hingga berakhirnya akad sukuk"[12].
- Pembelian
kembali aset sukuk oleh pemerintah dari para pemegang sukuk sebesar nilai
nominal sukuk pada masa akhir periode sewa untuk membayar nilai nominal sukuk,
jelas menunjukkan bahwa akad yang dibuat dengan jual beli dan sewa adalah
fiktif karena barang kembali lagi kepada pemiliknya sedangkan uang pembeli
kembali penuh walau apapun yang terjadi dengan aset sukuk. Ini sama saja dengan
pinjaman yang dikembalikan sebesar nominal pinjaman dan pemberi pinjaman
mendapat keuntungan dalam bentuk uang sewa aset oleh negara.
Oleh karena itu, untuk menghindari kasus
jualbeli fiktif ini Majma' fiqh Islami (divisi fikih OKI) memutuskan dalam
muktamarnya ke- IXX di UEA pada tahun 2009 tentang "Sukuk islamiyah"
keputusan No. 178 (4/19) yang berbunyi, "Pada akhir periode sewa aset
tidak boleh aset sukuk dibeli kembali oleh pemerintah dengan nilai
nominal, akan tetapi harus dibeli dengan nilai pasar atau dengan kesepakatan
yang dibuat oleh kedua belah pihak pada saat itu".
Dari dua pendapat yang bertikai tentang hukum sukuk
ijarah yang diterbitkan oleh Bahrain maka sangat jelas bahwa pendapat yang
mengharamkan sangat kuat karena dalil-dalilnya sangat jelas.
D.
Penutup
Keberhasilan Bahrain mengumpulkan modal dalam bentuk
sukuk ijarah sebagai alternatif dari obligasi riba mengundang perhatian
berbagai negara muslim yang sedang giat menggulirkan roda ekonomi syariah.
Selain beberapa negara teluk, Indonesia sebagai negara Islam terbesar jumlah
penduduknya mencoba menerbitkan Sukuk dengan nama Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) setelah dikeluarkannya Undang-Undang No.19 tahun 2008. SBSN pertama
diterbitkan.
Untuk mendapat legalitas syar'i DSN telah
mengeluarkan fatwa No.69, 70, 71 dan 72 mengenai SBSN. Skema dari akad SBSN adalah
sebagai berikut:[13]
- Pemerintah
menjual aset yang akan dijadikan Obyek Ijarah kepada Perusahaan Penerbit SBSN
atau pihak lain melalui wakilnya yang ditunjuk dan pembeli berjanji untuk
menjual kembali aset yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan.
- Pemerintah
atau Perusahaan Penerbit SBSN menerbitkan SBSN sebagai bukti atas bagian ( ﺔﺼﺣ
) kepemilikan Obyek Ijarah, yang dibeli oleh investor pada tingkat harga
tertentu sesuai kesepakatan.
- Pemerintah
menyewa Obyek Ijarah dengan memberikan imbalan (ujrah) kepada Pemegang
SBSN selama jangka waktu SBSN.
- Pemerintah
sebagai Penyewa wajib memelihara dan menjaga Obyek Ijarah sampai dengan
berakhirnya masa sewa.
- Pemerintah
dapat membeli sebagian atau seluruh Aset SBSN sebelum jatuh tempo SBSN dan/atau
sebelum berakhirnya masa sewa Aset SBSN, dengan membayar sesuai dengan
kesepakatan.
Dalam praktiknya fatwa DSN tentang skema Sukuk Ritel
tidak jauh berbeda dengan skema yang diterapkan oleh Bahrain dalam penerbitan
sukuknya.
Dengan demikian, hukum Sukuk Ritel yang diterbitkan
oleh pemerintah Indonesia juga tidak akan berbeda dengan hukum Sukuk Bahrain.
Oleh karena itu hal-hal yang bertentangan dengan
kaidah syar'i dalam skema penerbitan Sukuk Ritel harus dihindarkan dengan
membuat akadnya secara benar dan bukan fiktif. Sehingga lebih sesuai dengan
syariat dan memang benar - benar menjadi solusi keluar dari riba dan pasti
lebih menguntungkan bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Manulang,
M. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Medan : Monora dan BKLM, 1973
Riyanto,
Bambang. Dasar-dasar Pembelajaran Perusahaan, Yayasan badan Penerbit
Gadjah Mada, 1977
Sudarsono,
Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah.
Yogyakarta: EKONISIA, 2004
Supriyadi,
Ahmad. Pasar Modal Syari’ah Di Indomesia. Kudus: STAIN, 2009
Tarmizi, Erwandi.
Harta Haram Muamalat Kontemporer. Bogor:
PT. Berkat Mulia Insani, 2014
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor
32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Obligasi syari`ah yang dipublikasikan oleh www.dsnmui.or.id.
[1] Bambang Riyanto, Dasar-dasar
Pembelajaran Perusahaan (Yayasan badan Penerbit Gadjah Mada, 1977), 128
[2] M. Manulang, Pengantar
Ekonomi Perusahaan (Medan : Monora dan BKLM, 1973)
[3] Al Ma'ayir as Syar'iyyah, hal 238. Lihat
Dr. Erwandi Tarmizi MA, Harta Haram
Muamalat Kontemporer (Bogor: PT.
Berkat Mulia Insani, 2014), 450
[4] Lihat Ketentuan umum Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional Nomor 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Obligasi syari`ah
yang dipublikasikan oleh www.dsnmui.or.id.
Lihat juga Ahmad
Supriyadi, Pasar Modal Syari’ah Di Indomesia (Kudus: STAIN, 2009), 135
[5] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah (Yogyakarta:
EKONISIA, 2004), 226
[6] Dr. Hamid
Mirah, Sukuk al Ijarah, hal 402-403. Lihat Dr. Erwandi Tarmizi MA, Harta Haram Muamalat Kontemporer, 451
[7] Tulisan ini di kutip dari buku
Dr. Erwandi Tarmizi MA, Harta Haram Muamalat Kontemporer (Bogor: PT. Berkat Mulia Insani, 2014),
451-456
[8] Dr. Hamid Mirah,
Sukuk al Ijarah, hal 406-407. Lihat Dr. Erwandi Tarmizi MA, Harta Haram Muamalat Kontemporer , 453
[9] Al Mausu'ah
fiqhiyyah Kuwaytiyyah, jilid IX, hal 260. Lihat Dr. Erwandi Tarmizi MA, Harta Haram Muamalat Kontemporer , 453
[10] Journal Islamic
Fiqh Council, edisi VII, jilid 3, hal 9. Lihat Dr. Erwandi Tarmizi MA, Harta Haram Muamalat Kontemporer , 453
[11] Majmu' Al
Fatawa, jilid IXXX, hal 333-335. Lihat Dr. Erwandi Tarmizi MA, Harta Haram Muamalat Kontemporer , 455
[12] DR. Al Madhaji,
Abraz Isykalat Sukuk. Lihat Dr. Erwandi Tarmizi MA, Harta Haram Muamalat Kontemporer , 455
[13] Dr. Erwandi Tarmizi MA, Harta Haram Muamalat Kontemporer, 456-457
Tidak ada komentar:
Posting Komentar