Uang
Muka Dalam Jual Beli
Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Tugas individu dan Terstruktur
Mata Kuliah Masail Fiqiyah
Dosen Pengampu:
Dr. Faqiuddin A. Kodir, MA
Disusun Oleh :
Hikmah Wathon
Syari’ah / Muamalah 1 / Semester Vll
FAKULTAS SYRAIAH DAN EKONOMI ISLAM
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
Tahun 2016 M / 1437 H
Abstrak
Konteks penelitian ini adalah menjelaskan
masalah status uang muka dalam transaksi jual beli. Akad jual beli yang
dibatalkan dan uang muka tidak dikembalikan. Ketentuan mengenai akad telah
diatur dalam Al-Qur’an, hadis dan pendapat para ulama yang di dalamnya diatur
tentang rukun dan syarat akad, ketentuan obyek akad, pembatalan akad yang
diperbolehkan dan yang dilarang.
Hasil Kajian Hukum Islam bahwa: Mayoritas ahli
fikih berpendapat jual beli dengan uang muka adalah dilarang dan tidak sah.
Tetapi menurut ulama Hanafi jual beli uang muka hukumnya hanya fasid karena
cacat terjadi pada harga. Adapun mazhab Maliki dan Syafii batal, sebagian ulama
lain mazhab Hambali menyatakan kebolehan uang muka sebagai perjanjian
kompensasi berbahaya bagi pihak lain, karena resiko menunggu dan tidak
berjalannya usaha. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhayli menyebutkan sah dan halal dilakukan
berdasarkan kebiasaan (‘urf). Karena hadis-hadis yang diriwayatkan dalam kasus
jual beli ini, tidak ada satupun yang sahih. Kesimpulannya, Pemilik toko yang
sering mengikuti kebiasaan yang ada selama ini, bahwa uang muka sudah biasa
menyertai dalam transaksi jual beli dan sewa menyewa. Sehingga mereka selaras
dengan pendapat Prof. Dr. Wahbah al-Zuhayli dan sebagian ulama lain mazhab
Hambali karena resiko menunggu dan tidak berjalannya usaha.
A.
Latar
Belakang
Uang muka Panjar (DP)
dalam bahasa Arab adalah al ‘urbuun (العربون). Kata ini memiliki padanan kata
(sinonim) al urbaan (الأربان), al ‘urbaan (العربان) dan al urbuun (الأربون). Secara bahasa artinya, kata jadi
transaksi dalam jual beli. Gambaran bentuk jual beli ini yaitu, sejumlah uang
yang dibayarkan di muka oleh seorang pembeli barang kepada si penjual. Bila
transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga
pembayaran. Kalau tidak jadi, maka uang yang dibayarkan di muka menjadi milik si
penjual. Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan mengatakan : “
Apabila saya ambil barang tersebut, maka (uang muka/ down payment) ini sebagai
bagian dari nilai harga. Dan bila saya membatalkannya (tidak jadi membelinya)
maka uang ini menjadi milik anda (penjual)” Atau seorang pembeli menyerahkan
sejumlah uang dan menyatakan: Apabila saya ambil barang tersebut maka ini
adalah bagian dari nilai harga dan bila tidak jadi saya ambil maka uang (DP)
tersebut untukmu. Atau seorang membeli barang dan menyerahkan kepada penjualnya
satu dirham atau lebih dengan ketentuan apabila sipembeli mengambil barang
tersebut, maka uang panjar tersebut dihitung pembayaran dan bila gagal maka itu
milik penjual. Secara ringkas, sistem jual beli seperti ini dikenal dalam
masyarakat kita dengan pembayaran DP atau uang jadi. (istilah jawa panjer.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
hukum uang muka jual beli?
2. Bagaimana
hukum uang muka menurut pandangan islam?
3. Apakah
uang muka ?
C.
Pengertian
Uang Muka
Panjar (DP)
dalam bahasa Arab adalah al ‘urbuun (العربون). Kata ini memiliki padanan kata
(sinonim) al urbaan (الأربان), al ‘urbaan (العربان) dan al urbuun (الأربون).
Secara bahasa artinya, kata jadi transaksi dalam jual beli. Gambaran bentuk
jual beli ini yaitu, sejumlah uang yang dibayarkan di muka oleh seorang pembeli
barang kepada si penjual. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka
itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka uang yang
dibayarkan di muka menjadi milik si penjual. Atau seorang pembeli menyerahkan
sejumlah uang dan mengatakan : “ Apabila saya ambil barang tersebut, maka (uang
muka/ down payment) ini sebagai bagian dari nilai harga. Dan bila saya
membatalkannya (tidak jadi membelinya) maka uang ini menjadi milik anda
(penjual)”. Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan menyatakan:
Apabila saya ambil barang tersebut maka ini adalah bagian dari nilai harga dan
bila tidak jadi saya ambil maka uang (DP) tersebut untukmu. Atau seorang
membeli barang dan menyerahkan kepada penjualnya satu dirham atau lebih dengan
ketentuan apabila sipembeli mengambil barang tersebut, maka uang panjar
tersebut dihitung pembayaran dan bila gagal maka itu milik penjual.
D.
Hukum
Uang muka dalam jual beli
Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua
pendapat:
1. Jual
beli dengan uang muka (panjar) ini tidak sah.
Menurut Hanafiyyah, Malikiyyah dan
Syafi’iyyah.Al Khothobi menyatakan: Para ulama berselisih pendapat tentang
kebolehan uang muka jual beli ini, Malik, Syafi’I menyatakan ketidak sahannya,
karena adanya hadits[1] dan karena terdapat syarat fasad dan
Al Ghoror [2]. Juga hal ini masuk dalam
kategori memakan harta orang lain dengan bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’I
(madzhab Abu Hanifah (pen)) menilainya tidak sah.[3]
Ibnu Qudamah menyatakan: ini pendapat imam
Maalik, Al Syafi’I dan Ash-hab Al Ra’yu dan diriwayatkan juga dari Ibnu ABas
dan Al Hasan Al bashri.[4] Dasar argumentasi mereka
di antaranya:
a.
Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari
kakeknya bahwa ia berkata:
Rasulullah saw melarang jual beli dengan
sistem uang muka. Imam Maalik mengatakan uang muka dalam jual beli adalah yang
kita lihat –wallahu A’lam- seorang membeli budak atau menyewa hewan
kendaraan kemudian menyatakan: Saya berikan kepadamu satu dinar dengan
ketentuan apabila saya gagal beli atau gagal menyewanya maka uang yang telah
saya berikan itu menjadi milikmu. [5]
b. Jenis jual beli semacam itu termasuk memakan
harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan bagi si penjual tanpa
ada kompensasinya[6].
Memakan harta orang lain haram sebagaimana firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”. (QS. An Nisaa’ 4:29)
Karena dalam jual beli
itu ada dua syarat batils yakni syarat memberikan uang panjar dan syarat
mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha. Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal
yang tidak diketahui (Khiyaar Al Majhul). Kalau disyaratkan harus ada
pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga
apabila dikatakan: Saya punya hak pilih. Kapan mau akan saya kembalikan dengan
tanpa dikembalikan uang bayarannya. Ibnu
Qudamah menyatakan: Inilah Qiyas (analogi).
Pendapat ini
dirojihkan Al Syaukani dalam pernyataan beliau: Yang rojih adalah pendapat
mayoritas ulama, karena hadits ‘Amru bin Syu’aib telah ada dari beberapa jalan
periwayatan yang saling menguatkan. Juga karena hal ini mengandung larangan dan
hadits yang terkandung larangan lebih rojih dari yang menunjukkan kebolehan
sebagaimana telah jelas dalam ushul Fiqh….Ilat (sebab hokum) dari larangan ini
adalah jual beli ini mengandung dua syarat yang fasid; salah satunya adalah
syarat menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis apabila
pembeli gagal membelinya. Yang kedua adalah syarat mengembalikan barang kepada
penjual apabila tidak terjadi keridhoan untuk membelinya.
2. Jual
beli ini diperbolehkan.
Inilah
pendapat madzhab Hambaliyyah dan diriwayatkan kebolehan jual beli ini
dari Umar, Ibnu Umar, Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin. Al Khothobi
menyatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau memperbolehkan
jual beli ini dan juga diriwayatkan dari Umar. Ahmad cenderung mengambil
pendapat yang membolehkannya dan menyatakan: Aku tidak akan mampu menyatakan
sesuatu sedangkan ini adalah pendapat Umar n yaitu tentang kebolehannya.
Ahmadpun melemahkan (mendhoifkan) hadits larangan jual beli ini, Karena
terputus.
Dasar argumentasi mereka adalah:
a.
Atsar
yang berbunyi:
Diriwayatkan bahwa Nafi bin Al-Harits, ia
pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah,
(dengan ketentuan) Apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak
mendapatkan uang sekian dan sekian. Al-Atsram berkata: Saya bertanya kepada
Ahmad: “Apakah Anda berpendapat demikian?” Beliau menjawab: “Apa yang harus
kukatakan? Ini Umar z (telah berpendapat demikian).
b.
Hadits
Amru bin Syuaib adalah lemah sehingga tidak dapat dijadikan sandaran dalam
melarang jual beli ini.
Panjar ini adalah kompensasi dari penjual yang
menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Ia tentu saja
akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Tidak sah ucapan orang yang
mengatakan bahwa panjar itu telah dijadikan syarat bagi penjual tanpa ada
imbalannya.
c. Tidak sahnya kiyas atau analogi jual beli ini
dengan Al Khiyar Al Majhul (hak pilih terhadap hal yang
tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya panjar ini adalah dibatasinya
waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, batallah analogi tersebut,
dan hilangnya sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.
E. Pendapat Para Ulama Zaman Sekarang
a.
Menurut Syeikh
Abdulaziz bin Baaz mantan Mufti Agung Sudi Arabia Rohimahullah pernah ditanya: Apa
hokum melaksanakan jual beli system panjar (Al Urabun) apabila belum sempurna
jaul belinya. Bentuknya adalah dua orang melakukan transaksi jual beli, apabila
jual beli sempurna maka pembeli menyempurnakan nilai pembayarannya dan bila
tidak jadi maka penjual mengambil DP (panjar) tersebut dan tidak
mengembalikannya kepada pembeli? Beliau menjawab: Tidak mengapa mengambil DP
(uang panjar) tersebut dalam pendapat yang rojih dari dua pendapat ulama,
apabila penjual dan pembeli telah sepakat untuk itu dan jual belinya tidak
dilanjutkan (tidak disempurnakan).
b.
Menurut Fatwa
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta (komite tetap untuk penelitian
ilmiyah dan fatwa kerajaan Saudi Arabia)
1.
Fatwa no.
9388 yang berbunyi: pertanyaan: Bolehkah seorang penjual mengambil uang muka
(‘Urbuun) dari pembeli dan dalam keadaan pembeli gagal membeli atau
mengembalikannya apakah penjual berhak secara hokum syari’at mengambil uang
muka tersebut untuk dirinya tanpa mengembalikannya kepada pembeli? Jawaban:
Apabila realitanya demikian maka dibolehkan baginya (penjual) untuk memiliki
uang muka tersebut untuk dirinya dan tidak mengembalikannya kepada pembeli
–menurut pendapat yang rojih- apabila keduanya telah sepakat untuk itu.
2.
Ditanda
tangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin
Ghadayaan. Fatwa no. 19637 menjawab pertanyaan: Al ‘Urbuun sudah dikenal dengan
uang muka sedikit yang diserahkan pada waktu membeli untuk tanda jadi hingga
menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hokum jual beli tersebut?
Banyak dari para penjual yang mengambil harta Urbuun (panjar) ketika gagal
pelunasan pembayaran, bagaimana hukumnya? Jawaban: Jual beli dengan DP
(‘Urbuun) diperbolehkan. Jual beli ini dengan membawar seorang pembeli kepada
penjual atau agennya (wakilnya) sejumlah uang yang lebih sedikit dari nilai
harga barang tersebut setelah selesai transaksi, untuk jaminan barang. Ini
dilakukan agar selain pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan
apabila pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam
bagian pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil
uang muka tersebut dan memilikinya. Jual beli system panjar (‘Urbuun) ini sah,
baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya
dan penjual memiliki hak secara syar’I menagih pembeli untuk melunasi
pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang.
Kebolehan jual beli ‘Urbuun ini ditunjukkan oleh perbuatan Umar bin Al Khothob.
Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli panjar ini: boleh. dan dari Ibnu Umar
beliapun membolehkannya. Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin
menyatakan: diperbolehkan bila ia tidak ingin untuk mengembalikan barangnya dan
mengembalikan bersamanya sejumlah harta.
ü
Sedangkan
hadits yang diriwayatkan dari Nabi Rosullah saw yang berbunyi:
Rasulullah saw melarang jual beli dengan
sistem uang muka. Adalah hadits yang lemah (Dhoif), imam Ahmad dan selainnya
telah mendhoifkannya sehingga tidak bisa dijadikan sandaran. Ditanda tangani
oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan. Majlis Fikih Islam pada seminar ke delapan
telah selesai berkesimpulan dibolehkannya jual beli panjar, dan berikut ini
ketetapan-ketetapan yang mereka buat:
Yang dimaksud dengan jual beli sistem panjar
adalah menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual
dengan syarat bila ia jadi mengambil barang itu, maka uang muka tersebut masuk
dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau ia tidak jadi membelinya, maka
sejumlah uang itu menjadi milik penjual. Transaksi ini selain berlaku untuk
jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti membeli
fasilitas. Di antara jual beli dikecualikan jual beli yang memiliki syarat
harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad (jual
beli As-Salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money
Changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang
mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase
penjualan kedua yang dijanjikan.
Jual beli sistem panjar dibolehkan bila
dibatasi waktu menunggunya secara pasti, dan panjar itu dimasukkan sebagai
bagian pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual bila si
pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian. Namun perlu diingat bila
penjual mengembalikan uang muka (panjar) tersebut kepada pembeli ketika gagal
menyempurnakan jual belinya, itu lebih baik dan lebih besar pahalanya disisi
Allah sebagaimana disabdakan Rasululloh saw : Siapa yang berbuat iqaalah dalam
jual belinya kepada seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan
dan dosanya. Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan dengan seorang membeli
sesuatu dari seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya, ada
kala karena tau sangat rugi atau sudah tidak butuh lagi atau tidak mampu
melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya kepada penjual dan
penjualnya menerimanya kembali (tanpa mengambil sesuatu dari pembeli).
F.
Peneggasan
Gagasan dan argumentasi
Dari hasil pembahasan tersebut saya memiliki
argument bahwasannya uang muka dalam jual beli dilarang atau tidak sah dalam
jual beli, berdasarkan ayat al-quran juga hadis Nabi rosullah SAW yang
menyebutkan Jenis jual beli semacam itu termasuk
memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan bagi si penjual
tanpa ada kompensasinya[7]. Memakan harta orang lain
haram sebagaimana firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”. (QS. An Nisaa’ 4:29)
Karena dalam jual beli itu
ada dua syarat batils yakni pertama, syarat memberikan uang panjar dan syarat
mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak
ridha. Hukumnya sama dengan hak pilih
terhadap hal yang tidak diketahui (Khiyaar Al Majhul). Kalau
disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas
tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan: Saya punya hak pilih. Kapan mau
akan saya kembalikan dengan tanpa dikembalikan uang bayarannya. Ibnu Qudamah menyatakan: Inilah Qiyas
(analogi).
Pendapat ini
dirojihkan Al Syaukani dalam pernyataan beliau: Yang rojih adalah pendapat
mayoritas ulama, karena hadits ‘Amru bin Syu’aib telah ada dari beberapa jalan
periwayatan yang saling menguatkan. Juga karena hal ini mengandung larangan dan
hadits yang terkandung larangan lebih rojih dari yang menunjukkan kebolehan
sebagaimana telah jelas dalam ushul Fiqh….Ilat (sebab hokum) dari larangan ini
adalah jual beli ini mengandung dua syarat yang fasid; salah satunya adalah
syarat menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis apabila
pembeli gagal membelinya. Yang kedua adalah syarat mengembalikan barang kepada
penjual apabila tidak terjadi keridhoan untuk membelinya.
Rasulullah saw melarang jual beli dengan
sistem uang muka. Adalah hadits yang lemah (Dhoif), Majlis Fikih Islam pada
seminar ke delapan telah selesai berkesimpulan dibolehkannya jual beli panjar,
dan berikut ini ketetapan-ketetapan yang mereka buat:
Yang dimaksud dengan jual beli sistem panjar
adalah menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual
dengan syarat bila ia jadi mengambil barang itu, maka uang muka tersebut masuk
dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau ia tidak jadi membelinya, maka
sejumlah uang itu menjadi milik penjual. Transaksi ini selain berlaku untuk
jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti membeli
fasilitas. Di antara jual beli dikecualikan jual beli yang memiliki syarat
harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad (jual
beli As-Salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money
Changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang
mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase
penjualan kedua yang dijanjikan.
Jual beli sistem panjar
dibolehkan bila dibatasi waktu menunggunya secara pasti, dan panjar itu
dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi
milik penjual bila si pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian. Namun
perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka (panjar) tersebut kepada
pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, itu lebih baik dan lebih
besar pahalanya disisi Allah sebagaimana disabdakan Rasululloh saw : Siapa yang
berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang muslim maka Allah akan
bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya. Iqalah dalam jual beli dapat
digambarkan dengan seorang membeli sesuatu dari seorang penjual, kemudian
pembeli ini menyesal membelinya, ada kala karena tau sangat rugi atau sudah
tidak butuh lagi atau tidak mampu melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan
barangnya kepada penjual dan penjualnya menerimanya kembali (tanpa mengambil
sesuatu dari pembeli).
[5] HR imam Maalik dalam Al-Muwattha 2/609, Ahmad
dalam Musnanya (no.6436) 2/183, Abu Dawud no. 3502 (3/768) dan Ibnu Majah 3192.
lafadznya lafadz Abu Daud. Namun sanadnya lemah. Hadits ini dinilai dhoif
(lemah) oleh Syeikh Al Albani dalam kitab Dhoif Sunan Abu Daud no. 3502 dan
Dhoif Sunan Ibnu Majah 487/3192, Al Misykah 2864 dan Dhoif Al Jami’ Al Shoghir
6060
Tidak ada komentar:
Posting Komentar