Rabu, 14 Desember 2016

Najib Nugroho - Zakat Perhotelan



Zakat Perhotelan
Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Masail fiqhiyah
Dosen Pengampu:
Dr .faqiudin Abdul kodir lc.MA



 
                               





Disusun Oleh :
Najib Nugroho / 1413223076
Fakultas Syariah/ MA Semester 7
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
Tahun 2016
Jln.Perjuangan by pass Sunyaragi
                                                                 



                                                                    ABSTRAK 
 

      Kini penulis menemukan sebuah kasus adanya pengeluaran oleh zakat usaha dari perhotelan. Menurut pendapat ulama islam mengatakan bahwa zakat usaha perhotelan melakukan dasar hukum zakat nya melalui upaya qiyas, zakat perusahaan ini hampir sama dengan  zakat perdagangan dan investasi,bedaya zakat perusahaan bersifat kolektif..sedangkan para ulama peserta muktamar internasional menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan  karena di pandang dan aspek legal dan ekonomi kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah berpijak pada kegiatan tranding atau perdagangan oleh karena itu nishab nya sama dengan nisab perdagangan yaitu 85 gram emas

   
Kata kunci: usaha dari perhotelan












BAB I
PENDAHULUAN

1.       Latar Belakang

    Zakat merupakan ibadah yang terpenting dan merupakan kewajiban bagi orang isam, seperti yang di jelaskan dari hadist bukhori dan muslim “ Apabila mereka telah mematuhi hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka kepada mereka bahwa ALLah telah mewajibkan mereka mengeluarkan zakat,yang di pungut dari orang orang kaya di antara mereka lalu di serahkan kepada orang orang fakir mereka’’

     Jadi kita harus mempelajari dan memahami zakat serta hadist-hadist yang menerangkan mewajibkan zakat dengan lebih rinci dan jelas.karna dengan zakat kita bisa memebersihkan diri kita dan juga dalam harta  kita terdapat harta kit.a terdapat harta orang orang miskin yng sudah menjadi hak nya.




2.      Identifikasi masalah
a.       Apakah penegertian zakat itu ?
b.      Apa yang di maksud zakat perhotelan?
c.       Siapa saja yang berhak mendapatkan zakat?
d.      Apa aja syarat-syarat zakat?
                                                          



                                                                BAB II
                                                         PEMBAHASAN
A.    Gagasan yang ingin di sampaikan
          Disini penulis akan membahas tentang zakat usaha perhotelan..Zakat merupakan bentuk solidaritas sosial dalam islam.dengan zakat dapat di timbulkan kebersamaan dan tanggung jawab untuk saling menolongdi antra annggota masyarakat.sekaligus menghilangkan sifat egois dan individu.zakat telah di relasikan secara nyata dan sukses dalam sejarah islam.sampai-sampai pernah tak di temukan lagi orang orang fakir yang berhak mendapatkan zakat.
B.     Argumentasi-argumentasi-
1)      Pengertian Zakat
        Zakat dalam segi istilah adalah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya).Zakat dari segi bahasa berarti bersih,suci,subur,berkat dan berkembang.Menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Zakat merupakan rukun ketiga dari rukun Islam.

