Rabu, 14 Desember 2016

Silviahani Nurkholis - Salam di Perbankan Syari'ah



SALAM DI PERBANKAN SYARIAH

Silviahani Nurkholis
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
IAIN Syekh Nurjati Cirebon


ABSTRAK
Keberadaan perbankan syariah merupakan sebuah alternatif bagi praktik perbankan konvensional. Pesatnya pertumbuhan perbankan syariah sudah seharusnya diiringi dengan perkembangan jenis produk dan variasi akad yang sesuai dengan prinsip syariah. Perkembangan produk ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan transaksi nasabah. Islam juga memberikan instrumen-instrumen bersifat teknis praktis berupa akad. Diantaranya akad-akad itu adalah jual beli dalam bentuk ” pembiayaan salam”. Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam menyalurkan dana kepada pihak lain selain bank berdasarkan prinsip syariah. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan didasarkan pada kepercayaan yang diberikan oleh pemilik dana kepada pengguna dana. Pembiayaan salam merupakan transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara tangguh, sedangkan pembayaran secara tunai.

Kata Kunci: Salam, Pembiayaan Salam



PENDAHULUAN
Dalam penjelasan pasal 3 peraturan Bank Indonesia No. 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip bank syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bagi bank syariah disebutkan definisi dari salam yaitu “Salam adalah transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai yang terlebih dahulu dibayar secara penuh.
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-istishna’.
Secara bahasa, salam (سلم) adalah  al-i'tha' (الإعطاء) dan at-taslif  (التسليف). Keduanya  bermakna pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyath bermakna: dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.
Sedangkan  secara  istilah  syariah,  akad  salam didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا). Jual-beli  barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf.
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada  masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada uang dari harga barang. Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia.[1]




A.  SALAM DI PERBANKAN SYARIAH
Salam, merupakan transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada ketika transaksi dilakukan, pembeli melakukan pembayaran dimuka sedangkan penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari. Salam, merupakan transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada ketika transaksi dilakukan, pembeli melakukan pembayaran dimuka sedangkan penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari.[2]
Salam paralel, artinya melaksanakan dua transaksi bai‟ salam yaitu antara pemesan dan penjual dan antara penjual dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.
Jika ditelusuri lebih lanjut, salam sudah diterapkan pada zaman Rasulullah SAW. Salam diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Ketentuan syarat yang ditetapkan dalam akad salam bukanlah untuk mempersulit penerapan akad salam. Akan tetapi, akad salam merupakan bagian dari transaksi jual beli yang sangat mengedepankan kepercayaan. Jumlah kuantitas dan jenis kualitasnya pun harus jelas tertera dalam akad. Hal ini guna menghindari bentuk moral hazard yang rentan sekali dihadapi dalam transaksi salam.
Permasalahan lainnya mengenai akad salam adalah, sejauh ini akad salam hanya dianggap cocok untuk industri pertanian. Besarnya risiko yang terkandung dalam sektor pertanian ini juga mempengaruhi keengganan pihak perbankan dalam penyaluran modal kerja ke sektor pertanian yang tidak hanya berdasarkan akad salam. Padahal, berdasarkan definisi yang terkandung dari bay’ al salam itu sendiri tidaklah sesempit bagaimana pihak perbankan mengaplikasikan akad salam dalam penyaluran pembiayaannyan.
pembiayaan salam merupakan pembiayaan yang dengan prinsip syariah dengan menggunakan akad jual bali barang pesanan dengan penangguhan pengiriman oleh penjual dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli sebelum barang  pesanan tersebut diterima sesuai dengan syarat-syarat tertentu.


B.     DASAR HUKUM BAI’US SALAM
Landasan syariah bai us salam terdapat dalam al-qur’an dan al hadist yaitu
1.      Qs. Al-Baqarah 2: 282 :
 “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hedaklah kamu menulisnya....”

2.      Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:

Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu....”

3.      HR. Bukhari dari Ibnu Abbas

Barang siapa melakukan salam, hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui “
Hadits tersebut merupakan dalil yang secara shahih menjelaskan tentang keabsahan jual beli salam. Menurut Ibnu Abbas, suatu ketika Rasulullah melakukan jual beli salam atas kurma untuk jangka waktu satu tahun, dua tahun, dan bahkan tiga tahun. Melihat praktek ini, kemudian Rasulullah bersabda seperti yang terdapat dalam matan hadits ini.
4.      Kaidah Fiqh
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”[3]

C.    PRO DAN KONTRA SALAM DI PERBANKAN SYARIAH
Banyak faktor yang dapat menyebabkan tidak diterapkannya akad salam di dunia perbankan syariah, diantaranya kurangnya pemahaman para praktisi perbankan tentang aplikasi akad salam, kurangnya pengetahuan serta pengenalan masyarakat akan seluk beluk bank syariah, serta besarnya risiko yang terkandung dalam akad salam itu sendiri.
Adanya ketimpangan inilah, dimana akad salam sesuai menurut konsep tapi tidak diaplikasikan di sektor pertanian yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tidak diterapkannya akad salam diperbankan syariah sehingga nantinya dapat dicari solusi dan strategi kebijakan terbaik bagi industri perbankan syariah dalam pengembangan produknya, terutama berakadkan salam. Setelah faktor-faktor tersebut diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah bagaimana mencari solusi serta strategi untuk menjadikan akad salam sebagai salah satu produk pembiayaan yang applicable, bankable, serta marketable untuk diterapkan di industri perbankan syariah.
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam yaitu akad pemasaran suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan.
Maka para ulama telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau tunda. Adapun bila pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang telah terjadi yaitu dengan memesan barang dengan tempo satu tahun, kemudian ketika pembayaran pemesan membayar dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan yang akan datang, maka akad seperti ini dilarang dan haram hukumnya. Hal ini berdasarkan hadits berikut yang artinya “Dari sahabat Ibnu Umar r.a bahwasannyab Nabi saw melarang jual beli piutang dengan piutang”.
Barang pesanan tersedia di pasar pada saat jatuh tempo pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersediaan barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya diharamkan dalam syariat Islam. Seperti memesan buah musiman yaitu durian dan mangga, maka pemesannan ini tidak dibenarkan. Selain mengandung unsur ghoror (untung-untugan), akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak.  Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah “memudahkan”, sebagaiamana disebutkan dalam hadits artinya “tidak ada kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan”. (Riwaayat Ahmad Ibnu Majah dan dihasankan oleh Albany)
Menurut Umar (1995) dalam paper penelitian yang berjudul Shari’ah, Economic and Accounting Framework of Bay’ Al Salam in The Light of Contemporary Application menyebutkan salam merupakan suatu teknik transaksi yang sesuai dengan syariat Islam dimana dapat memenuhi banyak kebutuhan baik dalam lingkup keuangan, investasi, produksi, dan pemasaran. Sama halnya dengan teknik keuangan syariah lainya, suatu cakupan yang sangat luas untuk kegiatan operasional perbankan syariah. Ahli fiqh klasik pun telah memberikan banyak pertimbangan atas akad salam, demikian halnya dengan ahli fiqh kontemporer sangat menekankan pada akad salam adanya hubungan yang fair (adil) dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam beberapa bagian penelitian ini juga Umar mencoba bergantung pada sebagian besar literatur klasik pada subjek.  Dalam penelitian ini beliau berpedoman pada empat mazhab, dan terkadang merujuk pada mazhab Dzahiri.
Menurut Hakim (1999) dalam tulisan paper di tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah-DPNP tentang Problem Pengembangan Produk dalam Bank Syariah menyimpulkan bahwa, kendala bank syariah dalam penerapan produk bank syariah yang sesuai dengan prinsip syariah khususnya akad salam adalah risiko harga barang yang diperjualbelikan dalam akad salam mengalami fluktuatif. Hal ini jika akad salam diterapkan dalam sektor pertanian dimana ketika yang menjadi objek jual beli adalah gabah misalnya, dalam hukum syariah setelah dibayar petani berhutang gabah yang akan diantar kemudian. Dan dalam hukum positif petani berhutang uang dan harus mengembalikan uang. Sehingga dari transaksi jual beli gabah ini terdapat risiko dimana harga gabah yang fluktuatif tersebut akan merugikan bank.[4]
Menurut Kesepakatan Ulama (Ijma’) yaitu dibolehkannya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa semua ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia.
Beberapa ulama kontemporer melarang transaksi salam paralel terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus menerus. Hal demikian dapat menjurus kepada riba. Paralel salam dibolehkan asalkan eksekusi kontrak salam kedua tidak tergantung pada eksekusi kontrak yang pertama. Salam paralel dapat dilakukan dengan syarat:
1.      Akad antara lembaga keuangan syariah (pembeli) dan produsen (penjual) terpisah dari akad antara lembaga keuangan syariah (penjual) dan pembeli akhir.
2.      Akad tidak saling bergantung (ta‟alluq).
Dari uraian di atas dapat saya simpulkan, bahwa salam dalam perbankan syariah hukumnya halal karena nyatanya merupakan jual beli akadnya, tetapi apabila adanya transaksi pembiayaannya bukan jual beli maka hukumnya haram.


D.    APLIKASI PEMBIAYAAN BAY’ AL-SALAM DI PERBANKAN SYARIAH
Dalam dunia perbankan syariah, salam merupakan suatu akad jual beli layaknya murabahah. Perbedaan mendasar hanya terletak pada pembayaran serta penyerahan objek yang diperjualbelikan.. Dalam akad salam, pembeli wajib menyerahkan uang muka atas objek yang dibelinya, lalu barang diserahterimakan dalam kurun waktu tertentu. Salam dapat diaplikasikan sebagai bagian dari pembiayaan yang dapat diberikan oleh bank kepada nasabah debitur yang membutuhkan modal guna menjalankan usahanya, sedangkan bank dapat memperoleh hasil dari usaha nasabah lalu menjualnya kepada yang berkepentingan. Ini lebih dikenal dengan salam pararel.
Aplikasi akad salam dalam bank, bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai maupun cicilan. Harga beli bank adalah harga pokok ditambah keuntunga.[5]



















PENUTUP
Salam, merupakan transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada ketika transaksi dilakukan, pembeli melakukan pembayaran dimuka sedangkan penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari.
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. fungsi bank adalah sebagai lembaga intermediary. Termasuk perbankan syariah, bank-bank ini tidak merasa tertarik dengan proses mengolah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap dipasarkan kepada konsumen.













DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar