Rabu, 14 Desember 2016

Suci Maesaroh - Musyarakah di Perbankan



Musyarakah di Perbankan
isusun dan Diajukan Sebagai Tugas Individu Mata Kuliah Masail Fiqhiyyah
Dosen Pengampu :
Dr. Faqiuddin Abdul Kodir, Lc. MA







     







        Disusun oleh :
  Suci Maesaroh
                Jurusan Muamalah (Hukum Ekonomi Syariah) I
          Semester 7

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON

Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi-Cirebon Telp. (0231) 481264






























Musyarakah di Perbankan

Abstrak : Musyarakah di Perbankan. Studi ini bermaksud untuk mengkaji aplikasi dari akad musyarakah dalam perbankan syariah pada masa ini, sudah sesuai apa yang di syariat-kan atau belum. Dan mengkaji berbagai macam pandangan ulama klasik dan kontemporer mengenai bagaimana seharusnya akad musyarakah ini di aplikasikan dalam dunia perbankan dengan disertai dalil-dalil syar’i berupa ayat Al-Qur’an, Hadits dan ijma’ dari sahabat Rasul dalam konteks musyarakah dalam perbankan ini  sudah begitu banyak lembaga perbankan di Indonesia yang melabelkan lembaganya dengan tambahan “syariah”, namun dalam praktiknya seperti sama saja dengan perbankan konvensional, dan tidak sedikit pula masyarakat beranggapan bahwa begitu rumit dan sulitnya menjadi nasabah di perbankan syariah. Dalam pembahasan mengenai musyarakah di perbankan ini, saya memfokuskan untuk mengkaji musyarakah dalam perspektif fiqh dan dalam perspektif perbankan syariah itu sendiri, dari hasil pengkajian tersebut kita akan menemukan dan mampu menarik kesimpulan, bagaimana sebenarnya konsep musyarakah dalam islam itu sendiri dan bandingkan dengan realita di perbankan yang ada. Merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab dari sebuah perusahaan yang menamai dirinya sebagai “syariah” sudah seharusnya apa yang di aplikasikan pun sesuai dengan syariah.











Pengantar
Islam diturunkan ke dunia adalah sebagai rahmatan lil ‘alamin. Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup dengan sempurna, kehidupan individu dan masyarakat, baik aspek rasio, materi, maupun spiritual, yang didampingi oleh ekonomi, sosial dan politik[1]. Sedangkan tugas manusia sebagai khalifah Allah adalah menjaga dan terus mengusahakan agar rahmatan lil ‘alamin dapat secara berkesinambungan dinikmati oleh seluruh manusia dan bahkan itu harus dikembangkan untuk kesejahteraan seluruh alam. Syariat Islam merupakan tatanan hidup bagi kehidupan perorangan maupun kelompok, bahkan tatanan bagi seluruh alam semesta, ia mempunyai konsepsi dasar hukum yang sempurna dan meliputi semua permasalahan kehidupan manusia.
Salah satu bagian terpenting dari muamalah atau ekonomi dalam perspektif Islam adalah syirkah (perseroan). Transaksi perseroan tersebut mengharuskan adanya Ijab dan Qabul[2]. Sah tidaknya transaksi perseroan tergantung kepada suatu yang ditransaksikan yaitu harus sesuatu yang bisa dikelola tersebut sama-sama mengangkat mereka. Secara sederhana akad ini bisa digambarkan sebagai satu proses transaksi dimana dua orang (institusi) atau lebih menyatukan modal untuk satu usaha, dengan prosentasi bagi hasil yang telah disepakati.
Dalam konteks perbankan, musyarakah berarti penyatuan modal dari bank dan nasabah untuk kepentingan usaha. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek, dimana nasabah dan pihak bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama dengan bagi hasil yang telah disepakati dalam kontrak untuk pihak bank. Musyarakah juga bisa diterapkan dalam skema modal ventura, pihak bank diperbolehkan untuk melakukan investasi dalam kepemilikan sebuah perusahaan. Penanaman modal dilakukan oleh pihak bank untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi, baik secara singkat maupun bertahap.
Musyarakah ini sekilas merupakan akad yang didasarkan atas prinsipprinsip syariah. Tetapi tentu belum bisa dikatakan bahwa akad ini telah memenuhi kualifikasi sebagai bagian dari akad-akad syariah. Karena, saat ini banyak sekali bermunculan bank dengan label syariah tetapi sesungguhnya tidak menerapkan sistem tersebut. Musyarakah dimaksudkan sebagai pembiayaan khusus untuk modal kerja, dimana dana dari bank merupakan bagian dari modal usaha nasabah dan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati.
Manfaat yang ditimbulkan dari akad ini adalah; pertama, lebih menguntungkan karena berdasarkan prinsip bagi hasil; dan kedua, fasilitas yang diberikan adalah mekanisme pengembalian pembiayaan yang fleksibel (bulanan atau sekaligus di akhir periode). Selain itu bagi hasil berdasarkan perhitungan revenue sharing adalah sistem bagi hasil yang basis perhitunganya adalah pendapatan bank atau keuntungan bank dari pihak ketiga sebelum di kurangi biaya-biaya operasional bank (laba kotor). Bagi hasil ini bisa dalam berbentuk Rupiah atau US Dollar.
Modal musyarakah dalam perbankan syariah dari pihak bank memberikan modal lebih besar hampir 90% dari total modal keseluruhan, sedangkan nasabah

Identifikasi Masalah
Dari pengantar di atas penulis menemukan beberapa pokok masalah yang harus di bahas, diantaranya yaitu :
1.      Bagaimanakah konsep musyarakah yang sebenarnya diatur dalam hukum ekonomi Islam.
2.      Apa landasan mengenai musyarakah di perbankan
3.      Bagaimana pandangan ulama fiqih mengenai musyarakah di perbankan




Gagasan Mengenai Musyarakah
Pengertian Musyarakah
Musyarakah atau sering disebut syarikah atau syirkah yang mempunyai arti: sekutu atau teman peseroan, perkumpulan, perserikatan. Syirkah dari segi etimologi mempunyai arti: campur atau percampuran. Maksud dari percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya sulit untuk dibedakan lagi[3].

Definisi syirkah menurut mazhab Maliki adalah suatu izin ber-tasharruf  bagi masing-masing pihak yang bersertifikat. Menurut mazhab Hambali, syirkah adalah persekutuan dalam hal hak dan tasharruf. Sedangkan menurut Syafi’i, syirkah adalah berlakunya hak atas sesuatu bagi dua pihak atau lebih dengan tujuan persekutuan[4]. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa syirkah adalah akad antara orang Arab yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Jadi, syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam suatu usaha perjanjian guna melakukan usaha secara bersama-sama serta keuntungan dan kerugian juga ditentukan sesuai dengan perjanjian
Dasar Hukum Musyarakah
a.       Q.S. Shaad ayat 24
Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat dhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh.”
b.      Q.S. An-Nisa ayat 12
“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang di buat olehnya atau sesudah dibayarutangnya dengan tidak memberi madhorot (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Penyantun.”

Kedua, adalah Hadis, dalam hadis dinyatakan sebagai berikut: “Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang sedang berserikat selama salah satu dari keduanya tidak khianat terhadap saudaranya (temannya). Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka”(H.R Abu Dawud)[5]
Hadis ini menerangkan bahwa jika dua orang bekerja sama dalam satu usaha, maka Allah ikut menemani dan memberikan berkah-Nya, selama tidak ada teman yang mengkhianatinya. Koperasi akan jatuh nilainya jika terjadi penyelewengan oleh pengurusnya. Inilah yang diperingatkan Allah SWT, bahwa dalam berkoperasi masih banyak jalan dan cara yang memungkinkan untuk berkhianat terhadap sesama anggotanya. Itulah koperasi yang dijauhi atau diangkat berkahnya oleh Allah SWT, maka kejujuran harus diterapkan kembali. Dengan melihat hadis tersebut diketahui bahwa masalah serikat (koperasi) sudah dikenal sejak sebelum Islam datang, dan dimuat dalam buku-buku ilmu fiqh Islam. Dimana koperasi termasuk usaha ekonomi yang diperbolehkan dan termasuk salah satu cabang usaha.
Ketiga, Ijma’, Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni yang dikutip Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, telah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsesus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya[6].
Syarat dan Rukun Syirkah
Jumhur ulama menyepakati bahwa akad merupakan salah satu hal yang harus dilakukan dalam syirkah. Adapun rukun syirkah menurut para ulama meliputi;
1.      Sighat (Ijab dan Qabul). Adapun syarat sah dan tidaknya akad syirkah tergantung pada sesuatu yang di transaksikan dan juga kalimat akad hendaklah mengandung arti izin buat membelanjakan barang syirkah dari peseronya.
2.      Al-‘Aqidain (subjek perikatan). Syarat menjadi anggota perserikatan yaitu:
a)      orang yang berakal, b) baligh, c) merdeka atau tidak dalam paksaan. Disyaratkan pula bahwa seorang mitra diharuskan berkompeten dalam memberikan atau memberikan kekuasaan perwakilan, dikarenakan dalam musyarakah mitra kerja juga berarti mewakilkan harta untuk diusahakan.
3.      Mahallul Aqd (objek perikatan). Objek perikatan bisa dilihat meliputi modal maupun kerjanya. Mengenai modal yang disertakan dalam suatu perserikatan hendaklah berupa: a) modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang nilainya sama, b) modal yang dapat terdiri dari aset perdagangan, c) modal yang disertakan oleh masing-masing pesero dijadikan satu, yaitu menjadi harta perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal-usul modal itu (Pasaribu 1996: 74).
Dilihat dari segi peranan dalam pekerjaan, partisipasi para mitra dalam pekerjaan musyarakah adalah sebuah hukum dasar dan tidak dibolehkan dari salah satu dari mereka untuk mencantumkan ketidak ikutsertaan dari mitra lainnya, seorang mitra diperbolehkan melaksanakan pekerjaan dari yang lain. Dalam hal ini ia boleh mensyaratkan bagian keuntungan tambahan lebih bagi dirinya.
Tujuan dan Manfaat Musyarakah
Tujuan dari pada syirkah itu sendiri adalah memberi keuntungan kepada karyawannya, memberi bantuan keuangan dari sebagian hasil usaha koperasi untuk mendirikan ibadah, sekolah dan sebagainya. Salah satu prinsip bagi hasil yang banyak dipakai dalam perbankan syariah adalah musyarakah. Dimana musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank secara bersama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank[7].
Adapun manfaat-manfaat yang muncul dari pembiayaan Musyarakah adalah meliputi: 1) lembaga keuangan akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat, 2) pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah, 3) lembaga keuangan akan lebih selektif dan hatihati mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan, 4) prinsip bagi hasil dalam musyarakah atau musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi[8].
Resiko yang terjadi dalam pembiayaan musyarakah, relatif tinggi, meliputi: 1) nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebutkan dalam kontrak, 2) nasabah sering lalai dalam usaha dan melakukan kesalahan yang disengaja guna kepentingan diri sendiri, 3) penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur dan pihak lembaga keuangan sulit untuk memperoleh data sebenarnya.
Musyarakah Perspektif Perbankan Syariah
Implementasi musyarakah dalam perbankan syariah dapat dijumpai pada :
1.      Pembiayaan Proyek
Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.


2.      Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
Ketentuan umum pembiayaan musyarakah sebagai berikut (Karim, 2004: 92-93):
1.      Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah dan tidak boleh melakukan tindakan seperti:
a.       Menggabungkan dana proyek dengan dana pribadi.
b.      Menjalankan proyek dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal lainnya.
c.       Memberi pinjaman pad pihak lain.
d.      Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain.
e.       Setiap pemilik modal dianggap mengahiri kerja sama apabila: menarik dari perserikatan, meninggal dunia dan menjadi tidak cakap hukum.
f.       Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
g.      Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah harus mengembalikan dana bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.

Argumentasi-argumentasi
Musyarakah (kerjasama) adalah bentuk kedua dari penerapan prinsip bagi hasil (PLS) yang dipraktekkan dalam sistem perbankan syariah. Dalam Fiqih, konsep musyarakah digunakan dalam pengertian yang lebih luas dari pada yang digunakan dalam perbankan syariah. Di dalam analisis ini akan difokuskan pembahasan mengenai salah satu bentuk dari musyarakah yang dikenal dalam fiqih dengan istilah syarikah al-inan, karena bentuk ini cocok untuk dikembangkan dalam perbankan syariah.
Quduri salah satu ulama mazhab Hanafi mengatakan musyarakah tetap sah walaupun investasi yang ditanamkan oleh setiap nasabah jumlahnya berbeda. Manajemen musyarakah dalam literatur fiqih memberikan kebebasan kepada nasabah untuk mengelola kerjasama atas dasar kontrak musyarakah. Setiap nasabah dapat mengadakan bisnis dengan berbagai jalan yang mendukung untuk mencapai keuntungan sesuai dengan persetujuan yang telah disepakati. Tidak boleh menjalankan bisnis yang menyimpang dari tujuan kontrak yang disepakati.
Menurut Sarakhsi, setiap nasabah mempercayakan dirinya lebih dari apa yang dipercayakan kepadanya. Adanya persyaratan dalam kontrak yang menghendaki jaminan akan menjadikan kontrak batal[9].

Pro dan Kontra
Dari sumber yang saya temukan, terdapat beberapa sumber yang lebih banyak menyatakan kontra daripada pro terhadap sistem musyarakah yang di praktikan dalam perbankan syariah pada masa ini.
Jika dilihat dari perspektif fiqih, musyarakah hanya didasarkan atas unsur kepercayaan (trust) dan tidak dikenal adanya jaminan. Adapun jaminan yang diminta oleh Bank Syariah adalah untuk menjamin ketertiban dalam pengembalian dana dan mengantisipasi modal yang tidak kembali. Dalam menjalankan amanahnya, nasabah memberikan jaminan baik berupa akte tanah, BPKB kendaraan dan lain sebagainya. Adapun jaminan dapat dicairkan apabila nasabah benar-benar terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati dalam akad.
Berkaitan dengan musyarakah bila ditinjau dari aspek resiko dengan diberlakukannya agunan sebagai syarat mutlak dalam pembiayaan, maka tidak adanya keadilan antara pihak nasabah dan bank, karena dalam pendanaan Islam baik nasabah maupun bank harus sama-sama menanggung resiko dengan sistem profit and loss sharing. Keharusan pemberian jaminan oleh nasabah kepada bank berarti hanya nasabah yang menanggung resiko apabila terjadi kerugian, sedangkan pihak bank akan terbebas menanggung kerugian.
Dalam perbankan syariah tidak diperkenankan meminta jaminan karena dalam pendanaan Islam yang terpenting adalah kepercayaan, sehingga transaksi musyarakah tidak boleh mengandalkan jaminan karena dengan adanya jaminan tidak akan meneropong watak, karakter dari nasabah karena hanya mengandalkan jaminan yang dapat menutup kerugian.
 Prinsip bagi hasil secara luas dilaksanakan tergantung pada peranan nasabah dalam mengelola proyek usaha musyarakah, kontribusi modal diberikan dari kedua belah pihak yaitu nasabah dan bank. Bagian keuntungan yang diberikan kepada nasabah berdasarkan atas pertimbangan manajemen usaha musyarakah tergantung pada kualitas kerjanya dan tingkat keahlian yang dimilikinya. Semakin tinggi kualitas kerja dan tingkat keahlian yang dimiliki nasabah, maka akan mempertinggi persentase keuntungan yang akan diterima nasabah. Apabila pada masa akhir kontrak musyarakah ternyata terjadi kerugian, yang tidak disebabkan kelalaian, kesalahan manajemen atau pelanggaran pihak nasabah terhadap ketentuan kontrak, maka kerugian tersebut dibagi antara kedua belah pihak menurut tingkat persentase modal yang disertakan dalam kontrak. Sebaliknya jika kerugian tersebut akibat dari kelalaian, kesalahan manajemen, atau pelanggaran pihak nasabah terhadap ketentuan kontrak, maka nasabah harus bertanggung jawab atas semua kerugian tersebut.
Dengan demikian musyarakah yang digunakan dalam bank Islam bentuknya bervariasi, bank syariah tampaknya cenderung dominan menggunakan bentuk musyarakah dalam perdagangan untuk jangka waktu pendek, meskipun bentuk lainnya tetap dipergunakan. Dalam pembiyaan musyarakah kontribusi modalnya berasal dari bank dan nasabah, pihak bank mengawasi bagaimana usaha musyarakah dijalankan, hingga bank memastikan menerima pengembalian investasi awal yang diberikan beserta keuntungan yang diperoleh. Bank juga meminta berbagai macam garansi yang dijadikan untuk melindungi kepentingannya dalam usaha tersebut, dan dengan garansi ini kelihatannya bank berusaha melempar segala resiko usaha musyarakah kepada nasabah. Bank juga menentukan batas waktu bagi berlakunya kontrak musyarakah. Di sini tidak ada keseragaman di antara bank-bank syariah dalam menjalankan metode bagi hasil. Walaupun metode yang digunakan bermacam-macam namun esensinya sama[10].
















 Penutup
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa musyarakah yang telah dipraktekkan oleh Perbankan Syariah bila ditinjau dari akad dalam literatur fiqih sudah terpenuhi yaitu adanya ijab dan qabul, akan tetapi pembiayaan musyarakah bukanlah hanya dilihat dari akad saja melainkan juga dari segi praktek usaha itu sendiri, cara penentuan nisbah bagi hasilnya, maupun mengenai tanggung jawab atas kerugian. di Perbankan Syariah masih terdapat beberapa hal yang sama dengan bank konvensional, hal ini dapat dilihat dari nisbah bagi hasil yang ditetapkan di awal dan sudah menjadi patokan yang tidak ditawarkan serta nominal uang yang harus disetorkan nasabah kepada bank yang ditetapkan diawal, resiko usaha dari akad pembiayaan tidak menjadi tanggung jawab dari kedua belah pihak, sehingga nasabah menjadi pihak yang dirugikan. Serta adanya jaminan, dan manajemen yang dipraktekkan oleh Perbankan Syariah yang tidak sesuai dengan musyarakah perspektif fiqih, hal ini terlihat dari diberlakukannya jaminan atau agunan sebagai syarat mutlak dalam pembiayaannya pada nasabah. Karena adanya hal-hal di atas maka pembiayaan musyarakah yang dilakukan di Perbankan Syariah terdapat unsur riba dalam praktek musyarakah.









Daftar Pustaka

A.    Mas’adi, Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Rsaja Grafindo Persada.

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syari’ah dari Teori ke Prakti.
Jakarta: Gema Insani.

Ash Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Koleksi Hadits-Hadits Hukum. Semarang: PT. Petrajaya Mitrajaya.

Qardhawi, Yusuf, Al-. 1997. Daurul Qiyam Wal Akhlaq Fil Iqtishadil Islami, terj, Zaenal Arifin, Norma Dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Saeed, Abdullah. 2004. Islamic Banking and Interest A Study of The Prohibition of Riba and its Comtemporery Interpretation, Terj. Muhammad Ufuqul Mubin, Bank Islam dan Bunga, Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.







[1] Yusuf Qardawi. Daarul Quran Wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami. Terj, Zaenal Arifin Norma dan EtikaEkonomi Islam. Jakarta. Gema Insani Press. Hlm : 33.
[2] Ghufron A. Mas’adi. Fiqih Muamalah Kontekstual. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2002. Hlm.77
[3] Jurnal EQUILIRIUM Volume 2, No. 2, Desember 2014, hlm. 314
[4]  Ghufron A. Mas’adi. ‘Ibid. hlm. 192
[5] T.M.Hasbi  Ash-Shiddieqy. Koleksi Hadits-Hadits Hukum. Semarang : PT. Petrajaya Mitrajaya. Hlm.175
[6] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani. 2001. Hlm.91
[7] Muhammad Syafi’I Antonio. ‘Ibid. hlm.129
[8] Muhammad Syafi’I Antonio. ‘Ibid. hlm.133
[9] Abdullah Saeed. Terj. Muhammad Ufuqul Mubin.Bank Islam dan bunga  Studi Kritis Larangan Riba dan InterpretasiKontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Hlm. 110
[10] Abdullah Saeed. ‘Ibid. hlm.124

Tidak ada komentar:

Posting Komentar