   2.) Zakat dari usaha perhotelan
    "Zakat perusahaan" (Corporate zakat) adalah sebuah fenomena baru, sehingga hampir dipastikan tidak ditemukan dalam kitab fiqih klasik. Ulama kontemporer melakukan dasar hukum zakat perusahaan melalui upaya qiyas, yaitu zakat perusahaan kepada zakat perdagangan. Zakat perusahaan hampir sama dengan zakat perdagangan dan investasi. Bedanya zakat perusahaan bersifat kolektif. Gejala ini dimulai dengan prakarsa para pengusaha dan manajer muslim modern untuk mengeluarkan zakat perusahaan. Kaum cendekiawan muslim ikut mengembangkan sistem ini, dan akhirnya BAZ (Badan Amil Zakat) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) juga ikut memperkokoh pelaksanaannya. Para ulama peserta muktamar internasional menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dan aspek legal dan ekonomi kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah [1]berpijak pada kegiatan trading atau perdagangan. Oleh karena itu, nishabnya adalah sama dengan nishab zakat perdagangan yaitu 85 gram emas.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas dapat dipahami bahwa modernisasi dalam bidang muamalah diizinkan oleh syariat Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam itu sendiri. Menyadari bahwa kehidupan dan kebutuhan manusia selalu berkembang dan berubah, maka syariat Islam dalam bidang muamalah, pada umumnya hanya mengatur dan menetapkan dasar-dasar hukum secara umum. Sedangkan perinciannya diserahkan kepada umat Islam, dimana pun mereka berada. Tentu perincian itu tidak menyimpang apalagi bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam. Dalam konteks inilah perusahaan ditempatkan sebagai muzakki/wajib zakat.
Perusahaan wajib mengeluarkan zakat, karena keberadaan perusahaan adalah sebagai badan hukum (recht person) atau yang dianggap orang. Oleh karena itu diantara individu itu kemudian timbul transaksi meminjam, menjual, berhubungan dengan pihak luar, dan juga menjalin kerjasama. Segala kewajiban dan hasil akhirnya pun dinikmati secara bersama-sama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah SWT dalam bentuk zakat.
Demikian halnya juga, para ulama sepakat bahwa hukum menginvestasikan harta melalui pembelian/pemilikan saham adalah sah secara syar’i dan keuntungannya wajib dizakatkan. Pemegang saham merupakan bagian dari pemilik perusahaan yang mewakilkan operasionalnya kepada pihak manajemen untuk menjalankan operasional perusahaan dimana keutungan dan kerugian perusahaan ditanggung bersama oleh pemegang saham. Keuntungan dan kerugian perusahaan dapat diketahui pada waktu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan pada saat itulah zakat di wajibkan.
3.) Orang-Orang yang berhak mendapatkan zakat
     Yaitu orang-orang yang berhak menerima zakat. Adapun mustahiq zakat harta ada delapan ashnaf sesuai dalam firman Allah Q.S. At-Taubah ayat 60, yakni:
Fakir – Adalah orang-orang yang tidak memiliki harta untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari dan tak mampu bekerja ataupun berikhtiar.
Miskin – Adalah orang-orang yang memiliki penghasilan, namun tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari atau kekurangan.
Amil – Mereka adalah orang-orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Bisa juga disebut dengan panitia zakat.
Muallaf – Orang yang baru masuk kedalam Agama Islam dan masih membutuhkan bimbingan karena keimanannya masih lemah.
Gharim – Yakni orang yang memiliki hutang piutang, namun tidak mampu untuk membayarnya.
Hamba Sahaya – Atau disebut juga budak. Yakni orang-orang yang belum merdeka dan dimerdekakan.
Sabilillah – Adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah SWT, seperti para syuhada’, para ulama, ustadz ustadzah yang mengarkan ilmu agama di pesantren ataupun di musholla dll.
Ibnu Sabil – Yakni orang-orang musafir atau yang sedang dalam perjalanan seperti contoh, orang yang sedang bertholabul ‘ilmi, melakukan dakwah dls.


4.) Syarat Syarat Zakat
Pemilik harta beragama Islam.
          Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah
shallallahu‘alaihi wa sallam, bahwa beliau menulis kepada penduduk Yaman, yaitu al-Harits bin Abdil Khilal bersama Ma’afir dan Hamdan,
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ فِي صَدَقَةِ الثِّمَارِ أَوْ قَالَ: الْعَقَارُ عُشْرُ مَا تَسْقِي الْعَيْنُ وَمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَعَلَى مَا يُسْقَى بِالْغَرْبِ نِصْفُ الْعُشْرِ
“Wajib atas kaum mukimin membayar zakat buah-buahan atau hasil pertanian, (zakatnya) 10% bila diairi dengan mata air atau air hujan dan 5% bila diairi dengan al gharb (timba besar yang terbuat dari kayu, yaitu bila membutuhkan biaya tenaga dan pengairan).” (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah, dengan sanad yang shahih, ash-Shahihah al-Albani rahimahullah no. 142)
          Al-Baihaqi rahimahullah setelah meriwayatkan hadits tersebut berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa zakat tidak dipungut dari ahli dzimmah (orang kafir yang tinggal di wilayah kekuasaan kaum muslimin).”
          An-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ (5/299) dan Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni (2/390), keduanya menyatakan tidak ada  khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama.
          Siapapun yang mengkaji sirah (perjalanan hidup) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan al-Khulafaur Rasyidin, dan khalifah-khalifah serta penguasa-penguasa setelahnya, mereka tidaklah memungut zakat dari selain kaum muslimin setempat. Sesungguhnya mereka hanya memungut jizyah (upeti) dari ahlu dzimmah (orang-orang kafir yang tinggal diwilayah kekuasaan kaum muslimin. (ash-Shahihah al-Albani rahimahullahno. 142)
          Kenapa orang kafir tidak wajib mengeluarkan zakat?
          Sebab, tujuan zakat itu untuk mensucikan dan membersihkan pemilik harta yang terkena zakat. Allah‘azza wa jalla berfirman,
“(Wahai Muhammad) ambillah zakat dari harta-harta mereka, denganya engkau dapat membersihkan (dosa) mereka dan mensucikan (memperbaiki keadaan) mereka.” (at-Taubah: 103)
          Zakat tidaklah bermanfaat bagi orang-orang kafir. Mereka itu najis, walaupun dicuci dengan air laut seluruhnya dan emas sepenuh bumi, maka tidak akan menjadi suci hingga bertaubat dari kekufurannya. (asy-Syarhul Mumthi’ al- Utsaimin rahimahullah 6/19)
2. Merdeka (bukan hamba sahaya)
          Sebab, dirinya dan hartanya adalah milik tuannya. Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallambersabda,
وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ، فَمَالُهُ لِلَّذِي بَاعَهُ، إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ المُبْتَاعُ
“Barangsiapa membeli seorang hamba sahaya dan ia memiliki harta, maka hartanya milik tuan yang menjualnya, kecuali jika pembeli mempersyaratkan
(membeli dirinya sekaligus hartanya).” (HR. al-Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543)
3. Harta telah mencapai nishab
          Nishab adalah kadar tertentu yang ditetapakan oleh syariat sebagai batas minimal suatu harta untuk dikeluarkan zakatnya. Sehingga bila harta belum sampai batasan nishab maka tidak terkenai zakat. Setiap harta berbeda-beda nishabnya. Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,[2]
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ، وَلَا فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ، وَلَا فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak ada zakat pada hasil tanaman yang takarannya kurang dari lima wasaq, tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari lima ekor, dan tidak ada zakat pada perak yang kurang dari lima awaq.” (HR. al-Bukhari no. 1447, 1448 dan Muslim no. 979, dari sahabat Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
          Satu wasaq senilai 60 sha’, satu sha’ senilai empat Mud. Maka lima wasaq senilai 300 sha’ Nabi. Satu sha’ Nabi sama dengan 2,04 kg gandum yang berkualitas baik (bur). Jadi nishab pada gandum seberat 612 kg. (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 6/76 dan Majmu’ ar Rasail 18/27)
          Lima awaq adalah nishab pada perak, senilai dengan 595 gram. Sedangkan emas nishabnya 85 gram, sebagaimana pendapat jumhur ulama. (asy-Syarhul Mumthi’ 6/103) (Masing-masing harta yang wajib di keluarkan zakatnya akan diulas pada edisi-edisi berikutnya, insyaallah)
4. Harta telah dimiliki secara tetap.
          Harta yang belum dimiliki secara tetap tidak terkenai zakat. Sebagai contoh, hasil sewa rumah sebelum berakhirnya batas waktu penyewaan. Meskipun uang sewa sudah berada di tangan pemilik rumah dengan terjadinya akad sewa, namun ia belum memilkinya secara tetap. Karena bila rumah yang disewakan itu terkena musibah atau runtuh maka akad tersebut batal dan uang sewa dikembalikan kepada penyewa.
5. Sempurnanya Haul
          Haul adalah masa satu tahun yang harus dilewati oleh nishab harta tertentu tanpa berkurang dari nishabnya hingga akhir tahun. Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Tidak ada kewajiban zakat pada suatu harta hingga berlalu satu tahun.” (HR. Ibnu Majah no. 1449 dan yang lainnya, hadits ini diriwayatkan dari sahabat Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, dan Anas radhiyallahu ‘anhum, hadits ini shahih dengan syawahidnya, bahkan ada satu jalur yang shahih, sehingga asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menshahihkannya, lihat al-Irwa’ no. 787)
          Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahberkata, “Sempurnanya haul merupakan syarat wajibnya zakat pada hewan ternak dan emas. Sebagaimana Nabi  shallallahu‘alaihi wa sallam mengirim para amil zakat (petugas resmi pemungut zakat) untuk memungut zakat pada setiap tahunnya. Kemudian para khalifah setelahnya mengamalkan syarat ini pada hewan ternak dan emas berdasarkan pengetahuan mereka bahwa syarat ini adalah tuntunan Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam.
          Al-Imam Malik rahimahullah dalam al-Muwatha’ meriwayatkan dari sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka berkata, “Bulan ini adalah bulan zakat kalian, dan mereka mengatakan, “Tidak ada zakat pada suatu harta hingga sempurnanya haul. (Majmu’ Fatawa 25/14)         
          Persyaratan haul berlaku pada semua jenis harta yang wajib di keluarkan zakatnya kecuali zakat hasil tanaman dan buah-buahan. Sedangkan zakat hasil tanaman dikeluarkan pada saat panen bila telah mencapai nishab. Perhitungan haul ini berdasarkan tahun dan bulan-bulan Hijriyah atau Qamariyah, bukan berdasarkan tahun Masehi dan bulan-bulan selain Qamariyah. (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (9/200).


C.    Pro-Kontra
     Pendapat pertama yang dikemukakan oleh Syeikh Abdurrahman isa dalam kitabnya “al-Mu’âmalah al-Hadîtsah Wa Ahkâmuha ”, mengatakan bahwa yang harus diperhatikan sebelum pengeluaran zakat adalah status perusahaannya, untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
  1. Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan yang bergerak dibidang layanan jasa semata, misalnya biro perjalanan, biro iklan, perusahaan jasa angkutan (darat, laut, udara), perusahaan hotel, maka sahamnya tidak wajib dizakati. Hal ini dikarenakan saham–saham itu terletak pada alat–alat, perlengkapan, gedung–gedung, sarana dan prasarana lainnya. Namun keuntungan yang diperoleh dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya jika telah mencapai nisab dan haul.
  2. Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan dagang murni yang melakukan transaksi jual beli barang tanpa melakukan proses pengolahan, seperti perusahaan yang menjual hasil–hasil industri, perusahaan dagang Internasional, perusahaan ekspor-impor, dan lain lain, maka saham–saham perusahaan tersebut wajib dikeluarkan zakatnya disamping zakat dari keuntungan yang diperoleh. Caranya adalah dengan menghitung kembali jumlah keseluruhan saham kemudian dikurangi harga alat-alat, barang-barang ataupun inventaris lainnya, baru kemudian dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Hal ini dapat dilakukan setiap akhir tahun.
  3. Jika perusahaan tersebut bergerak dibidang industri dan perdagangan, artinya melakukan pengolahan suatu komoditi dan kemudian menjual kembali hasil produksinya, seperti perusahaan Minyak dan Gas (MIGAS), perusahaan pengolahan mebel, marmer dan sebagainya, maka sahamnya wajib dizakatkan. Cara penghitungan dan pengeluaran zakatnya adalah sama dengan cara penghitungan zakat perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan.
Pendapat kedua yaitu pendapat Abû Zahrah yang mengatakan bahwa saham adalah harta yang beredar dan dapat diperjual–belikan, dan pemiliknya mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan tersebut, karena itu wajib dizakati. Ini termasuk dalam kategori barang dagangan dan besarnya suku zakat adalah 2,5%. Caranya adalah setiap akhir tahun, perusahaan melakukan penghitungan harga saham sesuai dengan harga yang beredar dipasaran, kemudian menggabungkannya dengan keuntungan yang diperoleh. Jika besarnya harga saham dan keuntungannya mencapai nisab maka wajib dizakatkan.
Beda halnya, Yûsuf Qaradâwi mengatakan jika saham perusahaan berupa barang atau alat seperti mesin produksi, gedung, alat transportasi dan lain-lain, maka saham perusahaan tersebut tersebut tidak dikenai zakat. Zakat hanya dikenakan pada hasil bersih atau keuntungan yang diperoleh sebesar 10%. Hukum ini juga berlaku untuk asset perusahaan yang dimiliki oleh individu/perorangan. Lain halnya kalau saham perusahaan berupa komoditi yang diperdagangkan. Zakat dapat dikenakan pada saham dan keuntungannya sekaligus karena dianalogikan dengan urûd tijârah. Besarnya suku zakat adalah 2,5 %. Hal ini juga berlaku untuk aset serupa yang dimiliki oleh perorangan.
Al-hasil, dalam konteks Indonesia, mengenai zakat perusahaaan, belum lama ini telah mencuat Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui sidang ijtima yang diadakan pada Januari lalu telah mewajibkan zakat perusahaan. Menurut Agustianto dasar hukum kewajiban zakat perusahaan ialah dalil yang bersifat umum sebagaimana terdapat dalam (Q.S. 2:267 dan Q.S. 9:103). “Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usaha-usahamu yang baik-baik…”.
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka…
Kewajiban zakat perusahaan juga didukung sebuah hadist riwayat Bukhari dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Bakar menulis surat kepadanya yang berisikan pesan tentang zakat binatang ternak yang didalamnya ada unsur syirkah. Sebagian isi surat itu antara lain: “…Jangan dipisahkan sesuatu yang telah tergabung (berserikat), karena takut mengeluarkan zakat. Dan apa-apa yang telah digabungkan dari dua orang yang telah berserikat (berkongsi), maka keduanya harus dikembalikan (diperjuangkan) secara sama”
Teks hadist tersebut sebenarnya, berkaitan dengan perkongsian zakat binatang ternak, akan tetapi ulama menerapkannya sebagai dasar qiyas (analog) untuk perkongsian yang lain, seperti perkongsian dalam perusahaan. Dengan dasar ini, maka keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha di pandang sebagai syakhsiah hukmiyah (badan hukum). Para individu di perusahaannya. Segala kewajiban ditanggung bersama dan hasil akhirpun dinikmati bersama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah, yakni zakat harta.
Namun harus diakui bahwa, kewajiban zakat bagi perusahaan yang dipandang sebagai syakhsiah hukmiah, masih mengandung sedikit khilafiayah di kalangan ulama kontemporer. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena memang lembaga badan hukum seperti perusahaan itu memang belum ada secara formal dalam wacara fiqih klasik. Meskipun ada semacam khilafiyah, tetapi umumnya ulama kontemporer yang mendalami masalah zakat, mengkategorikan lembaga badan hukum itu sebagai menerima hukum taklif dari segi kekayaan yang dimilikinya, karena pada hakekatnya badan hukum tersebut merupakan gabungan dari para pemegang saham yang masing-masing terkena taklif. Justru itu, maka tak syah lagi ia dapat dinyatakan sebagai syakhsyiyah hukmiyah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perusahaan.
Dr.Wahbah Az-Zuhaily dalam karya monumentalnya “Al-fiqhi Al-Islami wa Adillatuhu” menuliskan : Fiqih Islam mengakui apa yang disebut dalam hukum positif sebagai syakhsyiyah hukmiyah atau syakhsyiyah I’tibariyah/ma’nawiyah atau mujarradoh (badan hukum) dengan mengakui keberadaannya sebagai lembaga-lembaga umum, seperti yayasan, perhimpunan dan perusahaan, sebagai syakhsiyah (badan) yang menyerupai syakhsyiyah manusia pada segi kecakapan memiliki, mempunyai hak-hak, menjalankan kewajiban-kewajiban, memikul tanggung jawab yang berdiri sendiri secara umum”. Sejalan dengan Wahbah, Dr.Mustafa Ahmad Zarga dalam kitab “Madkhal Al-Fiqh al’Aam” mengatakan, “Fiqih Islam mengakui adanya syakhsyiyah hukmiyah atau I’tibariyah (badan hukum). (Volume III, halaman 256).
Dengan demikian, zakat perusahaan, analogi dari zakat perdagangan, maka perhitungan, nishab dan syarat-syarat lainnya, juga mengacu pada zakat perdagangan. Dasar perhitungan zakat perdagangan adalah mengacu pada riwayat yang diterangkan oleh Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwal dari Maimun bin Mihram. “Apabila telah sampai batas waktu untuk membayar zakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang (kas) atau pun barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau miliki”. Lebih mendetail lagi, Agustianto menjelaskan berdasarkan kaedah di atas, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa pola perhitungan zakat perusahaan sekarang ini, adalah di dasarkan pada neraca (balance sheet), yaitu aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar (metode asset netto). Metode ini biasa disebut oleh ulama dengan metode syari’ah. Waallâhu A’lam. (MZ)
D.Penegasan Gagasan Dan Argumentasi
      Disini penulis akan menegaskan argument di atas mengenai zakat usaha dari perhotelan.
 Semua ulama sepakat bahwa segala sesuatu yang di hasilkan dari usaha perhotelan wajib di zakati.suku besar nya 2,5%..jadi setiap akhir tahun perusahaan melakukan perhitungan saham sesuai dengan harga yang beredar di pasaran . kemudian mengaabungkan  dengan  keuntunga yang di peroleh, jika besarnya harga saham dan keuntungannya mencapai nisab maka wajib di zakatkan.[3]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
     Perusahan merupakan usaha yang di organisir sebagai suatu kesatuan resmi, perusahaan ini berporos pada kegiatan perdagangan
    Perusahaan perhotelan adalah sebuah usaha yang di organisir sebagai kesatuan resmi yang terpisah dari kepemilikan di buktikan dengan kepemilikan saham. Para ulama konteporer menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat komoditas perdagangan.bila dilihat dari segi ekonomi aktivitas sebuah perusahaan..mengenal dari hukum zakat perusahaan para ulam fiqh konteporer berbeda pendapat menangani hal ini,ada yang mewajibkan dan juga yang tidak mewajibkan karena tidak ada nash al quran yang menjelaskan tentang zakat perusahaan














                                                     DAFTAR FUSTAKA
       Permono sjechul hadi,sumber-sumbe penggalian zakat,Jakarta: pustaka firdaus,1992
       Yusuf qardawi,hukum zakat,bogor litera antar nusa 2007
         Hafidudin, Didin, zakat dalam perekonomian modern,Jakarta: gema insani press 2002 
  
    








[1]Permono,sjechul hadi,sumber-sumber penggalian zakat,jakarta:pustaka firdaus 1992
[2] Yusuf qardawi,hukum zakat, bogor litera nusa,2007
[3] Hafidudin didin, zakat dalam perekonomian modern:gema insani press,2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar