Rabu, 14 Desember 2016

Muhlisoh - Asuransi Syari'ah



ASURANSI SYARIAH
Muhlisoh
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Abstrak: Asuransi Syariah, studi ini menjelaskan pandangan para ulama kontemporer mengenai bagaimana halal atau haram asuransi syariah tersebut. Asuransi dalam bahasa Arab at-ta’min diambil dari kata amana memiliki arti perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut. Istilah lain yang sering digunakan untuk asuransi Islam adalah takaful yang berasal dari kata kafalah yang berarti menanggung, menjamin. Asuransi juga dikenal dengan dengan kata at-tadhamun yang berarti solidaritas atau disebut juga saling menanggung hak atau kewajiban yang berbalasan. Adapun asuransi menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992: ”Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”. Asuransi syariah yang tergolong dalam inovasi lembaga keuangan non bank yang baru, dan berlandaskan prinsip Islam masih belum dikenal oleh masayarakat luas, khususnya masyarakat Indonesia yang mayoritas umat muslim.
Kata Kunci: asuransi, asuransi syariah, takaful, tabbaru, mudharabah.


Pendahuluan
Kehidupan manusia pada zaman modern ini banyak beragam macam resiko dan bahaya. Dan manusia sendiri tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok hari dan dimana dia akan meninggal dunia. Resiko yang mengancam manusia sangatlah beragam, mulai dari kecelakaan transportasi udara, kapal, hingga angkutan darat. Manusia juga menghadapi kecelakaan kerja, kebakaran, perampokan, pencurian, terkena penyakit, bahkan kematian itu sendiri. Untuk menanggulangi itu semua, manusia berinisiatif untuk membuat suatu transaksi yang bisa menjamin diri dan hartanya, yang kemudian dikenal dengan istilah asuransi. Asuransi ini termasuk muamalat kontemporer yang belum ada pada zaman nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, perlu ada penjelasan tentang hukumnya di dalam Islam.
Pengertian Asuransi Syariah
Perkembangan asuransi syariah di dunia islam tekah diawali dengan terjadinya silang pendapat dikalangan ulama tentang boleh dan tidaknya asuransi konvensional menurut syariat islam. Dari perbedaan penadapat yang berkembang menjadi diskursus yang berkepanjangan, kemudian muncul satu pertanyaan mendasar: apakah di dalam syariat islamada prinsip-prinsip perasuransian yang isa dikembangkan? Dari pertanyaan itu, kemudian dicarilah prisnip atau nilai perasuransian yang terdapat dalam syariat islam, yang pada akhirnya terjelma dalam bentuk tatanan prkatis tentang bagaimana asuransi syariah yang sebenarnya. [1]
Di dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan istilah: at Takaful, atau at Tadhamun yang berarti saling menanggung. Asuransi ini disebut juga dengan istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang berarti aman, tentram, dan tenang. Lawannya adalah al-khouf, yang berarti takut dan khawatir. Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini (khususnya para peserta ) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya yang akan menimpanya dengan adanya transaksi ini. Definisi asuransi syariah menurut Dewan Islam Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya tentang pedoman asuransi syariah atau Islam adalah usaha saling melindungi dan saling tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui bentuk investasi dalam bentuk asset dan atau tabbaru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (sesuai dengan syariah).[2]
Konsep asuransi syariah adalah suatu konsep dimana terjadi saling memikul resiko diantara peserta. Sehingga, antara satu dan lainnya saling menjadi penanggung atas resiko yang muncul. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar  saling menolong dalam kebaikan dengan masing-masing mengeluarkan dana tabbaru atau dana kebajikan (derma) yang ditunjukkan untuk menanggung resiko.
Landasan Hukum Asuransi Syariah
Asuransi Islam atau asuransi syariah ini diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jendral Keuangan No. Kep. 4499/LK/2000 tentang jenis, penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perasuransian dengan Sistem Syariah. Selin itu, peraturan pemerintah tentang asuransi Islam antara lain diatur dalam:
a.       Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia No.  421/KMK.06?2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Direksi Komisaris Perusahaan Perasuransian.
b.      Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia No.  422/KMK.06?2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi Perusahaan Reasuransi
c.       Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia No.  423/KMK.06?2003 tentang Pemeriksaan Peursahaan Ausransi
d.      Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia No.  424/KMK.06?2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
e.       Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia No.  425/KMK.06?2003 tentang Perizinan Penyelenggaraan Kegiataan Usaha Perusahaan Penunjang Perusahaan Asuransi
f.       Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia No.  421/KMK.06?2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.[3]
Terdapat juga dasar hukumnya didalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijtihad, antara lain sebagai berikut:
a.       Al-Qur’an
1)      Surat Yusuf ayat  43-49, yang artinya “Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk system proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk terjadi dimasa depan.”
2)      Surat Al-Hasyr ayat 18, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendkalh setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[4]
b.      As-Sunnah, hadits tentang menghindari risiko. Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a bertanya kepada Rasulullah SAW tentang untanya “Apa unta ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal kepada Allah SWT?” bersabda Rasulullah SAW “Pertama ikatlah unta itu kemudian bertawakallah kepada Allah SWT.” (HR. At-Tirmidzi).
c.       Ijitihad, fatwa sahabat. Praktik sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh Khalifah kedua, Umar bin Khattab berkata: “Orang-orang mana yang tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak sengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka.” Umarlah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk mengiapkan daftar secara professional per wilayah, dan orang-orang terdaftar diwajibkan saling menanggung beban.
Prinsip-prinsip Asuransi Syariah
Konsep takaful yang merupakan dasar dari asuransi syariah, ditegakan diatas tiga prinsip dasar, yaitu:
1.      Saling bertanggung jawab
2.      Saling bekerjasama dan membantu
3.      Saling melindungi
Asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat islam. Untuk itu, dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1)      Asuransi syariah dibangun atas dasar taawun (kerja sama), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorientasi pada bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman: “Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling solong menolong dalam dosa dan permusuhan.
2)      Tabbaru sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa maka selesaikan menurut syariat.
3)      Tiap anggota yang menyetor uangnya dengan jumlah yang telah ditentukan, dan disertai dengan niat membantu demi meneggakkan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul  itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
4)      Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uanganya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetapi ia diberi uang jamaah sebagai ganti rugi atas keugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
5)      Apabila uang itu akan dikembangkan maka harus dijalankan menurut aturan syar’i
6)      Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan system bagi hasil (mudharabah).[5]
Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
Asuransi Syariah, sebagai berikut:
1.      Asuransi syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawas produk yang di pasarkan dan sekaligus  pengelolaan investasi dana yang terkumpul yang dibayarkan oleh peserta
2.      Akad yang dilaksanakan pada asuransi syariah berdasar tolong menolong
3.      Asuransi syariah berdasar bagi hasil
4.      Kepemilikan dana pada asuransi syariah merupakan hak peserta
5.      Dalam mekanismenya, asuransi syariah tidak mengenal dana hangus
6.      Pembagian keuntungan pada asuransi syariah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan
7.      Pembayaran klaim pada asuransi syariah diambil dari dana tabbaru’ (dana kebajikan).
8.      Asuransi syariah menggunakan system sharing of risk
9.      Menggunakan konsep akuntansi cash basis yang mengakui apa yang telah ada
10.  Asuransi syariah dibebani kewajiban membayar zakat dari keuntungan yang diperoleh[6]
Asuransi Konvensional, sebagai berikut:
1.      Asuransi konvensional tidak ada dewan syariah
2.      Asuransi konvensional didasarkan pada akad jual beli
  1. Asuransi konvensional memakai sistem bunga berdasar perhitungan investasi termasuk riba.
4.      Pada asuransi konvensional dana terkumpul dari premi menjadi milik perusahaan
5.      Dalam asuransi konvensional menegnal dana hangus
  1. Pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.[7]
Pendapat Para Ulama Mengenai Asuransi Syariah
Membolehkan secara mutlak, tanpa terkecuali yakni yang berpendapat seperti ini adalah Musthofa Ahmad Zarqo dan Muhammad Al-Bahi, berikut argumentasi beliau:[8]
  1. Bahwa asuransi tidak terdapat nash Al-Qur’an atau hadits yang melarang asuransi. Oleh karena itu, selama perbuatan tersebut tidak digariskan kehalalan dan keharaman yang ada di kedua sumber tersebut, sah untuk dilakukan. Karena menginggat prinsip dalam qawaid al-fiqhiyyah yang berbunyi:
                            
       الاباحة المعاملات في الاصل
Artinya: asal hukum sesuatu didalam hal mu’amalah adalah mubah (boleh).
  1. Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak. Dalam istilah fiqih dikenal dengan prinsip تراض ان منكم (sama ridho, tidak ada keterpaksaan). Dengan berdasarkan prinsip tersebut, transaksi asuransi menjadi sah, karena didasarkan kesepakatan tersebut.
  2. Asuransi saling menguntungkan kedua belah pihak. Artinya seorang klien dan perusahaan asuransi mendapatkan laba dari transaksi tersebut. Seorang klien mendapatkan ganti rugi barangnya yang hilang misalnya, sedangkan perusahaan tersebut juga mendapatkan laba dari usahannya.
  3. Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan. Dengan alasan kemaslahatan maka asuransi dapat meringankan beban orang lain, dapat membantu golongan orang yang lemah. Oleh karena itu, hukum asuransi menjadi mubah (boleh).
  4. Asuransi termasuk akad mudharabah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
  5. Asuransi termasuk syirkat ta’awuniyat usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong menolong.
Pendapat ulama yang memperbolehkan asuransi karena dalam prakteknya asuransi sejalan dengan nilai-nilai universal Al-Qur’an seperti tolong-menolong (ta’awun), juga termasuk dalam aqad mudharabah, dan juga syirkah. Dan menginggat hukum asal dari mu’amalah adalah boleh    
  الاباحة المعاملات في الاصل dan didukung adanya prinsip saling suka rela maka berdasarkan ini ulama memperbolehkan adanya asuransi.
Pendapat yang mengharamkan mengenai Asuransi Syariah, yakni sebgai berikut:
1.      Dalil hadis Asy’ariyyin yang digunakan sebagai dasar asuransi tidak tepat.
Hadis Asy’ariyyin yang dimaksud adalah: Nabi bersabda, “Kaum Asy’ariyin jika mereka kehabisan bekal dalam peperangan atau jika makanan keluarga mereka di Madinah menipis, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, mereka itu bagian dariku dan aku pun bagian dari mereka.” (HR Muttafaq ‘alaih). Dalam hadis tersebut bahaya terjadi lebih dahulu, baru dilakukan proses ta’awun (tolong-menolong). Sedangkan dalam asuransi syariah, ta’awun dilakukan lebih dahulu padahal bahayanya belum terjadi, baru dilakukan proses ta’awun (tolong-menolong).
2.      Akad dalam asuransi syariah tidak sesuai dengan akad dhaman (pertanggungan) dalam Islam. Mestinya ada tiga pihak, tapi dalam asuransi syariah hanya ada dua pihak, yaitu: pertama, pihak yang menjamin atau penanggung (dhamin), yaitu para peserta semua; kedua, pihak yang mendapat jaminan atau tanggungan (madhmun lahu) yaitu para peserta semua. Jadi dalam asuransi syariah tidak terdapat pihak ketiga, yaitu pihak yang dijamin atau tertanggung (madhmun ‘anhu).
3.      Terjadi multiakad atau akad ganda, yaitu penggabungan akad hibah dan akad tijarah (komersial), padahal Nabi melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.
4.      Akad hibah (tabarru) dalam asuransi syariah tidak sesuai dengan pengertian hibah, yaitu pemberian tanpa kompensasi.
Dalam asuransi syariah, peserta memberikan dana hibah tapi sekaligus mengharap kompensasi. Ini dianggap sama dengan menarik kembali hibah yang diberikan, yang hukumnya haram. Sabda Nabi Saw: “Orang yang menarik kembali hibahnya, sama dengan anjing yang menjilat kembali muntahannya.” (HR Bukhari dan Muslim). Juga sabda Nabi Saw: “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya.” (HR Abu Dawud).[9]

Menurut pendapat saya mengenai hukum dari asuransi syariah itu halal, karena didalam perjanjian atau transaksi itu adanya kesepakatan atau kerelaan dari kedua belah pihak. Karena syarat shanya transaksi itu adalah salah satunya dengan sama–sama rela atau sepakat. Di dalam transaksi asuransi syariah ini  tidak boleh adanya unsur riba, gharar, perjudian. MUI juga sudah mengeluarkan fatwa mengenai hukum asuransi syariah.
Penutup
Asuransi yang sejalan dengan nilai-nilai prinsip syariah adalah yang bersifat tolong-menolong, terhindar dari perjudian, riba dan ghoror. Nasabah atau klien tidak kehilangan uang yang dibayar setiap bulannya. Dan perusahaan hanya bersifat amanah yakni sebagai pengelola uang saja. Bahwa asuransi pada saat ini cukup mempunyai peran yang signifikan, maka disarankan untuk memilih asuransi yang sejalan dengan syariah, yaitu asuransi syariah.
Daftar Pustaka
Aziz, Abdul, 2010. Manajemen Investasi Syariah, Bandung: Alfabeta.
Janwari, Yadi, Asuransi Syariah, 2005. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Nurul Huda & M. Heykal, 2010. Lembaga keuangan Islam, Jakarta: Kencana.
Soemitra,Andri, 2010. Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana.
Sula, Muhammad Syakir, 2004. Asuransi Syariah Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani Press.
Sabiq, Sayid, 1995. Fiqh al-Sunnah, Baerut-Lebanon: Dar al-Fath,  Juz III.
http://myallisya.com/2015/05/01/hukum-asuransi-syariah-tanggapan-terhadap-pendapat-yang-mengharamkan. diakses pada tanggal 19 Oktober 2016, hari Rabu pukul 21:35 WIB.






[1] Yadi Janwari, Asuransi Syariah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm.29.
[2] Nurul Huda & M. Heykal, Lembaga keuangan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.151-152.
[3] Ibid…, hlm. 170.
[4] Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm.191.
[5] Ibid…, hlm. 192.
[6] Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010). Hlm.266-268.
[7] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm.97.
[8] Sayid sabiq, Fiqh al-Sunnah (Baerut-Lebanon: Dar al-Fath, 1995) Juz III, hlm. 301-304.

[9] http://myallisya.com/2015/05/01/hukum-asuransi-syariah-tanggapan-terhadap-pendapat-yang-mengharamkan. diakses pada tanggal 19 Oktober 2016, hari Rabu pukul 21:35 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar