Musyarakah
di Perbankan
isusun dan
Diajukan Sebagai Tugas Individu Mata Kuliah Masail Fiqhiyyah
Dosen Pengampu :
Dr.
Faqiuddin Abdul Kodir, Lc. MA
Disusun oleh :
Suci Maesaroh
Jurusan Muamalah (Hukum Ekonomi
Syariah) I
Semester 7
FAKULTAS
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI CIREBON
Jl.
Perjuangan By Pass Sunyaragi-Cirebon Telp. (0231) 481264
Musyarakah
di Perbankan
Abstrak
: Musyarakah di Perbankan.
Studi ini bermaksud untuk mengkaji aplikasi dari akad musyarakah dalam
perbankan syariah pada masa ini, sudah sesuai apa yang di syariat-kan atau
belum. Dan mengkaji berbagai macam pandangan ulama klasik dan kontemporer
mengenai bagaimana seharusnya akad musyarakah ini di aplikasikan dalam dunia
perbankan dengan disertai dalil-dalil syar’i berupa ayat Al-Qur’an, Hadits dan
ijma’ dari sahabat Rasul dalam konteks musyarakah dalam perbankan ini sudah begitu banyak lembaga perbankan di Indonesia
yang melabelkan lembaganya dengan tambahan “syariah”, namun dalam praktiknya
seperti sama saja dengan perbankan konvensional, dan tidak sedikit pula
masyarakat beranggapan bahwa begitu rumit dan sulitnya menjadi nasabah di
perbankan syariah. Dalam pembahasan mengenai musyarakah di perbankan ini, saya
memfokuskan untuk mengkaji musyarakah dalam perspektif fiqh dan dalam
perspektif perbankan syariah itu sendiri, dari hasil pengkajian tersebut kita
akan menemukan dan mampu menarik kesimpulan, bagaimana sebenarnya konsep
musyarakah dalam islam itu sendiri dan bandingkan dengan realita di perbankan
yang ada. Merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab dari sebuah perusahaan
yang menamai dirinya sebagai “syariah” sudah seharusnya apa yang di aplikasikan
pun sesuai dengan syariah.
Pengantar
Islam
diturunkan ke dunia adalah sebagai rahmatan
lil ‘alamin. Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup dengan
sempurna, kehidupan individu dan masyarakat, baik aspek rasio, materi, maupun
spiritual, yang didampingi oleh ekonomi, sosial dan politik[1].
Sedangkan tugas manusia sebagai khalifah Allah adalah menjaga dan terus
mengusahakan agar rahmatan lil ‘alamin dapat
secara berkesinambungan dinikmati oleh seluruh manusia dan bahkan itu harus
dikembangkan untuk kesejahteraan seluruh alam. Syariat Islam merupakan tatanan
hidup bagi kehidupan perorangan maupun kelompok, bahkan tatanan bagi seluruh
alam semesta, ia mempunyai konsepsi dasar hukum yang sempurna dan meliputi
semua permasalahan kehidupan manusia.
Salah
satu bagian terpenting dari muamalah atau ekonomi dalam perspektif Islam adalah
syirkah (perseroan). Transaksi
perseroan tersebut mengharuskan adanya Ijab
dan Qabul[2].
Sah tidaknya transaksi perseroan tergantung kepada suatu yang ditransaksikan
yaitu harus sesuatu yang bisa dikelola tersebut sama-sama mengangkat mereka.
Secara sederhana akad ini bisa digambarkan sebagai satu proses transaksi dimana
dua orang (institusi) atau lebih menyatukan modal untuk satu usaha, dengan
prosentasi bagi hasil yang telah disepakati.
Dalam konteks
perbankan, musyarakah berarti
penyatuan modal dari bank dan nasabah untuk kepentingan usaha. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk
pembiayaan proyek, dimana nasabah dan pihak bank sama-sama menyediakan dana
untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah
mengembalikan dana tersebut bersama dengan bagi hasil yang telah disepakati dalam
kontrak untuk pihak bank. Musyarakah juga
bisa diterapkan dalam skema modal ventura, pihak bank diperbolehkan untuk melakukan
investasi dalam kepemilikan sebuah perusahaan. Penanaman modal dilakukan oleh
pihak bank untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan
divestasi, baik secara singkat maupun bertahap.
Musyarakah
ini sekilas merupakan akad yang didasarkan atas prinsipprinsip syariah. Tetapi
tentu belum bisa dikatakan bahwa akad ini telah memenuhi kualifikasi sebagai
bagian dari akad-akad syariah. Karena, saat ini banyak sekali bermunculan bank
dengan label syariah tetapi sesungguhnya tidak menerapkan sistem tersebut. Musyarakah dimaksudkan sebagai
pembiayaan khusus untuk modal kerja, dimana dana dari bank merupakan bagian
dari modal usaha nasabah dan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang
disepakati.
Manfaat yang
ditimbulkan dari akad ini adalah; pertama,
lebih menguntungkan karena berdasarkan prinsip bagi hasil; dan kedua, fasilitas yang diberikan adalah
mekanisme pengembalian pembiayaan yang fleksibel (bulanan atau sekaligus di
akhir periode). Selain itu bagi hasil berdasarkan perhitungan revenue sharing adalah sistem bagi hasil
yang basis perhitunganya adalah pendapatan bank atau keuntungan bank dari pihak
ketiga sebelum di kurangi biaya-biaya operasional bank (laba kotor). Bagi hasil
ini bisa dalam berbentuk Rupiah atau US Dollar.
Modal musyarakah dalam perbankan syariah dari
pihak bank memberikan modal lebih besar hampir 90% dari total modal
keseluruhan, sedangkan nasabah
Identifikasi
Masalah
Dari pengantar di atas
penulis menemukan beberapa pokok masalah yang harus di bahas, diantaranya yaitu
:
1. Bagaimanakah
konsep musyarakah yang sebenarnya diatur dalam hukum ekonomi Islam.
2. Apa
landasan mengenai musyarakah di perbankan
3. Bagaimana
pandangan ulama fiqih mengenai musyarakah di perbankan
Gagasan
Mengenai Musyarakah
Pengertian Musyarakah
Musyarakah
atau sering disebut syarikah atau syirkah yang mempunyai arti: sekutu atau
teman peseroan, perkumpulan, perserikatan. Syirkah
dari segi etimologi mempunyai arti: campur atau percampuran. Maksud dari
percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang
lain sehingga antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya sulit untuk
dibedakan lagi[3].
Definisi
syirkah menurut mazhab Maliki adalah
suatu izin ber-tasharruf bagi masing-masing pihak yang bersertifikat.
Menurut mazhab Hambali, syirkah
adalah persekutuan dalam hal hak dan tasharruf.
Sedangkan menurut Syafi’i, syirkah
adalah berlakunya hak atas sesuatu bagi dua pihak atau lebih dengan tujuan
persekutuan[4].
Sayyid Sabiq mengatakan bahwa syirkah
adalah akad antara orang Arab yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.
Jadi, syirkah adalah kerjasama antara
dua orang atau lebih dalam suatu usaha perjanjian guna melakukan usaha secara
bersama-sama serta keuntungan dan kerugian juga ditentukan sesuai dengan
perjanjian
Dasar Hukum Musyarakah
a. Q.S.
Shaad ayat 24
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat dhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal sholeh.”
b. Q.S.
An-Nisa ayat 12
“Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang di buat olehnya atau sesudah
dibayarutangnya dengan tidak memberi madhorot (Allah menetapkan yang demikian
itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui
Lagi Maha Penyantun.”
Kedua,
adalah Hadis, dalam hadis dinyatakan sebagai berikut: “Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT
berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang sedang berserikat selama
salah satu dari keduanya tidak khianat terhadap saudaranya (temannya). Apabila
diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka”(H.R
Abu Dawud)[5]
Hadis
ini menerangkan bahwa jika dua orang bekerja sama dalam satu usaha, maka Allah
ikut menemani dan memberikan berkah-Nya, selama tidak ada teman yang
mengkhianatinya. Koperasi akan jatuh nilainya jika terjadi penyelewengan oleh
pengurusnya. Inilah yang diperingatkan Allah SWT, bahwa dalam berkoperasi masih
banyak jalan dan cara yang memungkinkan untuk berkhianat terhadap sesama
anggotanya. Itulah koperasi yang dijauhi atau diangkat berkahnya oleh Allah
SWT, maka kejujuran harus diterapkan kembali. Dengan melihat hadis tersebut
diketahui bahwa masalah serikat (koperasi) sudah dikenal sejak sebelum Islam
datang, dan dimuat dalam buku-buku ilmu fiqh Islam. Dimana koperasi termasuk
usaha ekonomi yang diperbolehkan dan termasuk salah satu cabang usaha.
Ketiga, Ijma’, Ibnu
Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni yang
dikutip Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah dari Teori ke
Praktik, telah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsesus terhadap legitimasi
musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen
darinya[6].
Syarat dan Rukun
Syirkah
Jumhur ulama menyepakati bahwa akad merupakan salah
satu hal yang harus dilakukan dalam syirkah.
Adapun rukun syirkah menurut para
ulama meliputi;
1.
Sighat
(Ijab dan Qabul). Adapun syarat sah dan
tidaknya akad syirkah tergantung pada
sesuatu yang di transaksikan dan juga kalimat akad hendaklah mengandung arti
izin buat membelanjakan barang syirkah dari
peseronya.
2.
Al-‘Aqidain
(subjek perikatan). Syarat menjadi
anggota perserikatan yaitu:
a) orang
yang berakal, b) baligh, c) merdeka atau tidak dalam paksaan. Disyaratkan pula bahwa seorang mitra diharuskan
berkompeten dalam memberikan atau memberikan kekuasaan perwakilan, dikarenakan
dalam musyarakah mitra kerja juga
berarti mewakilkan harta untuk diusahakan.
3.
Mahallul
Aqd (objek perikatan). Objek perikatan bisa
dilihat meliputi modal maupun kerjanya. Mengenai modal yang disertakan dalam
suatu perserikatan hendaklah berupa: a) modal yang diberikan harus uang tunai,
emas, perak, atau yang nilainya sama, b) modal yang dapat terdiri dari aset
perdagangan, c) modal yang disertakan oleh masing-masing pesero dijadikan satu,
yaitu menjadi harta perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal-usul
modal itu (Pasaribu 1996: 74).
Dilihat
dari segi peranan dalam pekerjaan, partisipasi para mitra dalam pekerjaan musyarakah adalah sebuah hukum dasar dan
tidak dibolehkan dari salah satu dari mereka untuk mencantumkan ketidak
ikutsertaan dari mitra lainnya, seorang mitra diperbolehkan melaksanakan
pekerjaan dari yang lain. Dalam hal ini ia boleh mensyaratkan bagian keuntungan
tambahan lebih bagi dirinya.
Tujuan dan Manfaat
Musyarakah
Tujuan dari pada syirkah itu sendiri adalah memberi keuntungan kepada karyawannya,
memberi bantuan keuangan dari sebagian hasil usaha koperasi untuk mendirikan
ibadah, sekolah dan sebagainya. Salah satu prinsip bagi hasil yang banyak
dipakai dalam perbankan syariah adalah musyarakah.
Dimana musyarakah biasanya
diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank secara
bersama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek
itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah
disepakati untuk bank[7].
Adapun
manfaat-manfaat yang muncul dari pembiayaan Musyarakah
adalah meliputi: 1) lembaga keuangan akan menikmati peningkatan dalam
jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat, 2) pengembalian
pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash
flow atau arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah, 3)
lembaga keuangan akan lebih selektif dan hatihati mencari usaha yang
benar-benar halal, aman dan menguntungkan, 4) prinsip bagi hasil dalam musyarakah atau musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan
menagih pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang
dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi[8].
Resiko
yang terjadi dalam pembiayaan musyarakah,
relatif tinggi, meliputi: 1) nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang
disebutkan dalam kontrak, 2) nasabah sering lalai dalam usaha dan melakukan
kesalahan yang disengaja guna kepentingan diri sendiri, 3) penyembunyian
keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur dan pihak lembaga keuangan
sulit untuk memperoleh data sebenarnya.
Musyarakah Perspektif
Perbankan Syariah
Implementasi
musyarakah dalam perbankan syariah
dapat dijumpai pada :
1. Pembiayaan
Proyek
Musyarakah biasanya
diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama
menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut, dan setelah proyek itu
selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah
disepakati untuk bank.
2. Modal
Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang
dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam skema
modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan
setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara
singkat maupun bertahap.
Ketentuan
umum pembiayaan musyarakah sebagai
berikut (Karim, 2004: 92-93):
1. Semua
modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak
turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana
proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah dan tidak boleh melakukan tindakan seperti:
a.
Menggabungkan dana proyek
dengan dana pribadi.
b.
Menjalankan proyek
dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal lainnya.
c.
Memberi pinjaman pad
pihak lain.
d.
Setiap pemilik modal
dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain.
e.
Setiap pemilik modal
dianggap mengahiri kerja sama apabila: menarik dari perserikatan, meninggal
dunia dan menjadi tidak cakap hukum.
f.
Biaya yang timbul dalam
pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan
dibagi sesuai porsi kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi
kontribusi modal.
g.
Proyek yang akan
dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah harus
mengembalikan dana bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
Argumentasi-argumentasi
Musyarakah (kerjasama) adalah bentuk kedua dari
penerapan prinsip bagi hasil (PLS) yang dipraktekkan dalam sistem perbankan
syariah. Dalam Fiqih, konsep musyarakah digunakan dalam pengertian yang lebih
luas dari pada yang digunakan dalam perbankan syariah. Di dalam analisis ini
akan difokuskan pembahasan mengenai salah satu bentuk dari musyarakah yang
dikenal dalam fiqih dengan istilah syarikah al-inan, karena bentuk ini cocok
untuk dikembangkan dalam perbankan syariah.
Quduri salah satu ulama mazhab Hanafi mengatakan
musyarakah tetap sah walaupun investasi yang ditanamkan oleh setiap nasabah
jumlahnya berbeda. Manajemen musyarakah dalam literatur fiqih memberikan
kebebasan kepada nasabah untuk mengelola kerjasama atas dasar kontrak
musyarakah. Setiap nasabah dapat mengadakan bisnis dengan berbagai jalan yang
mendukung untuk mencapai keuntungan sesuai dengan persetujuan yang telah
disepakati. Tidak boleh menjalankan bisnis yang menyimpang dari tujuan kontrak
yang disepakati.
Menurut
Sarakhsi, setiap nasabah mempercayakan dirinya lebih dari apa yang dipercayakan
kepadanya. Adanya persyaratan dalam kontrak yang menghendaki jaminan akan
menjadikan kontrak batal[9].
Pro dan Kontra
Dari sumber yang saya temukan, terdapat beberapa
sumber yang lebih banyak menyatakan kontra daripada pro terhadap sistem
musyarakah yang di praktikan dalam perbankan syariah pada masa ini.
Jika dilihat dari perspektif fiqih, musyarakah hanya
didasarkan atas unsur kepercayaan
(trust) dan tidak dikenal adanya jaminan. Adapun jaminan yang diminta oleh
Bank Syariah adalah untuk menjamin ketertiban dalam pengembalian dana dan
mengantisipasi modal yang tidak kembali. Dalam menjalankan amanahnya, nasabah
memberikan jaminan baik berupa akte tanah, BPKB kendaraan dan lain sebagainya.
Adapun jaminan dapat dicairkan apabila nasabah benar-benar terbukti melakukan
pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati dalam akad.
Berkaitan dengan musyarakah bila ditinjau dari aspek
resiko dengan diberlakukannya agunan sebagai syarat mutlak dalam pembiayaan,
maka tidak adanya keadilan antara pihak nasabah dan bank, karena dalam
pendanaan Islam baik nasabah maupun bank harus sama-sama menanggung resiko
dengan sistem profit and loss sharing. Keharusan pemberian jaminan oleh nasabah
kepada bank berarti hanya nasabah yang menanggung resiko apabila terjadi
kerugian, sedangkan pihak bank akan terbebas menanggung kerugian.
Dalam perbankan syariah tidak diperkenankan meminta jaminan karena dalam pendanaan Islam
yang terpenting adalah kepercayaan, sehingga transaksi musyarakah tidak boleh
mengandalkan jaminan karena dengan adanya jaminan tidak akan meneropong watak,
karakter dari nasabah karena hanya mengandalkan jaminan yang dapat menutup
kerugian.
Prinsip bagi
hasil secara luas dilaksanakan tergantung pada peranan nasabah dalam mengelola
proyek usaha musyarakah, kontribusi modal diberikan dari kedua belah pihak
yaitu nasabah dan bank. Bagian keuntungan yang diberikan kepada nasabah
berdasarkan atas pertimbangan manajemen usaha musyarakah tergantung pada
kualitas kerjanya dan tingkat keahlian yang dimilikinya. Semakin tinggi
kualitas kerja dan tingkat keahlian yang dimiliki nasabah, maka akan
mempertinggi persentase keuntungan yang akan diterima nasabah. Apabila pada
masa akhir kontrak musyarakah ternyata terjadi kerugian, yang tidak disebabkan
kelalaian, kesalahan manajemen atau pelanggaran pihak nasabah terhadap
ketentuan kontrak, maka kerugian tersebut dibagi antara kedua belah pihak
menurut tingkat persentase modal yang disertakan dalam kontrak. Sebaliknya jika
kerugian tersebut akibat dari kelalaian, kesalahan manajemen, atau pelanggaran
pihak nasabah terhadap ketentuan kontrak, maka nasabah harus bertanggung jawab
atas semua kerugian tersebut.
Dengan
demikian musyarakah yang digunakan dalam bank Islam bentuknya bervariasi, bank
syariah tampaknya cenderung dominan menggunakan bentuk musyarakah dalam
perdagangan untuk jangka waktu pendek, meskipun bentuk lainnya tetap
dipergunakan. Dalam pembiyaan musyarakah kontribusi modalnya berasal dari bank
dan nasabah, pihak bank mengawasi bagaimana usaha musyarakah dijalankan, hingga
bank memastikan menerima pengembalian investasi awal yang diberikan beserta
keuntungan yang diperoleh. Bank juga meminta berbagai macam garansi yang
dijadikan untuk melindungi kepentingannya dalam usaha tersebut, dan dengan garansi
ini kelihatannya bank berusaha melempar segala resiko usaha musyarakah kepada
nasabah. Bank juga menentukan batas waktu bagi berlakunya kontrak musyarakah.
Di sini tidak ada keseragaman di antara bank-bank syariah dalam menjalankan
metode bagi hasil. Walaupun metode yang digunakan bermacam-macam namun esensinya
sama[10].
Penutup
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa musyarakah
yang telah dipraktekkan oleh Perbankan Syariah bila ditinjau dari akad
dalam literatur fiqih sudah terpenuhi yaitu adanya ijab dan qabul, akan
tetapi pembiayaan musyarakah bukanlah
hanya dilihat dari akad saja melainkan juga dari segi praktek usaha itu
sendiri, cara penentuan nisbah bagi hasilnya, maupun mengenai tanggung jawab
atas kerugian. di Perbankan Syariah masih terdapat beberapa hal yang sama
dengan bank konvensional, hal ini dapat dilihat dari nisbah bagi hasil yang
ditetapkan di awal dan sudah menjadi patokan yang tidak ditawarkan serta
nominal uang yang harus disetorkan nasabah kepada bank yang ditetapkan diawal,
resiko usaha dari akad pembiayaan tidak menjadi tanggung jawab dari kedua belah
pihak, sehingga nasabah menjadi pihak yang dirugikan. Serta adanya jaminan, dan
manajemen yang dipraktekkan oleh Perbankan Syariah yang tidak sesuai dengan musyarakah perspektif fiqih, hal ini
terlihat dari diberlakukannya jaminan atau agunan sebagai syarat mutlak dalam
pembiayaannya pada nasabah. Karena adanya hal-hal di atas maka pembiayaan musyarakah yang dilakukan di Perbankan
Syariah terdapat unsur riba dalam praktek musyarakah.
Daftar
Pustaka
A. Mas’adi,
Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual.
Jakarta: PT Rsaja Grafindo Persada.
Antonio,
Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syari’ah
dari Teori ke Prakti.
Jakarta: Gema
Insani.
Ash Shidieqy,
Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Koleksi
Hadits-Hadits Hukum. Semarang: PT. Petrajaya Mitrajaya.
Qardhawi,
Yusuf, Al-. 1997. Daurul Qiyam Wal Akhlaq
Fil Iqtishadil Islami, terj, Zaenal Arifin, Norma Dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Saeed, Abdullah.
2004. Islamic Banking and Interest A
Study of The Prohibition of Riba and its Comtemporery Interpretation, Terj.
Muhammad Ufuqul Mubin, Bank Islam dan
Bunga, Studi Kritis Larangan Riba dan
Interpretasi Kontemporer.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Yusuf Qardawi. Daarul Quran
Wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami. Terj, Zaenal Arifin Norma dan
EtikaEkonomi Islam. Jakarta. Gema Insani Press. Hlm : 33.
[2] Ghufron A. Mas’adi. Fiqih
Muamalah Kontekstual. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2002. Hlm.77
[3] Jurnal EQUILIRIUM Volume 2, No. 2, Desember 2014, hlm. 314
[4] Ghufron A. Mas’adi. ‘Ibid. hlm. 192
[5] T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy. Koleksi Hadits-Hadits Hukum. Semarang :
PT. Petrajaya Mitrajaya. Hlm.175
[6] Muhammad
Syafi’I Antonio. Bank Syariah dari Teori
ke Praktik. Jakarta: Gema Insani. 2001. Hlm.91
[7] Muhammad Syafi’I Antonio. ‘Ibid.
hlm.129
[8] Muhammad Syafi’I Antonio. ‘Ibid.
hlm.133
[9] Abdullah
Saeed. Terj. Muhammad Ufuqul Mubin.Bank
Islam dan bunga Studi Kritis Larangan
Riba dan InterpretasiKontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Hlm.
110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar