DANA TALANGAN HAJI
Nurul Farichah/1413222042
Fakultas Syariah
dan Ekonomi Islam
IAIN Syekh
Nurjati Cirebon
Email: nurulfarichah731@yahoo.co.id
ABSTRAK
Menunaikan ibadah haji bagi umat muslim adalah
salah satu bentuk ketakwaan kepada Allah SWT yang merupakan perwujudan dalam
menjalankan rukun Islam. Sejatinya kewajiban untuk beribadah haji hanya
ditujukan bagi umat yang mampu. Menjawab kebutuhan akan pelaksanaan ibadah
haji, beberapa tahun terakhir beberapa Bank Syariah di tanah air meluncurkan
program Dana Talangan Haji. Program
ini memberikan secercah asa bagi mereka yang punya niat kuat untuk berhaji
namun belum memiliki uang tunai untuk mendapatkan nomor porsi. Pemohon DTH
hanya prlu membayar 5 persen dari nilai pembiayaan. Kemudian mengangsur sisa
dana talangan haji melalui tabungan haji hingga tiba saatnya mereka berangkat.
Tentu saja program ini berpotensi menjadi program primadona mengingat jumlah umat
muslim di Indonesia mencapai ratusan juta jiwa.
Kata Kunci: Haji, Dana Talangan Haji, Bank Syariah.
PENDAHULUAN
Ibadah haji merupakan rukun Islam yang ke lima.
Secara istilah adalah bertujuan menuju Baitullah (Ka’bah) untuk melaksanakan
ibadah tertentu dan berziarah tempat-tempat tertentu pada waktu tertentu pula.
Menunaikannya merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mampu mengadakan
perjalanan kepada-Nya. Oleh
karenanya, tidak semua orang Islam dipanggil untuk menunaikannya, kecuali bagi
mereka yang mampu dan sanggup menunaikannya sebagaimana tersurat dalam Q.S. Ali
Imran: 97:
padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam brahim; Barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Al-Imran: 97)
Ibadah Haji adalah
perjalanan rohani menuju rahmat dan karunia Allah swt, ia merupakan salah satu
dari kelima pilar penyangga tegaknya agama islam di muka bumi yang disyariatkan
oleh Allah swt kepada hamba-hambanya. Kita sebagai umat islam tentu harus tetap
menjaga supaya ibadah haji ini menjadi pilar yang semakin memperkokoh pondasi
islam, bukan sebaliknya. Yaitu dengan cara mengamalkan sesuai dengan rukun,
syarat, dan ketentuan-ketentuan yang ada. Ibadah haji juga sebagai penyempurna
dari Rukun Islam. Allah swt telah berfirman dalam Surat
al-Baqarah ayat 196 :
Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. jika kamu terkepung
(terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah
didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya. jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa
atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi
siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji),
(wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak
menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari
dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah
sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi
orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram
(orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (Q.S. Al Baqarah (2): 196
Atas dasar inilah
orang-orang Muslim berusaha untuk menunaikan ibadah haji guna menyempurnakan
rukun Islam yang kelima. Ibadah haji termasuk ibadah yang membutuhkan biaya
relatif tinggi, setidaknya untuk muslim Indonesia. Kurang lebih untuk saat ini
harta senilai tiga puluh juta harus dipersiapkan untuk pembiayaan ibadah haji.
Dana yang sebesar itu tentu bukanlah jumlah yang sedikit, sehingga tidak semua
orang bisa melaksanakannya, hanya orang-orang tertentu yang sudah dikatakan
berkemampuan, ironisnya pula bagi sebagian masyarakat di Indonesia masih ada
anggapan bahwa berhaji akan menaikan status sosial seseorang. Faktor-faktor ini
mendorong tingginya animo masyarakat untuk berusaha melaksanakan ibadah haji
dalam keadaan dan kondisi apapun tanpa melihat lagi beberapa
pertimbangan yang menjadi syarat wajib dan sahnya haji.[1]
Sanggup mengadakan perjalanan berarti menyangkut
kesanggupan fisik, materi, maupun rohani. Ketiganya merupakan syarat yang harus
dipenuhi bagi seorang muslim yang hendak melaksanakan ibadah haji. Bila syarat
tersebut belum terpenuhi, maka gugurlah kewajiban untuk menunaikannya. Dari
ketiga syarat ini, kesiapan fisik dan rohani bisa dengan mudah dipenuhi oleh
seorang muslim, tetapi untuk syarat materi tidak mudah.[2]
Sebagaimana kita ketahui, karena banyaknya peminat
mereka yang ingin berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci, maka pihak
Kementerian Agama RI mengharuskan para calon jamaah haji untuk menyetorkan dulu
sejumlah dana (kurang lebih 25 juta) sebagai 'tanda jadi' bahwa mereka serius
ingin berangkat haji. Tentu buat mereka yang belum punya uang sebesar 25 juta,
tidak mungkin ikut antrian. Oleh karena itu agar segera bisa ikut antrian,
pihak bank kemudian menawarkan dana segar pinjaman kepada para calon jamaah
haji.
Beberapa Lembaga Keuangan Syariah (LKS) hadir untuk
memberikan berbagai jasa keuangan yang dapat diterima secara religius kepada
masyarakat umum dan komunitas muslim pada khususnya, salah satunya adalah Dana
Talangan Haji. Dana Talangan Haji adalah dana yang diberikan oleh LKS kepada
Calon Jamaah Haji untuk memenuhi persyaratan minimal setoran awal BPIH sehingga
ia bisa mendapatkan porsi haji sesuai dengan ketentuan Kementerian Agama. Dana
ini akan dikembalikan oleh jamaah sesuai dengan perjanjian (akad) yang sudah
disepakati antara LKS dengan jamaah calon haji.
PENDAPAT
MENGENAI DANA TALANGAN HAJI
Menunaikan ibadah haji bagi umat muslim adalah salah satu bentuk
ketakwaan kepada Allah SWT yang merupakan perwujudan dalam menjalankan rukun
Islam. Sejatinya kewajiban untuk beribadah haji hanya ditujukan bagi umat yang
mampu. Menjawab kebutuhan akan pelaksanaan ibadah haji, beberapa tahun terakhir
beberapa Bank Syariah di tanah air meluncurkan program Dana Talangan Haji.
Program ini memberikan secercah asa bagi mereka yang punya niat kuat untuk
berhaji namun belum memiliki uang tunai sebesar Rp. 25 juta sebagai tabungan
awal haji untuk mendapatkan nomor porsi. Pemohon DTH hanya prlu membayar 5
persen dari nilai pembiayaan haji yang Rp 25 juta itu. Kemudian mengangsur sisa
dana talangan haji melalui tabungan haji hingga tiba saatnya mereka berangkat.
Tentu saja program ini berpotensi menjadi program primadona mengingat jumlah
umat muslim di Indonesia mencapai ratusan juta jiwa. Begitu program Dana
Talangan Haji ini dibuka, umat muslim berbondong-bondong untuk mengajukan
aplikasi. Memang program ini menjadi kabar baik khususnya bagi mereka yang
memang punya niat kuat untuk berhaji. Pihak perbankan syariah pun gencar
melakukan promosi ke berbagai kalangan. Dampak yang secara langsung terlihat
adalah pertambahan luar biasa panjangnya antrian untuk berangkat haji.
Pembiayaan
talangan haji adalah pinjaman (qardh)
dari bank syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh
kursi (seat) haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Dana
talangan ini dijamin dengan deposit yang dimiliki nasabah. Nasabah kemudian
wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu
tertentu. Atas jasa peminjaman dana talangan ini, bank syariah memperoleh
imbalan (fee/ujrah) yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang
dipinjamkan.[3]
Dasar
hukum dana talangan haji menurut Fatwa DSN No. 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang
Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, yaitu:
1. QS Al-Maidah: 1
"Hai orang
yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak,
kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya."
2. QS Al-Maidah: 2
"Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesung-guhnya Allah amat berat siksa-Nya
3. Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang
beberapa prinsip bermu'amalah, antara lain hadis riwayat Muslim dari Abu
Hurairah:
"Barang
siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan
melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong
hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya."
4. Hadits
Dari Abu
Hurairah, ia berkata: “Rasulullah saw berkhutbah kepada kami, lalu ia
bersabda”: “Wahai umat manusia, sungguh Allah telah mewajibkan haji kepada
kalian, maka berhajilah”. Lalu ada seorang laki-laki yang bertanya: “Apakah
setiap tahun, wahai Rasulullah ?” Rasul diam (belum menjawab) hingga laki-laki
tersebut mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Setelah itu Rasulullah
menjawab: “sekiranya aku berkata ‘ya’ maka ia akan diwajibkan (setiap tahun)
dan kalian pasti tidak mampu (melaksanakannya)”. Kemudian Rasulullah saw
bersabda: “Ambillah apa yang aku tinggalkan kepada kalian”. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan an-Nasâi dan
dishahihkan oleh al-Albâniy).
5. Kaidah Fiqh
"Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya."
"Keperluan
dapat menduduki posisi darurat."[4]
Ada
beberapa pendapat yang menyatakan bahwa penggunaan dana talangan ini adalah
haram, namun tak sedikit pula yang mengatakan bahwa dana ini diperbolehkan.
Berikut penjelasan mengenai diperbolehkan dan haramnya dana talangan haji:
A.
Yang Membolehkan
1.
Majelis
Ulama Indonesia (MUI), melalui Dewan SyariahNasional
(DSN) telah mengeluarkan fatwa DSN-MUI No.29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan
Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah. Yang ketentuannya antara lain : LKS
hanya mendapat ujrah (fee/upah) atas jasa pengurusan haji, sedangkan qardl yang
timbul sebagai dana talangan haji tidak boleh dikenakan tambahan. Serta menyertakan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
a.
Dalam pengurusan
haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan
menggunakan prinsip al-Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor
9/DSN-MUI/IV/2000.
b.
Apabila
diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan
menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor
19/DSN-MUI/IV/2001.
c.
Jasa pengurusan
haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan
haji.
d.
Besar imbalan
jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang
diberikan LKS kepada nasabah (Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
29/Dsn-Mui/Vi/2002 Tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan
Syari’ah)
2.
Prof.
Dr. H. Ahmad Zahro, M. A, prinsip yang dipegang fuqaha adalah
bahwa orang Islam yang berkewajiban menunaikan ibadah haji adalah mereka yang
memiliki kemampuan (istitha’ah). Sebagaimana
yang terdapat dalam QS Al-Imran: 97, ..menunaikan
ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang mampu
mengadakan perjalanan ke Baitullah..
Yang perlu dipahami adalah bahwa menunaikan
ibadah haji dengan biaya talangan itu sama sekali tidak terkait dengan sah atau
tidaknya ibadah haji, tetapi semata-mata terkait dengan status mampu atau tidak
mampu, sudah wajib atau belum wajib saja. Sedangkan sah atau tidaknya ibadah
haji itu hanya terkait dengan rukun dan wajib haji yang harus dipenuhi ketika
menjalani prosesi ibadah haji. Jika ibadahnya dilaksanakan sesuai tuntutan,
memenuhi rukun dan wajibnya, maka hajinya tetap sah bahkan walaupun setelah
pulang dari tanah suci masih memppunyai tanggungan biaya talangan atupun utang,
ibadahnya tetap sah. [5]
3.
Meringankan Beban Biaya Haji
Selain
berdasarkan landasan pokok yang bersifat substantif di atas, mereka yang
menghalalkan akad ini juga menggunakan landasan hukum berdasarkan turunan atau
dampak positif yang ditimbulkan darinya. Di antaranya adalah:
a.
Dengan adanya
fasilitas dana talangan ini, maka terbuka kesempatan buat mereka yang belum
dana cukup untuk berangkat haji. Cukup dengan dana awal sekitar 2 juta rupiah,
seseorang bisa dijamin mendapatkan jatah untuk berangkat haji. Maka keberadaan
dana talangan ini meringankan beban dalam urusan biaya naik haji dan memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada khalayak untuk mewujudkan impian pergi ke
tanah suci.
b.
Dengan adanya
dana talangan ini, masyarakat bisa mendapatkan jaminan yang pasti untuk
menunaikan ibadah. Kepastian itu hanya bisa dicapai bila seseorang sudah
menyetorkan sejumlah dana tertentu yang nilainya cukup besar. Karena ditalangi oleh pihak bank, maka dana
yang cukup besar itu bisa dibayarkan sehingga jaminan berangkat haji pun dengan
mudah bisa didapat.
B.
Yang Mengharamkan
1.
Hadist Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu
“Dari Abdullah bin Amru ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal menjual sesuatu dengan
syarat memberikan hutangan, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual
sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu (HR
Abu Dawud, dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi : Hadist Ini Hasan Shahih)
2.
Kaidah Fiqh
“ Setiap
pinjaman yang membawa manfaat (bagi pemberi pinjaman) adalah riba “
Dalam Dana Talangan
Haji, pihak Lembaga Keuangan Syariah (Bank Syariah) memberi pinjaman kepada
nasabah, dan mensyaratkan untuk mengurusi berkas-berkasnya sampai mendapatkan
kursi haji. Itu semuanya dengan imbalan sejumlah uang. Dari sini, pihak Lembaga
Keuangan Syariah mendapatkan manfaat dari pinjaman yang diberikan kepada
nasabah, walaupun melalui jasa kepengurusan, sehingga dikatagorikan uang jasa
tersebut adalah riba. Pinjaman adalah kegiatan sosial, yang bertujuan membantu
sesama, dan mencari pahala dari Allah, sehingga tidak boleh dimanfaatkan untuk
mengambil keuntungan materi darinya.[6]
Pada umumnya mereka
yang mengharamkan praktik ini berargumen bahwa dalam praktik semacam ini
ada unsur riba terselubung yaitu uang sewa (ujrah) yang diterima oleh
kreditur. Mereka juga berdalih bahwa menggabungkan dua akad dalam satu
transaksi itu tidak diperbolehkan dalam syari’ah.
Dari
Uraian di atas, dapat saya ambil kesimpulan bahwa penggunaan dana talangan haji
sejatinya diperbolehkan, hal ini diperkuat dengan adanya fatwa DSN-MUI
No.29/DSN-MUI/VI/2002. Selain itu dana
talangan haji ini benar-benar bermanfaat, karena program ini mendorong
masyarakat muslim untuk pergi haji melaksanakan rukun Islam yang kelima.
Produk
pembiayaan ini merupakan produk yang prospeknya bagus karena banyak orang
muslim ingin sekali menunaikan ibadah haji, akan tetapi selalu terbentur
masalah biaya yang sangat mahal, oleh karena itu peranan perbankan syariah
sangat besar disini. Bank bukan hanya sebagai tempat untuk mencari keuntungan
ataupun berinvestasi untuk kehidupan dunia saja akan tetapi sebagai jalan
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dana
talangan haji yang dilakukan bank-bank syariah memiliki multi maslahah bagi
banyak pihak. Multi-maslahah artinya mendatangkan banyak manfaat dan
kemaslahatan bagi umat Islam, bagi rakyat (UKM), bagi bangsa, negara, serta lembaga-lembaga
keuangan syariah. Hanya saja jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak
boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji. Besar imbalan jasa
al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan
LKS kepada nasabah.
Dalam fatwa tersebut memang tidak secara eksplisit disebutkan bahwa
pihak bank boleh menarik keuntungan dari jasa meminjamkan uang. Yang disebutkan
adalah bank boleh mendapatkan imbalan jasa (ujrah) bukan dari meminjamkan uang,
tetapi dari jasa pengurusan haji dengan prinsip ijarah.
PENUTUP
Dana Talangan Haji adalah pinjaman dari
Lembaga Keuangan Syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana, guna
memperoleh kursi haji pada saat
pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Nasabah kemudian wajib
mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu.
Kemudian Lembaga Keuangan Syariah ini menguruskan pembiayaan BPIH berikut
berkas-berkasnya sampai nasabah tersebut mendapatkan kursi haji. Atas jasa
pengurusan haji tersebut, Lembaga Keuangan Syariah memperoleh imbalan, yang
besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Faisal
Fani Nasution, Pembiayaan Talangan Haji
Dalam Perbankan Syariah Ditinjau Dari Undang-Undang Perbankan Syariah,
Volume II Nomor 2 Jurnal Hukum Ekonomi, Juni 2013.
2. http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/383/hukum-dana
diakses pada tanggal 9 Desember2016, pukul 18:50 WIB
3. http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=30&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=61,
diakses pada tanggal 9 Desember2016, pukul 18:50 WIB
4. https://jejakimawan.wordpress.com/2012/06/07/problematika-dana-talangan-haji/
diakses pada tanggal 9 Desember2016, pukul 18:50 WIB
5.
Syamsul Hadi, Dana Talangan Haji (Fatwa DSN dan Praktekdi LKS), Vol. 45 No. II,
Juli-Desember 2011
6. Zahro,
Ahmad. 2016. M. A, Fiqih Kontemporer,
PT Qaf Media Kreative.
[1] https://jejakimawan.wordpress.com/2012/06/07/problematika-dana-talangan-haji/
diakses pada tanggal 9
Desember2016, pukul 18:50 WIB
[2] Syamsul Hadi, Dana Talangan Haji (Fatwa DSN dan Praktekdi
LKS), Vol. 45 No. II, Juli-Desember 2011
[3] Faisal Fani Nasution, Pembiayaan Talangan Haji Dalam Perbankan
Syariah Ditinjau Dari Undang-Undang Perbankan Syariah, Volume II Nomor 2
Jurnal Hukum Ekonomi, Juni 2013.
[4]http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=30&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=61, diakses pada tanggal 9
Desember2016, pukul 18:50 WIB
[5]
Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, 2016. M. A, Fiqih
Kontemporer, PT Qaf Media Kreative, hlm. 346
[6] http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/383/hukum-dana diakses pada tanggal 9
Desember2016, pukul 18:50 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar