SALAM
DI PERBANKAN SYARIAH
Silviahani Nurkholis
Fakultas Syariah
dan Ekonomi Islam
IAIN Syekh
Nurjati Cirebon
Email: silviahani123@gmail.com
ABSTRAK
Keberadaan
perbankan syariah merupakan sebuah alternatif bagi praktik perbankan
konvensional. Pesatnya pertumbuhan perbankan syariah sudah seharusnya diiringi
dengan perkembangan jenis produk dan variasi akad yang sesuai dengan prinsip
syariah. Perkembangan produk ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan transaksi
nasabah. Islam juga memberikan instrumen-instrumen bersifat teknis praktis
berupa akad. Diantaranya akad-akad itu adalah jual beli dalam bentuk ”
pembiayaan salam”. Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam
menyalurkan dana kepada pihak lain selain bank berdasarkan prinsip syariah.
Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan didasarkan pada kepercayaan yang
diberikan oleh pemilik dana kepada pengguna dana. Pembiayaan
salam merupakan transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum
ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara tangguh, sedangkan pembayaran
secara tunai.
Kata Kunci: Salam, Pembiayaan Salam
PENDAHULUAN
Dalam penjelasan pasal 3 peraturan Bank
Indonesia No. 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip bank syariah dalam
kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bagi bank
syariah disebutkan definisi dari salam yaitu “Salam adalah transaksi jual beli
barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai
yang terlebih dahulu dibayar secara penuh.
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah
dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak.
Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian,
dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan
sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam
perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-istishna’.
Secara bahasa, salam (سلم) adalah al-i'tha' (الإعطاء) dan at-taslif (التسليف). Keduanya bermakna pemberian. Ungkapan aslama ats
tsauba lil al-khayyath bermakna: dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.
Sedangkan secara
istilah syariah, akad
salam didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya: (بيع موصوف في الذمة
ببدل يعطى عاجلا). Jual-beli barang yang
disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan pembayaran) yang dilakukan
saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad
pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya
Salaf.
Jual
beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau
memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu
yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga
waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.
Secara lebih rinci salam didefenisikan
dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di
kemudian hari (advanced payment atauforward buying atau future sale) dengan
harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas,
serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan
“penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya
tidak ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik
modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada
uang dari harga barang. Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa
mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut
benar-benar tersedia.[1]
A.
SALAM
DI PERBANKAN SYARIAH
Salam,
merupakan transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada ketika
transaksi dilakukan, pembeli melakukan pembayaran dimuka sedangkan penyerahan
barang baru dilakukan di kemudian hari. Salam, merupakan transaksi jual beli
dimana barang yang diperjual belikan belum ada ketika
transaksi dilakukan, pembeli melakukan pembayaran dimuka sedangkan penyerahan
barang baru dilakukan di kemudian hari.[2]
Salam
paralel, artinya melaksanakan dua transaksi bai‟ salam yaitu antara pemesan dan
penjual dan antara penjual dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya
secara simultan.
Jika
ditelusuri lebih lanjut, salam sudah diterapkan pada zaman Rasulullah SAW.
Salam diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dengan beberapa syarat yang harus
dipenuhi. Ketentuan syarat yang ditetapkan dalam akad salam bukanlah untuk
mempersulit penerapan akad salam. Akan tetapi, akad salam merupakan bagian dari
transaksi jual beli yang sangat mengedepankan kepercayaan. Jumlah kuantitas dan
jenis kualitasnya pun harus jelas tertera dalam akad. Hal ini guna menghindari
bentuk moral hazard yang rentan sekali dihadapi dalam transaksi salam.
Permasalahan
lainnya mengenai akad salam adalah, sejauh ini akad salam hanya dianggap cocok
untuk industri pertanian. Besarnya risiko yang terkandung dalam sektor
pertanian ini juga mempengaruhi keengganan pihak perbankan dalam penyaluran
modal kerja ke sektor pertanian yang tidak hanya berdasarkan akad salam.
Padahal, berdasarkan definisi yang terkandung dari bay’ al salam itu sendiri
tidaklah sesempit bagaimana pihak perbankan mengaplikasikan akad salam dalam
penyaluran pembiayaannyan.
pembiayaan
salam merupakan pembiayaan yang dengan prinsip syariah dengan menggunakan akad
jual bali barang pesanan dengan penangguhan pengiriman oleh penjual dan
pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai dengan
syarat-syarat tertentu.
B.
DASAR HUKUM BAI’US SALAM
Landasan
syariah bai us salam terdapat dalam al-qur’an dan al hadist yaitu
1.
Qs. Al-Baqarah 2: 282 :
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hedaklah kamu
menulisnya....”
2.
Firman Allah QS.
al-Ma’idah [5]: 1:
“Hai
orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu....”
3.
HR. Bukhari dari Ibnu
Abbas
“Barang siapa melakukan
salam, hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang
jelas, untuk jangka waktu yang diketahui “
Hadits tersebut
merupakan dalil yang secara shahih menjelaskan tentang keabsahan jual beli
salam. Menurut Ibnu Abbas, suatu ketika Rasulullah melakukan jual beli salam
atas kurma untuk jangka waktu satu tahun, dua tahun, dan bahkan tiga tahun.
Melihat praktek ini, kemudian Rasulullah bersabda seperti yang terdapat dalam
matan hadits ini.
4.
Kaidah Fiqh
C.
PRO DAN KONTRA SALAM DI PERBANKAN SYARIAH
Banyak faktor yang dapat menyebabkan
tidak diterapkannya akad salam di dunia perbankan syariah, diantaranya
kurangnya pemahaman para praktisi perbankan tentang aplikasi akad salam,
kurangnya pengetahuan serta pengenalan masyarakat akan seluk beluk bank
syariah, serta besarnya risiko yang terkandung dalam akad salam itu sendiri.
Adanya ketimpangan inilah, dimana akad
salam sesuai menurut konsep tapi tidak diaplikasikan di sektor pertanian yang
membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi tidak diterapkannya akad salam diperbankan syariah sehingga
nantinya dapat dicari solusi dan strategi kebijakan terbaik bagi industri
perbankan syariah dalam pengembangan produknya, terutama berakadkan salam.
Setelah faktor-faktor tersebut diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah
bagaimana mencari solusi serta strategi untuk menjadikan akad salam sebagai
salah satu produk pembiayaan yang applicable, bankable, serta marketable untuk
diterapkan di industri perbankan syariah.
Diantara bukti kesempurnaan agama
Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam yaitu akad pemasaran
suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai
pada saat akad dilaksanakan.
Maka para ulama telah
menyepakati bahwa pembayaran pada akad salam harus dilakukan di muka atau
kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau tunda. Adapun bila pembayaran
ditunda (dihutang) sebagaimana yang telah terjadi yaitu dengan memesan barang
dengan tempo satu tahun, kemudian ketika pembayaran pemesan membayar dengan
menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa
bulan yang akan datang, maka akad seperti ini dilarang dan haram hukumnya. Hal
ini berdasarkan hadits berikut yang artinya “Dari sahabat Ibnu Umar r.a
bahwasannyab Nabi saw melarang jual beli piutang dengan piutang”.
Barang pesanan tersedia di
pasar pada saat jatuh tempo pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak
diwajibkan untuk memperhitungkan ketersediaan barang pada saat jatuh tempo.
Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan
untung-untungan, yang keduanya diharamkan dalam syariat Islam. Seperti memesan
buah musiman yaitu durian dan mangga, maka pemesannan ini tidak dibenarkan.
Selain mengandung unsur ghoror (untung-untugan), akad semacam ini juga akan
menyusahkan salah satu pihak. Padahal
diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah “memudahkan”, sebagaiamana
disebutkan dalam hadits artinya “tidak ada kemadhorotan atau pembalasan
kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan”. (Riwaayat Ahmad Ibnu
Majah dan dihasankan oleh Albany)
Menurut Umar
(1995) dalam paper penelitian yang berjudul Shari’ah, Economic and Accounting
Framework of Bay’ Al Salam in The Light of Contemporary Application menyebutkan
salam merupakan suatu teknik transaksi yang sesuai dengan syariat Islam dimana
dapat memenuhi banyak kebutuhan baik dalam lingkup keuangan, investasi,
produksi, dan pemasaran. Sama halnya dengan teknik keuangan syariah lainya,
suatu cakupan yang sangat luas untuk kegiatan operasional perbankan syariah.
Ahli fiqh klasik pun telah memberikan banyak pertimbangan atas akad salam,
demikian halnya dengan ahli fiqh kontemporer sangat menekankan pada akad salam
adanya hubungan yang fair (adil) dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam
beberapa bagian penelitian ini juga Umar mencoba bergantung pada sebagian besar
literatur klasik pada subjek. Dalam
penelitian ini beliau berpedoman pada empat mazhab, dan terkadang merujuk pada
mazhab Dzahiri.
Menurut Hakim
(1999) dalam tulisan paper di tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah-DPNP
tentang Problem Pengembangan Produk dalam Bank Syariah menyimpulkan bahwa,
kendala bank syariah dalam penerapan produk bank syariah yang sesuai dengan
prinsip syariah khususnya akad salam adalah risiko harga barang yang
diperjualbelikan dalam akad salam mengalami fluktuatif. Hal ini jika akad salam
diterapkan dalam sektor pertanian dimana ketika yang menjadi objek jual beli
adalah gabah misalnya, dalam hukum syariah setelah dibayar petani berhutang
gabah yang akan diantar kemudian. Dan dalam hukum positif petani berhutang uang
dan harus mengembalikan uang. Sehingga dari transaksi jual beli gabah ini
terdapat risiko dimana harga gabah yang fluktuatif tersebut akan merugikan
bank.[4]
Menurut Kesepakatan
Ulama (Ijma’) yaitu dibolehkannya
jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa
semua ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan,
karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia.
Beberapa ulama kontemporer melarang
transaksi salam paralel terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu
dilakukan secara terus menerus. Hal demikian dapat menjurus kepada riba.
Paralel salam dibolehkan asalkan eksekusi kontrak salam kedua tidak tergantung
pada eksekusi kontrak yang pertama. Salam paralel dapat dilakukan dengan
syarat:
1.
Akad antara lembaga
keuangan syariah (pembeli) dan produsen (penjual) terpisah dari akad
antara lembaga keuangan syariah (penjual) dan pembeli akhir.
2.
Akad tidak saling
bergantung (ta‟alluq).
Dari uraian di atas dapat saya simpulkan, bahwa
salam dalam perbankan syariah hukumnya halal karena nyatanya merupakan jual
beli akadnya, tetapi apabila adanya transaksi pembiayaannya bukan jual beli
maka hukumnya haram.
D.
APLIKASI
PEMBIAYAAN BAY’ AL-SALAM DI PERBANKAN SYARIAH
Dalam dunia perbankan syariah, salam
merupakan suatu akad jual beli layaknya murabahah. Perbedaan mendasar hanya
terletak pada pembayaran serta penyerahan objek yang diperjualbelikan.. Dalam
akad salam, pembeli wajib menyerahkan uang muka atas objek yang dibelinya, lalu
barang diserahterimakan dalam kurun waktu tertentu. Salam dapat diaplikasikan
sebagai bagian dari pembiayaan yang dapat diberikan oleh bank kepada nasabah
debitur yang membutuhkan modal guna menjalankan usahanya, sedangkan bank dapat
memperoleh hasil dari usaha nasabah lalu menjualnya kepada yang berkepentingan.
Ini lebih dikenal dengan salam pararel.
Aplikasi akad salam dalam bank, bank
bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Ketika barang
telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah
atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai maupun cicilan. Harga beli bank
adalah harga pokok ditambah keuntunga.[5]
PENUTUP
Salam,
merupakan transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada ketika
transaksi dilakukan, pembeli melakukan pembayaran dimuka sedangkan penyerahan
barang baru dilakukan di kemudian hari.
Salam adalah transaksi jual beli di mana
barang yang diperjualbelikan belum ada. Barang diserahkan secara tangguh
sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara
nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun
dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang
harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktek perbankan, ketika barang
telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah
atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. fungsi bank
adalah sebagai lembaga intermediary. Termasuk perbankan syariah, bank-bank ini
tidak merasa tertarik dengan proses mengolah bahan mentah menjadi barang jadi
yang siap dipasarkan kepada konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar