Zakat Perhotelan
Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Masail
fiqhiyah
Dosen Pengampu:
Dr .faqiudin Abdul kodir
lc.MA
Disusun Oleh :
Najib Nugroho / 1413223076
Fakultas
Syariah/ MA
Semester 7
KEMENTRIAN
AGAMA REPUBLIK INDONESIAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
Tahun
2016
Jln.Perjuangan by pass Sunyaragi
ABSTRAK
Kini penulis menemukan sebuah kasus adanya pengeluaran oleh zakat usaha
dari perhotelan. Menurut pendapat ulama islam mengatakan bahwa zakat usaha
perhotelan melakukan dasar hukum zakat nya melalui upaya qiyas, zakat
perusahaan ini hampir sama dengan zakat
perdagangan dan investasi,bedaya zakat perusahaan bersifat kolektif..sedangkan
para ulama peserta muktamar internasional menganalogikan zakat perusahaan
kepada zakat perdagangan karena di
pandang dan aspek legal dan ekonomi kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah
berpijak pada kegiatan tranding atau perdagangan oleh karena itu nishab nya
sama dengan nisab perdagangan yaitu 85 gram emas
Kata kunci: usaha dari perhotelan
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Zakat merupakan ibadah yang terpenting dan
merupakan kewajiban bagi orang isam, seperti yang di jelaskan dari hadist
bukhori dan muslim “ Apabila mereka telah mematuhi hal itu, maka beritahukanlah
kepada mereka kepada mereka bahwa ALLah telah mewajibkan mereka mengeluarkan
zakat,yang di pungut dari orang orang kaya di antara mereka lalu di serahkan
kepada orang orang fakir mereka’’
Jadi kita harus
mempelajari dan memahami zakat serta hadist-hadist yang menerangkan mewajibkan
zakat dengan lebih rinci dan jelas.karna dengan zakat kita bisa memebersihkan
diri kita dan juga dalam harta kita
terdapat harta kit.a terdapat harta orang orang miskin yng sudah menjadi hak
nya.
2.
Identifikasi
masalah
a.
Apakah
penegertian zakat itu ?
b.
Apa
yang di maksud zakat perhotelan?
c.
Siapa
saja yang berhak mendapatkan zakat?
d.
Apa
aja syarat-syarat zakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Gagasan
yang ingin di sampaikan
Disini penulis akan membahas tentang zakat
usaha perhotelan..Zakat merupakan bentuk solidaritas sosial dalam islam.dengan
zakat dapat di timbulkan kebersamaan dan tanggung jawab untuk saling menolongdi
antra annggota masyarakat.sekaligus menghilangkan sifat egois dan
individu.zakat telah di relasikan secara nyata dan sukses dalam sejarah
islam.sampai-sampai pernah tak di temukan lagi orang orang fakir yang berhak
mendapatkan zakat.
B.
Argumentasi-argumentasi-
1)
Pengertian
Zakat
Zakat
dalam segi istilah adalah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang
beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir
miskin dan sebagainya).Zakat dari segi bahasa berarti bersih,suci,subur,berkat
dan berkembang.Menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.
Zakat merupakan rukun ketiga dari rukun Islam.
2.) Zakat dari usaha perhotelan
"Zakat
perusahaan" (Corporate zakat) adalah sebuah fenomena baru, sehingga hampir
dipastikan tidak ditemukan dalam kitab fiqih klasik. Ulama kontemporer
melakukan dasar hukum zakat perusahaan melalui upaya qiyas, yaitu zakat
perusahaan kepada zakat perdagangan. Zakat perusahaan hampir sama dengan zakat
perdagangan dan investasi. Bedanya zakat perusahaan bersifat kolektif. Gejala
ini dimulai dengan prakarsa para pengusaha dan manajer muslim modern untuk
mengeluarkan zakat perusahaan. Kaum cendekiawan muslim ikut mengembangkan
sistem ini, dan akhirnya BAZ (Badan Amil Zakat) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat)
juga ikut memperkokoh pelaksanaannya. Para ulama peserta muktamar internasional
menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dan
aspek legal dan ekonomi kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah [1]berpijak
pada kegiatan trading atau perdagangan. Oleh karena itu, nishabnya adalah sama
dengan nishab zakat perdagangan yaitu 85 gram emas.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas dapat dipahami bahwa modernisasi dalam
bidang muamalah diizinkan oleh syariat Islam, selama tidak bertentangan dengan
prinsip dan jiwa syariat Islam itu sendiri. Menyadari bahwa kehidupan dan
kebutuhan manusia selalu berkembang dan berubah, maka syariat Islam dalam
bidang muamalah, pada umumnya hanya mengatur dan menetapkan dasar-dasar hukum
secara umum. Sedangkan perinciannya diserahkan kepada umat Islam, dimana pun
mereka berada. Tentu perincian itu tidak menyimpang apalagi bertentangan dengan
prinsip dan jiwa syariat Islam. Dalam konteks inilah perusahaan ditempatkan
sebagai muzakki/wajib zakat.
Perusahaan wajib mengeluarkan zakat, karena keberadaan perusahaan adalah
sebagai badan hukum (recht person) atau yang dianggap orang. Oleh karena itu
diantara individu itu kemudian timbul transaksi meminjam, menjual, berhubungan
dengan pihak luar, dan juga menjalin kerjasama. Segala kewajiban dan hasil
akhirnya pun dinikmati secara bersama-sama, termasuk di dalamnya kewajiban
kepada Allah SWT dalam bentuk zakat.
Demikian halnya juga, para ulama sepakat bahwa hukum menginvestasikan harta
melalui pembelian/pemilikan saham adalah sah secara syar’i dan keuntungannya
wajib dizakatkan. Pemegang saham merupakan bagian dari pemilik perusahaan yang
mewakilkan operasionalnya kepada pihak manajemen untuk menjalankan operasional
perusahaan dimana keutungan dan kerugian perusahaan ditanggung bersama oleh
pemegang saham. Keuntungan dan kerugian perusahaan dapat diketahui pada waktu
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan pada saat itulah zakat di wajibkan.
3.) Orang-Orang yang berhak mendapatkan zakat
Yaitu orang-orang yang berhak menerima
zakat. Adapun mustahiq zakat harta ada delapan ashnaf sesuai dalam firman Allah
Q.S. At-Taubah ayat 60, yakni:
Fakir – Adalah orang-orang
yang tidak memiliki harta untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari dan tak mampu
bekerja ataupun berikhtiar.
Miskin – Adalah orang-orang
yang memiliki penghasilan, namun tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari
atau kekurangan.
Amil – Mereka adalah
orang-orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat kepada
orang-orang yang berhak menerimanya. Bisa juga disebut dengan panitia zakat.
Muallaf – Orang yang baru
masuk kedalam Agama Islam dan masih membutuhkan bimbingan karena keimanannya
masih lemah.
Gharim – Yakni orang yang
memiliki hutang piutang, namun tidak mampu untuk membayarnya.
Hamba Sahaya – Atau disebut
juga budak. Yakni orang-orang yang belum merdeka dan dimerdekakan.
Sabilillah – Adalah orang-orang
yang berjuang di jalan Allah SWT, seperti para syuhada’, para ulama, ustadz
ustadzah yang mengarkan ilmu agama di pesantren ataupun di musholla dll.
Ibnu Sabil – Yakni orang-orang
musafir atau yang sedang dalam perjalanan seperti contoh, orang yang sedang
bertholabul ‘ilmi, melakukan dakwah dls.
4.) Syarat Syarat Zakat
Pemilik
harta beragama Islam.
Abdullah
bin Umar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari
Rasulullah
shallallahu‘alaihi
wa sallam, bahwa
beliau menulis kepada penduduk Yaman, yaitu al-Harits bin Abdil Khilal bersama
Ma’afir dan Hamdan,
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ فِي
صَدَقَةِ الثِّمَارِ أَوْ قَالَ: الْعَقَارُ عُشْرُ مَا تَسْقِي الْعَيْنُ وَمَا
سَقَتِ السَّمَاءُ وَعَلَى مَا يُسْقَى بِالْغَرْبِ نِصْفُ الْعُشْرِ
“Wajib
atas kaum mukimin membayar zakat buah-buahan atau hasil pertanian, (zakatnya)
10% bila diairi dengan mata air atau air hujan dan 5% bila diairi dengan al
gharb (timba besar yang terbuat dari kayu, yaitu bila membutuhkan biaya tenaga
dan pengairan).” (HR.
al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah, dengan sanad yang shahih, ash-Shahihah al-Albani rahimahullah no.
142)
Al-Baihaqi rahimahullah setelah meriwayatkan hadits tersebut berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa
zakat tidak dipungut dari ahli dzimmah (orang kafir yang
tinggal di wilayah kekuasaan kaum muslimin).”
An-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ (5/299)
dan Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni (2/390),
keduanya menyatakan tidak ada khilaf (perbedaan
pendapat) di antara para ulama.
Siapapun
yang mengkaji sirah (perjalanan hidup) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan al-Khulafaur Rasyidin, dan khalifah-khalifah
serta penguasa-penguasa setelahnya, mereka tidaklah memungut zakat dari selain
kaum muslimin setempat. Sesungguhnya mereka hanya memungut jizyah (upeti) dari
ahlu dzimmah (orang-orang kafir yang tinggal diwilayah kekuasaan kaum muslimin.
(ash-Shahihah al-Albani rahimahullahno. 142)
Kenapa
orang kafir tidak wajib mengeluarkan zakat?
Sebab,
tujuan zakat itu untuk mensucikan dan membersihkan pemilik harta yang terkena
zakat. Allah‘azza wa jalla berfirman,
“(Wahai
Muhammad) ambillah zakat dari harta-harta mereka, denganya engkau dapat
membersihkan (dosa) mereka dan mensucikan (memperbaiki keadaan) mereka.” (at-Taubah: 103)
Zakat
tidaklah bermanfaat bagi orang-orang kafir. Mereka itu najis, walaupun dicuci
dengan air laut seluruhnya dan emas sepenuh bumi, maka tidak akan menjadi suci
hingga bertaubat dari kekufurannya. (asy-Syarhul Mumthi’ al-
Utsaimin rahimahullah 6/19)
2.
Merdeka (bukan hamba sahaya)
Sebab,
dirinya dan hartanya adalah milik tuannya. Rasulullah shallallahu‘alaihi
wa sallambersabda,
وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ
مَالٌ، فَمَالُهُ لِلَّذِي بَاعَهُ، إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ المُبْتَاعُ
“Barangsiapa
membeli seorang hamba sahaya dan ia memiliki harta, maka hartanya milik tuan
yang menjualnya, kecuali jika pembeli mempersyaratkan
(membeli
dirinya sekaligus hartanya).” (HR.
al-Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543)
3.
Harta telah mencapai nishab
Nishab
adalah kadar tertentu yang ditetapakan oleh syariat sebagai batas minimal suatu
harta untuk dikeluarkan zakatnya. Sehingga bila harta belum sampai batasan
nishab maka tidak terkenai zakat. Setiap harta berbeda-beda nishabnya.
Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,[2]
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ
أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ، وَلَا فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ، وَلَا فِيمَا
دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak
ada zakat pada hasil tanaman yang takarannya kurang dari lima wasaq, tidak ada
zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari lima ekor, dan tidak ada zakat pada
perak yang kurang dari lima awaq.” (HR.
al-Bukhari no. 1447, 1448 dan Muslim no. 979, dari
sahabat Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Satu
wasaq senilai 60 sha’, satu sha’ senilai empat Mud. Maka lima wasaq senilai 300
sha’ Nabi. Satu sha’ Nabi sama dengan 2,04 kg gandum yang berkualitas baik
(bur). Jadi nishab pada gandum seberat 612 kg. (Lihat asy-Syarhul
Mumti’ 6/76 dan Majmu’ ar Rasail 18/27)
Lima
awaq adalah nishab pada perak, senilai dengan 595 gram. Sedangkan emas
nishabnya 85 gram, sebagaimana pendapat jumhur ulama. (asy-Syarhul Mumthi’ 6/103)
(Masing-masing harta yang wajib di keluarkan zakatnya akan diulas pada
edisi-edisi berikutnya, insyaallah)
4.
Harta telah dimiliki secara tetap.
Harta
yang belum dimiliki secara tetap tidak terkenai zakat. Sebagai contoh, hasil
sewa rumah sebelum berakhirnya batas waktu penyewaan. Meskipun uang sewa sudah
berada di tangan pemilik rumah dengan terjadinya akad sewa, namun ia belum
memilkinya secara tetap. Karena bila rumah yang disewakan itu terkena musibah
atau runtuh maka akad tersebut batal dan uang sewa dikembalikan kepada
penyewa.
5.
Sempurnanya Haul
Haul adalah
masa satu tahun yang harus dilewati oleh nishab harta tertentu tanpa berkurang
dari nishabnya hingga akhir tahun. Rasulullah shallallahu‘alaihi wa
sallam bersabda,
لَا زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى
يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Tidak
ada kewajiban zakat pada suatu harta hingga berlalu satu tahun.” (HR. Ibnu Majah no. 1449 dan yang
lainnya, hadits ini diriwayatkan dari sahabat Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Umar, dan Anas radhiyallahu ‘anhum, hadits ini shahih dengan
syawahidnya, bahkan ada satu jalur yang shahih, sehingga asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menshahihkannya,
lihat al-Irwa’ no. 787)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahberkata, “Sempurnanya haul
merupakan syarat wajibnya zakat pada hewan ternak dan emas. Sebagaimana
Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam mengirim para amil
zakat (petugas resmi pemungut zakat) untuk memungut zakat pada setiap tahunnya.
Kemudian para khalifah setelahnya mengamalkan syarat ini pada hewan ternak dan
emas berdasarkan pengetahuan mereka bahwa syarat ini adalah tuntunan Rasulullah shallallahu‘alaihi
wa sallam.
Al-Imam
Malik rahimahullah dalam al-Muwatha’ meriwayatkan
dari sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, dan Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhum, bahwa mereka berkata, “Bulan ini adalah bulan zakat kalian, dan
mereka mengatakan, “Tidak ada zakat pada suatu harta hingga sempurnanya haul. (Majmu’
Fatawa 25/14)
Persyaratan
haul berlaku pada semua jenis harta yang wajib di keluarkan zakatnya kecuali
zakat hasil tanaman dan buah-buahan. Sedangkan zakat hasil tanaman dikeluarkan
pada saat panen bila telah mencapai nishab. Perhitungan haul ini berdasarkan
tahun dan bulan-bulan Hijriyah atau Qamariyah, bukan berdasarkan tahun Masehi
dan bulan-bulan selain Qamariyah. (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (9/200).
C. Pro-Kontra
Pendapat pertama yang
dikemukakan oleh Syeikh Abdurrahman isa dalam kitabnya “al-Mu’âmalah
al-Hadîtsah Wa Ahkâmuha ”, mengatakan bahwa yang harus diperhatikan sebelum
pengeluaran zakat adalah status perusahaannya, untuk lebih jelasnya sebagai
berikut:
- Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan yang bergerak dibidang layanan jasa semata, misalnya biro perjalanan, biro iklan, perusahaan jasa angkutan (darat, laut, udara), perusahaan hotel, maka sahamnya tidak wajib dizakati. Hal ini dikarenakan saham–saham itu terletak pada alat–alat, perlengkapan, gedung–gedung, sarana dan prasarana lainnya. Namun keuntungan yang diperoleh dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya jika telah mencapai nisab dan haul.
- Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan dagang murni yang melakukan transaksi jual beli barang tanpa melakukan proses pengolahan, seperti perusahaan yang menjual hasil–hasil industri, perusahaan dagang Internasional, perusahaan ekspor-impor, dan lain lain, maka saham–saham perusahaan tersebut wajib dikeluarkan zakatnya disamping zakat dari keuntungan yang diperoleh. Caranya adalah dengan menghitung kembali jumlah keseluruhan saham kemudian dikurangi harga alat-alat, barang-barang ataupun inventaris lainnya, baru kemudian dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Hal ini dapat dilakukan setiap akhir tahun.
- Jika perusahaan tersebut bergerak dibidang industri dan perdagangan, artinya melakukan pengolahan suatu komoditi dan kemudian menjual kembali hasil produksinya, seperti perusahaan Minyak dan Gas (MIGAS), perusahaan pengolahan mebel, marmer dan sebagainya, maka sahamnya wajib dizakatkan. Cara penghitungan dan pengeluaran zakatnya adalah sama dengan cara penghitungan zakat perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan.
Pendapat kedua yaitu pendapat Abû Zahrah yang mengatakan bahwa saham adalah
harta yang beredar dan dapat diperjual–belikan, dan pemiliknya mendapatkan
keuntungan dari hasil penjualan tersebut, karena itu wajib dizakati. Ini
termasuk dalam kategori barang dagangan dan besarnya suku zakat adalah 2,5%.
Caranya adalah setiap akhir tahun, perusahaan melakukan penghitungan harga
saham sesuai dengan harga yang beredar dipasaran, kemudian menggabungkannya
dengan keuntungan yang diperoleh. Jika besarnya harga saham dan keuntungannya
mencapai nisab maka wajib dizakatkan.
Beda halnya, Yûsuf Qaradâwi mengatakan jika saham perusahaan berupa barang
atau alat seperti mesin produksi, gedung, alat transportasi dan lain-lain, maka
saham perusahaan tersebut tersebut tidak dikenai zakat. Zakat hanya dikenakan
pada hasil bersih atau keuntungan yang diperoleh sebesar 10%. Hukum ini juga
berlaku untuk asset perusahaan yang dimiliki oleh individu/perorangan. Lain
halnya kalau saham perusahaan berupa komoditi yang diperdagangkan. Zakat dapat
dikenakan pada saham dan keuntungannya sekaligus karena dianalogikan dengan
urûd tijârah. Besarnya suku zakat adalah 2,5 %. Hal ini juga berlaku untuk aset
serupa yang dimiliki oleh perorangan.
Al-hasil, dalam konteks Indonesia, mengenai zakat perusahaaan, belum lama
ini telah mencuat Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui sidang ijtima
yang diadakan pada Januari lalu telah mewajibkan zakat perusahaan. Menurut
Agustianto dasar hukum kewajiban zakat perusahaan ialah dalil yang bersifat
umum sebagaimana terdapat dalam (Q.S. 2:267 dan Q.S. 9:103). “Wahai
orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil
usaha-usahamu yang baik-baik…”.
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu
membersihkan dan mensucikan mereka…
Kewajiban zakat perusahaan juga didukung sebuah hadist riwayat Bukhari dari
Anas bin Malik, bahwasanya Abu Bakar menulis surat kepadanya yang berisikan
pesan tentang zakat binatang ternak yang didalamnya ada unsur syirkah. Sebagian
isi surat itu antara lain: “…Jangan dipisahkan sesuatu yang telah tergabung
(berserikat), karena takut mengeluarkan zakat. Dan apa-apa yang telah
digabungkan dari dua orang yang telah berserikat (berkongsi), maka keduanya
harus dikembalikan (diperjuangkan) secara sama”
Teks hadist tersebut sebenarnya, berkaitan dengan perkongsian zakat
binatang ternak, akan tetapi ulama menerapkannya sebagai dasar qiyas (analog)
untuk perkongsian yang lain, seperti perkongsian dalam perusahaan. Dengan dasar
ini, maka keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha di pandang sebagai
syakhsiah hukmiyah (badan hukum). Para individu di perusahaannya. Segala
kewajiban ditanggung bersama dan hasil akhirpun dinikmati bersama, termasuk di
dalamnya kewajiban kepada Allah, yakni zakat harta.
Namun harus diakui bahwa, kewajiban zakat bagi perusahaan yang dipandang
sebagai syakhsiah hukmiah, masih mengandung sedikit khilafiayah di kalangan
ulama kontemporer. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena memang lembaga
badan hukum seperti perusahaan itu memang belum ada secara formal dalam wacara
fiqih klasik. Meskipun ada semacam khilafiyah, tetapi umumnya ulama kontemporer
yang mendalami masalah zakat, mengkategorikan lembaga badan hukum itu sebagai
menerima hukum taklif dari segi kekayaan yang dimilikinya, karena pada
hakekatnya badan hukum tersebut merupakan gabungan dari para pemegang saham
yang masing-masing terkena taklif. Justru itu, maka tak syah lagi ia dapat
dinyatakan sebagai syakhsyiyah hukmiyah yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan perusahaan.
Dr.Wahbah Az-Zuhaily dalam karya monumentalnya “Al-fiqhi Al-Islami wa Adillatuhu” menuliskan : Fiqih Islam mengakui apa yang disebut dalam hukum positif sebagai syakhsyiyah hukmiyah atau syakhsyiyah I’tibariyah/ma’nawiyah atau mujarradoh (badan hukum) dengan mengakui keberadaannya sebagai lembaga-lembaga umum, seperti yayasan, perhimpunan dan perusahaan, sebagai syakhsiyah (badan) yang menyerupai syakhsyiyah manusia pada segi kecakapan memiliki, mempunyai hak-hak, menjalankan kewajiban-kewajiban, memikul tanggung jawab yang berdiri sendiri secara umum”. Sejalan dengan Wahbah, Dr.Mustafa Ahmad Zarga dalam kitab “Madkhal Al-Fiqh al’Aam” mengatakan, “Fiqih Islam mengakui adanya syakhsyiyah hukmiyah atau I’tibariyah (badan hukum). (Volume III, halaman 256).
Dr.Wahbah Az-Zuhaily dalam karya monumentalnya “Al-fiqhi Al-Islami wa Adillatuhu” menuliskan : Fiqih Islam mengakui apa yang disebut dalam hukum positif sebagai syakhsyiyah hukmiyah atau syakhsyiyah I’tibariyah/ma’nawiyah atau mujarradoh (badan hukum) dengan mengakui keberadaannya sebagai lembaga-lembaga umum, seperti yayasan, perhimpunan dan perusahaan, sebagai syakhsiyah (badan) yang menyerupai syakhsyiyah manusia pada segi kecakapan memiliki, mempunyai hak-hak, menjalankan kewajiban-kewajiban, memikul tanggung jawab yang berdiri sendiri secara umum”. Sejalan dengan Wahbah, Dr.Mustafa Ahmad Zarga dalam kitab “Madkhal Al-Fiqh al’Aam” mengatakan, “Fiqih Islam mengakui adanya syakhsyiyah hukmiyah atau I’tibariyah (badan hukum). (Volume III, halaman 256).
Dengan demikian, zakat perusahaan, analogi dari zakat perdagangan, maka
perhitungan, nishab dan syarat-syarat lainnya, juga mengacu pada zakat
perdagangan. Dasar perhitungan zakat perdagangan adalah mengacu pada riwayat
yang diterangkan oleh Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwal dari Maimun bin Mihram.
“Apabila telah sampai batas waktu untuk membayar zakat, perhatikanlah apa yang
engkau miliki baik uang (kas) atau pun barang yang siap diperdagangkan
(persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang. Demikian pula piutang.
Kemudian hitunglah hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau
miliki”. Lebih mendetail lagi, Agustianto menjelaskan berdasarkan kaedah di
atas, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa pola perhitungan zakat perusahaan
sekarang ini, adalah di dasarkan pada neraca (balance sheet), yaitu aktiva
lancar dikurangi kewajiban lancar (metode asset netto). Metode ini biasa
disebut oleh ulama dengan metode syari’ah. Waallâhu A’lam. (MZ)
D.Penegasan Gagasan Dan Argumentasi
Disini penulis akan
menegaskan argument di atas mengenai zakat usaha dari perhotelan.
Semua ulama sepakat bahwa segala
sesuatu yang di hasilkan dari usaha perhotelan wajib di zakati.suku besar nya
2,5%..jadi setiap akhir tahun perusahaan melakukan perhitungan saham sesuai
dengan harga yang beredar di pasaran . kemudian mengaabungkan dengan
keuntunga yang di peroleh, jika besarnya harga saham dan keuntungannya
mencapai nisab maka wajib di zakatkan.[3]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perusahan merupakan usaha
yang di organisir sebagai suatu kesatuan resmi, perusahaan ini berporos pada
kegiatan perdagangan
Perusahaan perhotelan adalah
sebuah usaha yang di organisir sebagai kesatuan resmi yang terpisah dari
kepemilikan di buktikan dengan kepemilikan saham. Para ulama konteporer
menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat komoditas perdagangan.bila dilihat
dari segi ekonomi aktivitas sebuah perusahaan..mengenal dari hukum zakat
perusahaan para ulam fiqh konteporer berbeda pendapat menangani hal ini,ada
yang mewajibkan dan juga yang tidak mewajibkan karena tidak ada nash al quran
yang menjelaskan tentang zakat perusahaan
DAFTAR FUSTAKA
Permono sjechul hadi,sumber-sumbe
penggalian zakat,Jakarta: pustaka firdaus,1992
Yusuf qardawi,hukum
zakat,bogor litera antar nusa 2007
Hafidudin, Didin, zakat
dalam perekonomian modern,Jakarta: gema insani press 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar