Rabu, 14 Desember 2016

Lessiany Merlinda - Akad Murabahah di Perbankan Syari'ah



AKAD MURABAHAH  DI PERBANKAN SYARI’AH

Makalah ini Disusun dan Diajukan sebagai Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Masail Fiqhiyyah
Dosen Pengampu: Dr. Faqiuddin A. Kodir, MA










Oleh:
Nama: Lessiany Merlinda (1413221012)
Kelas: Muamalah 1
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah/ Semester 7
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam








KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
Tahun 2016

AKAD MURABAHAH  DI PERBANKAN SYARI’AH

ABSTRAK
This writing examine the concept of bai’ al-murabahah covenant in fiqh and implementation bai’ al-murabahah covenant  in syariah banking and also ulama’s perspective about bai’ al-murabahah product. At first, Nowadays, murabahah still be the topic of debate between ulama of fiqh whether it is described as syariah or half syariah and half conventional concept. This topic emerged because a research found that murabahah is a favourite product in syariah banking operation than mudharabah in fact that risk and profit from selling price mark up. Though there are many expert thought that mark up is the same with interest system. The differences of syariah concept and conventional concept are the headlines of the discussion among the experts will be explained in this writing specifically.

Kata kunci : bai’ al-murabahah, mark-up, syariah banking.

A.    Latar Belakang Masalah
Pada masa ini, banyak masyarakat ingin mendapatkan barang yang membeli dengan sistem kredit atau cicilan, karena dianggap ringan karena apabila tidak dengan sistem tersebut akan cukup lama untuk memiliki barang yang diinginkan. Sistem kredit yang ada di perbankan konvensional dan sistem pembiayaan yang ada diperbankan syariah merupakan alternatif masyakarat dalam pemenuhan kebutuhannya, yang keduanya merupakan produk perbankan yang berbeda dari segi sistemnya. Sistem pembiayaan atau dapat dikatakan sebagai sistem kredit syariah tentu berdasar pada sistem syariah/ hukum Islam yang sama sekali tidak diragukan keabsahannya, yang mana dalam sistem syariah tidak adanya unsur ribawi, maysir, gharar dan lain-lain yang disesuaikan dengan hukum Islam, sedangkan sistem kredit dalam konvensional menggunakan sistem Bunga yang pada dasarnya disebut dengan Riba. Selain itu perbedaan yang fundamental lainnya yakni, menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja. Di samping itu, konsep yang dipakai juga berbeda. Bank konvensional hanya sebagai lembaga perantara keuangan atau intermediary financial institution, sehingga bank konvensional cenderung tidak boleh berdagang. Sedangkan perbankan syari’ah, di samping sebagai lembaga perantara keuangan, juga melakukan perdagangan misalnya melalui jual-beli murabahah. Persamaan bank konvensional dan perbankan syari’ah adalah dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan, proposal, laporan keuangan dan sebagainya.[1]
Dalam perbankan Syariah dilandasi ketentuan-ketentuan hukum mu’amalah, khususnya menyangkut hukum perjanjian (akad). Ada sejumlah akad yang dijadikan landasan bagi operasionalisasi perbankan syari’ah, seperti jual-beli (al-bai’) dengan berbagai jenisnya, sewa-menyewa (al-ijarah), perkongsian (al-musyarakah), bagi hasil (al-mudharabah), gadai (ar-rahn), hutang-piutang (al-qard), pemindahan hutang (al-hiwalah), penanggungan hutang (al-kafalah), dan pemberian kuasa (perwakilan, al-wakalah).
Banyak pembahasan bentuk akad jual beli yang telah disepakati para ulama. Dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual-beli yang telah banyak dipergunakan sebagai dasar dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syari’ah, yaitu bai’ al-murabahah, bai’ as-salam, dan bai’ al-istishna.[2] Dan secara khusus, produk yang dihasilkan dari sistem jual-beli dan margin keuntungan adalah bai’ al-murabahah dan al-bai’ bi saman ajil.[3]
Keabsahan operasionalisasi produk bai’ al-murabahah sendiri dalam perbankan syari’ah masih menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama (kontemporer). Ada sebagian ulama yang membolehkan, karena merupakan jual-beli. Sebaliknya, sebagian ulama yang lain melarangnya karena menganggapnya sebagai bai’ al-inah yang haram hukumnya, jual-beli atas barang yang tidak ada pada seseorang (bai’ al-ma’dum), atau dianggap sebagai dua jual-beli dalam satu jual-beli (bai’atani fi bai’ah), dan bahkan dianggap sebagai hilah untuk mengambil riba.
Salah satu yang yang mengkritik produk bai’ al-murabahah ini adalah Abdullah Saeed. Menurutnya, tidak terdapat perbedaan yang substansial antara mark-up dengan bunga (financing). Menurut Abdullah Saeed, jika hukum Islam membolehkan bai’ al-murabahah, patut dipertanyakan mengapa bunga bank konvensional dilarang.[4]

B.     Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, penulis mengidentifikasi masalah dalam tulisan ini sebagai berikut :
1.      Bagaimana Akad Bai’ al-Murabahah dalam ilmu fiqh?
2.      Bagaimana Akad Bai’ al-Murabahah dalam Praktik Perbankan Syari’ah?
3.      Bagaimana argumentasi ulama mengenai implementasi Bai’ al-Murabahah dalam Perbankan Syari’ah?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Akad Bai’ al-Murabahah dalam ilmu fiqh.
2.      Untuk mengetahui Akad Bai’ al-Murabahah dalam Praktik Perbankan Syari’ah.
3.      Untuk mengetahui argumentasi ulama mengenai implementasi Bai’ al-Murabahah dalam Perbankan Syari’ah.

D.    Tinjauan Teori
a)      Akad Bai’ al-Murabahah dalam Fiqih                                                                 
Dalam hukum Islam, pengertian jual beli adalah suatu akad yang didasarkan kesepakatan antara dua pihak untuk melakukan tukar-menukar suatu benda dengan benda lain sebagai imbalan dengan memindahkan hak milik atas masing-masing benda itu dari pihak yang satu kepada pihak lain. Jenis jual beli dalam Islam adalah tukar menukar barang dengan barang (barter, bai’ al-muqayadah), uang dengan uang (as-sarf), dan uang dengan barang (bai’ al-mutlaq).
Dilihat dari kategorinya, jual-beli dibedakan menjadi jual-beli tawar-menawar (bai’ al-musawamah), dan jual-beli amanah/kepercayaan (bai’ al-amanah). Yang dimaksud jual-beli tawar-menawar (al-musawamah) adalah suatu bentuk jual-beli yang dikatakan dalam hukum fiqih bahwa pembeli tidak diberi tahu harga pokok barang yang dibeli oleh penjual. Sebaliknya, jual-beli kepercayaan (al-amanah) adalah suatu bentuk jual-beli di mana pembeli diberi tahu secara jujur harga pokok barang. Dengan demikian, pembeli mengetahui besarnya keuntungan yang diambil penjual. Bentuk jual-beli jenis kedua ini menegaskan bahwa nilai-nilai etika bisnis Islam menghendaki adanya kejujuran dalam transaksi serta tidak membenarkan adanya penipuan (garar) dalam bentuk apapun, sehingga suatu kebohongan dianggap sebagai pengkhianatan dan penipuan yang berakibat dapat dibatalkannya transaksi tersebut. Diam sekalipun juga dapat dianggap sebagai salah satu bentuk cacat kehendak (yaitu penipuan). Bentuk jual-beli ini bertujuan untuk melindungi orang yang tidak berpengalaman dan kurang informasi dalam transaksi, sehingga terhindar dari penipuan. Disebut jual-beli kepercayan (bai’ al-amanah), karena pembeli bersandar pada kejujuran penjual semata tentang informasi harga barang yang dibelinya.[5]
Jual-beli amanah (bai’ al-amanah) ini dalam fiqih Islam dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1.    Jual-beli murabahah (bai’ al-murabahah)
Jual-beli murabahah (bai’ al-murabahah) yaitu menjual dengan harga asal ditambah dengan margin keuntungan.
2.    Jual-beli di bawah harga pokok (bai’ al-wadi’ah)
Jual-beli di bawah harga pokok (bai’ al-wadi’ah) yaitu menjual dengan harga jual di bawah harga asal dengan pengurangan yang diketahui.
3.    Jual-beli kembali modal (bai’ at-tauliyah)
Jual-beli kembali modal (bai’ at-tauliyah) yaitu menjual dengan harga beli tanpa mengambil keuntungan sedikitpun.
4.    Jual-beli mengikutsertakan (bai’ al-isyrak)
Jual-beli mengikutsertakan (bai’ al-isyrak) yaitu pembeli membeli sebagian dari barang sesuai dengan prosentase harga pokok, sehingga pembeli bersekutu dengan penjual dalam pemilikan barang tersebut.

Asal kata al-murabahah adalah ar-ribh, yang berarti tambahan (keuntungan). Para ahli hukum Islam  mendefinisikan bai’ al-murabahah sebagai berikut :
1.    ‘Abd ar-Rahman al-Jaziri mendefinisikan bai’ al-murabahah sebagai menjual barang dengan harga pokok beserta keuntungan dengan syarat-syarat tertentu.
2.    Menurut Wahbah az-Zuhaili adalah jual-beli dengan harga pertama (pokok) beserta tambahan keuntungan.
3.    Ibn Rusyd –filosof dan ahli hukum Maliki– mendefinisikannya sebagai jual-beli di mana penjual menjelaskan kepada pembeli harga pokok barang yang dibelinya dan meminta suatu margin keuntungan kepada pembeli.
4.    Ibn Qudamah –ahli hukum Hambali– mengatakan bahwa arti jual-beli murabahah adalah jual-beli dengan harga pokok ditambah margin keuntungan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jual-beli murabahah adalah suatu bentuk jual-beli yang penjualnya memberi tahu kepada pembeli tentang harga pokok (modal) barang dan pembeli membelinya berdasarkan harga pokok tersebut dan memberikan margin keuntungan kepada penjual sesuai dengan kesepakatan. Tentang “keuntungan yang disepakati”, penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
Beberapa syarat mengenai jual-beli murabahah menurut para ahli adalah seperti contoh Wahbah az-Zuhaili yang mengatakan bahwa di dalam bai’ al-murabahah itu disyaratkan beberapa hal, yaitu :
1.                   Mengetahui harga pokok
Dalam jual-beli murabahah disyaratkan agar mengetahui harga pokok/ harga asal karena mengetahui harga merupakan syarat sah jual-beli. Syarat ini juga diperuntukkan untuk jual-beli at-tauliyyah dan al-wadi’ah.
2.                   Mengetahui keuntungan
Hendaknya margin keuntungan juga diketahui oleh si pembeli. Karena margin keuntungan termasuk bagian dari harga, sedangkan mengetahui harga merupakan syarat sah jual-beli.
3.                   Harga pokok merupakan sesuatu yang dapat diukur, dihitung dan ditimbang, baik pada waktu terjadi jual-beli dengan penjual yang pertama atau setelahnya, seperti dirham, dinar, dan lain-lain.[6]
Dalam jual-beli murabahah tidak diperbolehkan berkhianat karena murabahah merupakan jual-beli amanah. Artinya, pembeli memberikan amanah kepada penjual untuk memberitahukan harga pokok barang tanpa bukti tertulis.[7] Allah telah berfirman dalam Q. S. al-Anfal : 27 :
” ياأيها الذين أمنوا لاتخونوا الله والرسول وتخونوا أماناتكم وأ نتم تعلمون”
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.

Berdasarkan ayat di atas, apabila terjadi jual-beli murabahah dan terdapat cacat pada barang, baik pada penjual maupun pada pembeli, maka dalam hal ini ada dua pendapat ulama. Menurut Hanafiyah, penjual tidak perlu menjelaskan adanya cacat pada barang karena cacat itu merupakan bagian dari harga barang tersebut. Sementara jumhur ulama tidak memperbolehkan menyembunyikan cacat barang yang dijual karena hal itu termasuk khianat.[8]Penyembunyian cacat barang atau tidak menjelaskannya menurut hukum Islam dianggap sebagai suatu pengkhianatan dan merupakan salah satu cacat kehendak (‘aib min ‘uyub al-iradah) yang berakibat pembeli diberi hak khiyar atau –dalam bahasa hukum perdata Barat– pembeli diberi hak untuk minta pembatalan atas jual-beli tersebut. Ibn Juzai dari Mazhab Maliki mengatakan, “Tidak boleh ada penipuan jual-beli murabahah dan jual-beli lainnya”. Termasuk penipuan adalah menyembunyikan keadaan barang yang sebenarnya yang tidak diingini oleh pembeli atau mengurangi minatnya terhadap barang tersebut.
Pengkhianatan  dalam jual-beli murabahah ini bisa terjadi mengenai informasi tentang cara penjual memperoleh barang, yaitu apakah melalui pembelian secara tunai, pembelian hutang atau sebagai penggantian dari suatu kasus perdamaian. Pengkhianatan bisa juga terjadi tentang besarnya harga pembelian. Jika pengkhianatan terjadi dalam hal informasi cara memperoleh barang, misalnya penjual menyatakan bahwa ia memperolehnya melalui pembelian tunai padahal melalui pembelian hutang atau merupakan barang penggantian dalam suatu kasus perdamaian, maka pembeli diberi hak khiyar untuk meneruskan atau membatalkan akad tersebut. Atau dalam bahasa hukum perdata, pengkhianatan ini merupakan suatu cacat kehendak dan memberikan hak kepada pembeli untuk meminta pembatalan akad tersebut.
Sedangkan apabila pengkhianatan terjadi mengenai harga pokok barang di mana penjual menyatakan suatu harga yang lebih tinggi dari harga sebenarnya yang ia bayar, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam mazhab Hanafi. Menurut Abu Hanifah, pembeli boleh melakukan khiyar untuk meneruskan jual-beli atau membatalkannya karena murabahah merupakan akad jual-beli yang berdasarkan amanah. Bai’ al-murabahah tidak memiliki rujukan/referensi langsung dari al-Qur’an dan Sunnah. Yang ada hanyalah referensi mengenai jual-beli dan perdagangan. Jual-beli murabahah ini hanya dibahas dalam kitab-kitab fiqih dan itupun sangat sedikit dan sepintas saja. Para ilmuwan, ulama, dan praktisi perbankan syari’ah menggunakan rujukan/dasar hukum jual-beli sebagai rujukannya, karena mereka menganggap bahwa murabahah termasuk jual-beli.[9]

b)     Akad Bai’ al-Murabahah dalam Praktik Perbankan Syari’ah
Keberadaan bank syari’ah saat ini menunjukkan kecenderungan yang semakin baik. Produk-produk yang dikeluarkan bank syari’ah cukup beragam, sehingga mampu memberikan pilihan/alternatif bagi calon nasabah untuk memanfaatkannya. Berdasarkan survey yang pernah dilakukan, kebanyakan bank syari’ah masih mengedepankan produk dengan akad jual-beli, di antaranya  adalah murabahah dan bai’ bi saman ajil (murabahah investasi). Bahkan produk murabahah merupakan produk yang paling banyak digunakan selama ini. Hal ini, mungkin, karena pertimbangan resiko dan keuntungan yang akan diperoleh bank syari’ah.
Akad murabahah meminimalisasi resiko yang mungkin dialami bank syari’ah dan bank juga tidak tahu tentang keuntungan dan kerugian nasabah. Berbeda dengan produk mudharabah (sistem bagi hasil), resiko yang mungkin dialami bank syari’ah sangat tinggi dan rentan terhadap kemungkinan bahaya moral karena bank syari’ah berasumsi bahwa semua orang adalah jujur, sehingga bank rawan berhadapan dengan orang yang beritikad kurang baik. Di samping itu, perhitungan-perhitungan dalam produk mudharabah (sistem bagi hasil) lebih rumit bila dibandingkan perhitungan dalam bank konvensional, sehingga dibutuhkan tenaga profesional yang betul-betul handal. Padahal, selama ini kebanyakan tenaga profesional yang dimiliki bank syari’ah diambil dari bank konvensional yang masih terpola perhitungan dengan sistem bunga.
Akad  bai’ al-murabahah juga mirip (tidak sama) dengan akad Kredit Modal Kerja yang biasa diberikan oleh bank konvensional, dan karenanya pembiayaan al-murabahah berjangka waktu di bawah satu tahun (short run financing).

Dasar hukum yang dijadikan sebagai landasan murabahah adalah merujuk pada dasar hukum jual-beli yakni Firman Allah SWT Q. S. al-Baqarah: 275 :
وأحل اللة البيع وحرم الربا
Artinya : “....dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba.”
Dalam hadis Rasulullah juga ditegaskan :
ثلاث فيهن البركة: البيع إلى أجل والمقارضة وخلط البر بالشعير للبيت لا للبيع ”          

Operasionalisasi produk ini di Indonesia didasarkan atas fatwa DPS BMI No. BMI-16/FAT-DPS/XI/96 tentang pembiayaan murabahah, tertanggal 27 Nopember 1996 M atau bertepatan 16 Rajab 1417 H. Pertimbangan ekonomis yang dipakai adalah bahwa masyarakat pengusaha banyak yang memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual-beli untuk mendukung modal kerja yang diperlukan guna melangsungkan dan meningkatkan produksi. Adapun pertimbangan legal-yuridisnya adalah UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan PP No. 72 tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil.
Secara teknis, akad bai’ al-murabahah tersebut terlaksana dengan kedatangan nasabah ke bank syari’ah dan mengajukan permohonan Pembiayaan al-Murabahah untuk pembelian suatu barang dan menyatakan kesanggupan untuk membeli barang tersebut. Setelah melihat kelayakan nasabah untuk menerima fasilitas pembiayaan tersebut, maka bank menyetujui permohonannya. Bank kemudian membelikan atau menunjuk nasabah sebagai agen bank untuk membeli barang yang diperlukannya atas nama bank dan menyelesaikan pembayaran harga barang dari biaya bank. Bank seketika itu juga menjual barang tersebut kepada nasabah pada tingkat harga yang disetujui bersama (yang terdiri dari harga pembelian ditambah mark-up atau margin keuntungan) untuk dibayar dalam jangka waktu yang telah disetujui bersama. Dan pada waktu jatuh tempo, nasabah membayar harga jual barang yang telah disetujui tersebut kepada bank.
Adapun rukun bai’ al-murabahah di dalam perbankan sama dengan rukun jual-beli dalam kitab fiqih dan hanya dianalogkan dalam praktik perbankan, yaitu:
1.    Penjual (al-bai’) dianalogkan sebagai bank;
2.    Pembeli (al-musytari) dianalogkan sebagai nasabah;
3.    Barang yang akan diperjual belikan (al-mabi’), yaitu jenis barang pembiayaan;
4.    Harga (al-saman) dianalogkan sebagai pricing atau plafond pembiayaan;
5.    Ijab dan qabul dianalogkan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.[10]
Sedangkan syarat-syaratnya disesuaikan dengan kebijakan bank syari’ah yang bersangkutan, yang pada umumnya persyaratan menyangkut barang yang diperjual-belikan, harga dan ijab-qabul.
Bai’ al-murabahah dapat dilakukan secara pemesanan dengan cara janji untuk melakukan pembelian (al-wa’d bi al-bai’). Janji pemesan untuk membeli barang dalam bai’ al-murabahah bisa merupakan janji yang mengikat, bisa juga tidak. Para ulama klasik bersepakat bahwa pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan itu disertai alasan secara rinci mengenai pelarangan tersebut. Akan tetapi beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa janji untuk membeli barang tersebut bisa mengikat pemesan. Hal ini demi menghindari madharat. Terlebih lagi bila nasabah bisa “pergi” begitu saja akan sangat merugikan pihak bank atau penyedia barang.
Tanda jadi (arboun dalam istilah beberapa bank Islam) diperbolehkan saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan yang menunjukkan pembeli bersungguh-sungguh atas pesanannya tersebut. Besarnya tanda jadi disesuaikan dengan kerugian riil penjual apabila pembeli membatalkan pesanannya. Selain itu, diperbolehkan pula adanya jaminan. Si pembeli (penyedia pembiayaan/bank) dapat meminta pemesan (pemohon/nasabah) suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.
Produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar negeri, seperti melalui letter of credit (L/C) dapat di-cover oleh Murabahah. Kalangan perbankan syari’ah di Indonesia banyak menggunakan al-murabahah secara berkelanjutan (roll over/evergreen) seperti untuk modal kerja. Padahal sebenarnya, al-murabahah adalah kontrak jangka pendek dengan sekali akad (one short deal). Al-murabahah tidak tepat diterapkan untuk skema modal kerja. Tetapi mudharabah lebih sesuai untuk skema tersebut. Hal ini mengingat prinsip mudharabah memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi.[11]
Transaksi bai’ al-murabahah memiliki beberapa manfaat dan juga resiko yang harus diantisipasi. Bai’ al-murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syari’ah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem bai’ al-murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syari’ah.[12] Di antara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut :
1.         Default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran.
2.         Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual-beli tersebut.
3.         Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena rusak ataupun tidak sesuai dengan spesifikasi.
4.         Dijual. Karena bai’ al-murabahah bersifat jual-beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian, resiko untuk default akan besar.[13]

E.     Pendapat/Argumentasi Ulama Mengenai Bai’ al-Murabahah Dalam Perbankan Syari’ah
Ada beberapa pendapat ulama tentang produk bai’ al-murabahah di dalam perbankan syari’ah, yaitu :

1.    Bai’ al-murabahah merupakan bai’ al-‘inah yang diharamkan.
Bai’ al-‘Inah adalah suatu akad jual-beli di mana seseorang (penjual) menjual suatu barang kepada orang lain (pembeli) secara kontan, kemudian penjual tersebut membeli kembali barang tersebut secara tempo dengan harga yang lebih tinggi.[14]
Ulama Syafi’iyah dan Zahiriyah menyatakan bahwa akad jual-beli ini sah dengan terpenuhinya rukun jual-beli, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hambaliyah, akad jual-beli ini batal berdasarkan sadd adz-dzari’ah. Demikian pula menurut Abu Hanifah, akad jual-beli ini fasid jika tidak ada pihak ketiga di antara pemilik barang dan pembeli. Menurut Wahbah az-Zuhaili, akad jual-beli ini hanya merupakan hilah menuju akad pinjam-meminjam yang mengandung riba dengan jalan atau perantaraan akad jual-beli.

2.    Bai’ al-murabahah merupakan jual beli barang yang tidak ada pada seseorang (bai’ al-ma’dum).
Larangan menjual barang yang tidak ada pada seseorang itu sendiri didasarkan kepada hadis Nabi Muhammad SAW. :
ولا بيع ما ليس عند ك
Menurut al-Baghawi, yang dikutip oleh asy-Syaukani, bahwa larangan di dalam hadis tersebut adalah larangan menjual barang yang belum dimiliki. Adapun menjual sesuatu yang ada di dalam tanggungan itu boleh secara akad salam dengan syarat-syarat tertentu. Jika seseorang menjual sesuatu yang ada dalam tanggungannya dan ditentukan secara konkret di tempat yang telah diperjanjikan, maka hal itu boleh, meskipun barang tersebut belum ada pada waktu akad.[15] Menurut Ibn Taimiyah larangan tersebut bukan dari segi ada/ tidaknya objek akad, tetapi disebabkan oleh adanya unsur garar, yaitu jual-beli sesuatu yang tidak dapat diserahkan.

3.        Bai’ al-murabahah merupakan dua jual beli dalam satu jual beli (bai’atâni fî bai’ah)
Larangan adanya dua jual-beli dalam satu jual-beli didasarkan kepada hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan H. R. Ahmad dan an-Nasa’i dan dianggap shahih oleh at-Tirmizi dan Ibn Hibban  :
 “نهى رسول الله عن بيعتين في بيعة “
Asy-Syafi’i memberikan dua takwil. Pertama, “aku jual barang ini dua ribu secara tempo, atau aku jual ini seribu secara kontan, maka ambillah yang kamu kehendaki”. Kedua, “aku jual rumahku kepadamu dengan syarat engkau jual kudamu kepadaku”. Menurutnya jual-beli ini fâsid
Menurut ulama Hanafiyah, akad jual-beli ini fâsid karena harganya tidak jelas dan disertai dengan syarat tertentu. Demikian pula menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah, akad jual-beli ini batal karena termasuk jual-beli yang mengandung gharar. Sedangkan menurut Imam Malik, akad jual-beli ini sah karena dua jual-beli dalam satu jual-beli adalah dua harga yang berbeda antara kontan dan tempo, tinggal pembeli memilih antara keduanya.[16]

4.    Bai’ al-murâbahah merupakan hîlah untuk mengambil riba dan bentuk lain dari financing (bank konvensional).
Ada sebagian ulama yang berpandangan bahwa bai’ al-murabâhah dalam praktik perbankan syari’ah merupakan hîlah untuk memperoleh riba atau menghasilkan uang sebagaimana yang dilakukan oleh bank konvensional. Pada hakikatnya pembeli (nasabah) datang ke bank untuk mendapatkan pinjaman uang, dan bank tidak membeli barang (aset) kecuali dengan maksud untuk menjual barang kepada pembeli (nasabah) secara kredit.[17]
Hal tersebut kemungkinan didasarkan kepada anggapan bahwa mekanisme penetapan harga (pricing) di dalam pembiayaan bai’ al-murabâhah menggunakan cara perhitungan yang sama dengan bank konvensional, yaitu dalam bentuk prosentase dari pembiayaan pertahun (% p.a).
Perbedaannya, di dalam bank konvensional, yang menjadi hutang nasabah terdiri dari pinjaman pokok dan hutang bunga (biaya dalam prosentase pertahun) yang wajib dibayar oleh nasabah secara tetap selama pinjaman pokok belum dilunasi. Demikian pula masih dimungkinkan adanya kenaikan suku bunga tanpa harus ada persetujuan dari pihak nasabah sehingga jumlah margin keuntungan menjadi tidak jelas karena tergantung kepada lamanya pembayaran dan besarnya suku bunga yang ada.
Sedangkan di dalam bai’ al-murâbahah, margin keuntungan telah disepakati di muka antara nasabah (pembeli) dan pihak bank (penjual), kemudian disatukan dengan harga pokok barang menjadi harga baru yang harus dibayar oleh nasabah (pembeli) bila sudah jatuh tempo. Demikian pula, tidak diperkenankan adanya kenaikan margin keuntungan setelah akad sehingga harganya jelas dan pasti. Selain itu, di dalam bai’ al-murabâhah nasabah tidak mendapatkan uang tunai, tetapi langsung mendapatkan barang yang dibutuhkan.
Singkatnya, di dalam perbankan syari’ah, margin keuntungan telah disepakati di muka antara bank dan nasabah dan tidak diperkenankan adanya kenaikan margin keuntungan. Sedangkan, di dalam bank konvensional,  dimungkinkan adanya kenaikan suku bunga tanpa harus ada persetujuan dari nasabah.
Itulah beberapa pendapat mengenai murâbahah yang saat ini sedang dan masih diterapkan dalam operasional perbankan syari’ah. Namun demikian, ada sebagian ulama yang membolehkan pembiayaan murâbahah ini dikarenakan mekanisme murabahah yang saat ini diterapkan di dalam perbankan syari’ah merupakan pengembangan dari bai’ al- murâbahah /jual-beli dengan harga pokok plus margin keuntungan yang telah disepakati. Pembiayaan murâbahah ini menjauhkan dari praktik riba dan memberikan kesempatan kepada orang yang membutuhkan barang dalam keadaan yang mendesak.

F.     Argumentasi Penulis
Dalam menanggapi pendapat para ulama mengenai Bai’ al-murabahah merupakan bai’ al-‘inah yang diharamkan, maka dapat disimpulkan atas dasar pemahaman bentuk akad bai’ al-‘inah di atas, bahwa bai’ al-murabahah di dalam praktik perbankan syari’ah tidak sama dengan bai’ al-‘inah. Di dalam bai’ al-‘inah pada hakikatnya tidak terjadi akad jual-beli, di mana kepemilikan barang tidak mengalami pergeseran, tetapi tetap pada pemilik semula. Sedangkan akad jual-beli hanya digunakan untuk hilah menuju akad pinjam-meminjam, yaitu untuk memperoleh uang pinjaman. Sedangkan di dalam bai’ al-murabahah benar-benar terjadi akad jual-beli dan terjadi perpindahan status kepemilikan barang dari penjual (bank) kepada pembeli (nasabah).
Serta dalam menanggapi argumentasi para ulama tentang Bai’ al-murabahah merupakan jual beli barang yang tidak ada pada seseorang (bai’ al-ma’dum), penulis menyimpulkan memang pada hakekatnya Bank selaku penjual tidak memiliki barang yang akan dibeli oleh Nasabah sebagai pembeli, maka akan terjadi sesuatu yang dinamakan gharar. Akan tetapi hal tersebut dilatarbelakangi, karena pihak Bank apabila menyimpan barang bagi semua Nasabah itu pun tidak memungkinkan karena nasabah sendiri tidak dalam kuantitas yang sedikit, maka dalam hal ini terjadi yang disebut darurat, maka menurut penulis bukan merupakan jual beli yang barangnya tidak ada, karena dalam aplikasinya juga pihak bank dibeli terlebih dahulu dari Supplier. Dengan demikian, bai’ al-murabahah di dalam praktik perbankan syari’ah termasuk jual-beli yang dibolehkan karena pihak bank menjual barang kepada nasabah setelah barang tersebut dibeli oleh pihak bank dari supplier (penjual), baru kemudian dijual kepada nasabah. Bahkan di dalam proses negosiasi jenis barang dan harganya sudah dapat diketahui dengan jelas. Demikian pula, barang tersebut jelas-jelas berada di dalam tanggungan pihak bank untuk diadakan di kemudian hari.
Tanggapan penulis selanjutnya tentang Bai’ al-murabahah merupakan dua jual beli dalam satu jual beli (bai’atâni fî bai’ah) yang dikemukakan oleh para ulama, terlepas dari berbagai penafsiran dan ketentuan hukum terhadap akad dua jual-beli dalam satu jual-beli di atas, nampaknya praktik bai’ al-murabahah dalam perbankan syari’ah tidak memiliki kesamaan dengan akad dua jual-beli dalam satu jual-beli tersebut. Di dalam pelaksanaan bai’ al-murâbahah hanya terdapat satu harga (harga pokok plus margin keuntungan) yang harus dibayar oleh nasabah di kemudian hari (tempo), tidak ada pilihan dua harga. Demikian pula di dalam bai’ al-murabahah tidak terdapat persyaratan pembeli (nasabah) harus menjual suatu barang kepada pihak bank (penjual).
Menanggapi pendapat ulama yang terakhir tentang Bai’ al-murâbahah merupakan hîlah untuk mengambil riba dan bentuk lain dari financing (bank konvensional), nampaknya pada kenyataan memang sangat mirip dengan kredit dalam bank Konvensional. Hal ini merupakan suatu yang harus dicermati dan diteliti betul dalam proses aplikasi diperbankan. Namun, dalam perbankan syariah tentu margin/keuntungan yang suatu saat tidak dibayar dalam waktu yang seharusnya, tidak berubah berkali-kali lipat seperti yang diterapkan dibank konvensional, dalam arti lain harga pokok dan margin telah ditentukan diawal dan tidak berubah nominalnya sesuai dengan jangka waktu yang disepakati, untuk itu menurut penulis bukan merupakan bentuk dari riba.
Hanya saja yang perlu diperhatikan oleh perbankan syari’ah adalah di dalam proses penetapan harga (pricing) jangan sampai mengambil margin keuntungan yang terlalu tinggi sehingga selisih harga barang yang dijual kepada nasabahnya tidak jauh berbeda dengan harga barang yang dijual dalam bank konvensional. Oleh karena itu diperlukan ketelitian dalam menetapkan tambahan/tingkat laba dalam transaksi penjualan murâbahah. Pada kenyataannya, legitimasi transaksi penjualan murâbahah atas dasar suatu jumlah yang tidak menyesatkan/curang tidak menutup kemungkinan menetapkan harga penjualan jauh lebih tinggi dari pada biaya semula. Laba yang tidak wajar dan berlebihan merupakan unsur riba yang dilarang oleh Islam.[18]


G.    Kesimpulan
Dari perdebatan Bai’ Al Murabahah yang ada diperbankan syariah, yang dalam implementasi murabahah sebagai instrumen pembiayaan yang menuai kritik, sesuai dengan fakta empirik maka dari berbagai pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akad bai’ al- murâbahah di dalam praktik perbankan syari’ah bukan termasuk bai’ al-‘inah, bai’ al-ma’dûm, bai’atâni fî bai’ah atau hîlah untuk mengambil riba.
Dengan demikian, bai’ al-murâbahah termasuk jual-beli yang dibolehkan, yaitu jual-beli barang dengan harga yang pasti (harga pokok plus margin keuntungan) yang harus dibayar oleh pembeli (nasabah) pada saat jatuh tempo yang telah ditentukan. Atau dengan kata lain, akad bai’ al-murâbahah hukumnya sah (diperbolehkan), sedangkan yang menjadi perdebatan di kalangan para ulama (fuqaha) adalah operasionalisasi akad bai’ al-murâbahah menjadi sebuah produk dalam praktik perbankan syari’ah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Sedangkan untuk meminimalisir –bahkan menghilangkan– kesenjangan antara konsep dan praktik dalam realitas, khususnya dalam produk murâbahah, maka perbankan syari’ah harus benar-benar istiqâmah dalam menerapkan/merealisasikan produk-produk yang ditawarkan kepada para nasabah sesuai dengan konsep-konsep yang ada. Di samping itu sosialisasi produk-produk yang ada lebih ditingkatkan, misalnya dengan promosi. Dalam hal ini, peran ulama dan cendekiawan muslim juga sangat diperlukan dalam memberikan wawasan dan pemahaman tentang produk-produk tersebut kepada masyarakat luas yang masih awam tentang operasionalisasi dan mekanisme perbankan syari’ah. Dan yang tidak kalah penting, perbankan syari’ah harus memiliki standar sistem perhitungan dalam penetapan jasa bank tanpa harus bergantung pada standar dalam perhitungan bunga. Oleh karena itu, penentuan besarnya mark-up dalam murâbahah harus mengacu pada perhitungan besarnya keuntungan yang diperoleh nasabah yang menjalankan transaksi murâbahah, bukan mengacu pada suku bunga dalam bank konvensional.







DAFTAR PUSTAKA

Al-Kasani, ‘Ala’ al-Din Abu Bakr Ibn Mas’ud, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’ (Beirut : Dar al-Fikr, 1996), cet. I, juz V.

Al-Qardawi, Yusuf, Bai’ al-Murabahah li al-Amir bi asy-Syira’ Kama Tajriyat al-Masharif al-Islamiyyah (t.t.p. : Mathba’ah Wahbah, 1987), jld. IV.

Antonio, M. Syafi’i, Bank Syari’ah : dari Teori ke Praktik (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), cet. III.

Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus : Dar al-Fikr, 1989), jld. IV.

Hendry, Arrison, Perbankan Syari’ah : Perspektif Praktisi (Jakarta : Mu’amalat Institute, 1999).

Mannan, M. Abdul, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin (Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1997).

Sumitro, Warkum, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI & Takaful) di Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997).







[1] M. Syafi’i  Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori Ke Praktek (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), cet. III, h. 29-34.
[2] Ibid., h. 101.
[3] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI & Takaful) di Indonesia (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996), cet. I, h. 81 dan 112.
[4] Lihat Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest : A Study of Prohibition of Riba and It’s Contemporary Interpretation (Leiden : E. J. Brill, 1996), h. 93.
[5] As-Sanhuri, Mashadir al-Haq fi al-Fiqh al-Islami (Beirut : Dar al-Fikr, t. t.), juz II, h. 166.
[6] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus : Dar al-Fikr, 1989), jilid. IV, h. 705
[7] M. Syafi’i  Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori Ke Praktek (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), cet. III, h. 36
[8] ‘Ala’ ad-Din Abu Bakr Ibn Mas’ud al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’ (Beirut : Dar al-Fikr, 1996), cet. I, juz V, h. 331.
[9] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori Ke Praktek, h. 102
[10] Arrison Hendry, Perbankan Syari’ah : Perspektif Praktisi (Jakarta : Mu’amalat Institute, 1999), h. 43.
[11] M. Syafi’i  Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori Ke Praktek (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), cet. III, h.106
[12] M. Syafi’i  Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori Ke Praktek (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), cet. III, h. 107
[13] Ibid., h.108
[14] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus : Dar al-Fikr, 1989), jld. IV, h. 466.
[15] Yusuf al-Qardawi, Bai’ al-Murabahah li al-Amir bi asy-Syira’ Kama Tajriyat al-Masharif al-Islamiyyah (t. t. p. : Mathba’ah Wahbah, 1987), h. 57.
[16] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus : Dar al-Fikr, 1989), jld. IV, h. 472
[17] Yusuf al-Qardawi, Bai’ al-Murabahah li al-Amir bi asy-Syira’ Kama Tajriyat al-Masharif al-Islamiyyah (t. t. p. : Mathba’ah Wahbah, 1987), h. 26
[18] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin (Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 205.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar