ASURANSI SYARIAH
Muhlisoh
Fakultas
Syariah dan Ekonomi Islam
IAIN
Syekh Nurjati Cirebon
Email:
muhlisohsuhendi@gmail.com
Abstrak: Asuransi
Syariah, studi ini menjelaskan pandangan para
ulama kontemporer mengenai bagaimana halal atau haram asuransi syariah tersebut.
Asuransi dalam bahasa Arab at-ta’min
diambil dari kata amana memiliki arti
perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut. Istilah lain
yang sering digunakan untuk asuransi Islam adalah takaful yang berasal dari kata kafalah
yang berarti menanggung, menjamin. Asuransi juga dikenal dengan dengan kata
at-tadhamun yang berarti solidaritas
atau disebut juga saling menanggung hak atau kewajiban yang berbalasan. Adapun
asuransi menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang
No. 2 Tahun 1992: ”Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua
pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan”. Asuransi syariah yang tergolong dalam inovasi
lembaga keuangan non bank yang baru, dan berlandaskan prinsip Islam masih belum
dikenal oleh masayarakat luas, khususnya masyarakat Indonesia yang mayoritas
umat muslim.
Kata
Kunci: asuransi, asuransi syariah, takaful, tabbaru, mudharabah.
Pendahuluan
Kehidupan manusia pada zaman modern ini banyak
beragam macam resiko dan bahaya. Dan manusia sendiri tidak mengetahui apa yang
akan terjadi esok hari dan dimana dia akan meninggal dunia. Resiko yang
mengancam manusia sangatlah beragam, mulai dari kecelakaan transportasi udara,
kapal, hingga angkutan darat. Manusia juga menghadapi kecelakaan kerja, kebakaran,
perampokan, pencurian, terkena penyakit, bahkan kematian itu sendiri. Untuk
menanggulangi itu semua, manusia berinisiatif untuk membuat suatu transaksi
yang bisa menjamin diri dan hartanya, yang kemudian dikenal dengan istilah
asuransi. Asuransi ini termasuk muamalat kontemporer yang belum ada pada zaman
nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, perlu ada penjelasan tentang hukumnya di
dalam Islam.
Pengertian Asuransi
Syariah
Perkembangan asuransi syariah di dunia islam tekah
diawali dengan terjadinya silang pendapat dikalangan ulama tentang boleh dan
tidaknya asuransi konvensional menurut syariat islam. Dari perbedaan penadapat
yang berkembang menjadi diskursus yang berkepanjangan, kemudian muncul satu
pertanyaan mendasar: apakah di dalam syariat islamada prinsip-prinsip
perasuransian yang isa dikembangkan? Dari pertanyaan itu, kemudian dicarilah
prisnip atau nilai perasuransian yang terdapat dalam syariat islam, yang pada
akhirnya terjelma dalam bentuk tatanan prkatis tentang bagaimana asuransi
syariah yang sebenarnya. [1]
Di dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan
istilah: at Takaful, atau at Tadhamun yang berarti saling menanggung. Asuransi
ini disebut juga dengan istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang
berarti aman, tentram, dan tenang. Lawannya adalah al-khouf, yang berarti takut
dan khawatir. Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini
(khususnya para peserta ) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap
bahaya yang akan menimpanya dengan adanya transaksi ini. Definisi asuransi
syariah menurut Dewan Islam Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya
tentang pedoman asuransi syariah atau Islam adalah usaha saling melindungi dan
saling tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui bentuk
investasi dalam bentuk asset dan atau tabbaru yang memberikan pola pengembalian
untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (sesuai dengan syariah).[2]
Konsep asuransi syariah adalah suatu konsep dimana
terjadi saling memikul resiko diantara peserta. Sehingga, antara satu dan lainnya
saling menjadi penanggung atas resiko yang muncul. Saling pikul resiko ini
dilakukan atas dasar saling menolong
dalam kebaikan dengan masing-masing mengeluarkan dana tabbaru atau dana
kebajikan (derma) yang ditunjukkan untuk menanggung resiko.
Landasan Hukum Asuransi
Syariah
Asuransi Islam atau asuransi syariah ini diatur
dalam Surat Keputusan Direktur Jendral Keuangan No. Kep. 4499/LK/2000 tentang
jenis, penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perasuransian
dengan Sistem Syariah. Selin itu, peraturan pemerintah tentang asuransi Islam
antara lain diatur dalam:
a. Keputusan
Mentri Keuangan Republik Indonesia No.
421/KMK.06?2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Direksi
Komisaris Perusahaan Perasuransian.
b. Keputusan
Mentri Keuangan Republik Indonesia No.
422/KMK.06?2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi
Perusahaan Reasuransi
c. Keputusan
Mentri Keuangan Republik Indonesia No.
423/KMK.06?2003 tentang Pemeriksaan Peursahaan Ausransi
d. Keputusan
Mentri Keuangan Republik Indonesia No.
424/KMK.06?2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi
e. Keputusan
Mentri Keuangan Republik Indonesia No.
425/KMK.06?2003 tentang Perizinan Penyelenggaraan Kegiataan Usaha
Perusahaan Penunjang Perusahaan Asuransi
f. Keputusan
Mentri Keuangan Republik Indonesia No.
421/KMK.06?2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.[3]
Terdapat juga dasar hukumnya didalam Al-Qur’an,
As-Sunnah, dan Ijtihad, antara lain sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
1) Surat
Yusuf ayat 43-49, yang artinya “Allah menggambarkan contoh usaha manusia
membentuk system proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk terjadi dimasa
depan.”
2) Surat
Al-Hasyr ayat 18, yang artinya “Hai
orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendkalh setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan
bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”[4]
b. As-Sunnah,
hadits tentang menghindari risiko. Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a
bertanya kepada Rasulullah SAW tentang untanya “Apa unta ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal kepada Allah
SWT?” bersabda Rasulullah SAW
“Pertama ikatlah unta itu kemudian bertawakallah kepada Allah SWT.” (HR.
At-Tirmidzi).
c. Ijitihad,
fatwa sahabat. Praktik sahabat
berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh
Khalifah kedua, Umar bin Khattab berkata: “Orang-orang
mana yang tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama
lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan
(tidak sengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka.” Umarlah
orang yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk mengiapkan daftar secara
professional per wilayah, dan orang-orang terdaftar diwajibkan saling
menanggung beban.
Prinsip-prinsip
Asuransi Syariah
Konsep takaful yang merupakan dasar dari asuransi
syariah, ditegakan diatas tiga prinsip dasar, yaitu:
1. Saling
bertanggung jawab
2. Saling
bekerjasama dan membantu
3. Saling
melindungi
Asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak
menyimpang prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat islam. Untuk itu, dalam
muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Asuransi
syariah dibangun atas dasar taawun (kerja sama), tolong menolong, saling
menjamin, tidak berorientasi pada bisnis atau keuntungan materi semata. Allah
SWT berfirman: “Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan
saling solong menolong dalam dosa dan permusuhan.
2) Tabbaru
sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali.
Kalau terjadi peristiwa maka selesaikan menurut syariat.
3) Tiap
anggota yang menyetor uangnya dengan jumlah yang telah ditentukan, dan disertai
dengan niat membantu demi meneggakkan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang
terkumpul itu diambilah sejumlah uang
guna membantu orang yang sangat memerlukan.
4) Tidak
dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uanganya dengan tujuan supaya
ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetapi ia
diberi uang jamaah sebagai ganti rugi atas keugian itu menurut izin yang
diberikan oleh jamaah.
5) Apabila
uang itu akan dikembangkan maka harus dijalankan menurut aturan syar’i
6)
Dana yang terkumpul
dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi)
diinvestasikan berdasarkan syariah dengan system bagi hasil (mudharabah).[5]
Perbedaan
Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
Asuransi
Syariah, sebagai berikut:
1. Asuransi
syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawas produk yang di
pasarkan dan sekaligus pengelolaan
investasi dana yang terkumpul yang dibayarkan oleh peserta
2. Akad
yang dilaksanakan pada asuransi syariah berdasar tolong menolong
3. Asuransi
syariah berdasar bagi hasil
4. Kepemilikan
dana pada asuransi syariah merupakan hak peserta
5. Dalam
mekanismenya, asuransi syariah tidak mengenal dana hangus
6. Pembagian
keuntungan pada asuransi syariah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai
prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan
7. Pembayaran
klaim pada asuransi syariah diambil dari dana tabbaru’ (dana kebajikan).
8. Asuransi
syariah menggunakan system sharing of
risk
9. Menggunakan
konsep akuntansi cash basis yang mengakui apa yang telah ada
10. Asuransi
syariah dibebani kewajiban membayar zakat dari keuntungan yang diperoleh[6]
Asuransi
Konvensional, sebagai berikut:
1. Asuransi
konvensional tidak ada dewan syariah
2. Asuransi
konvensional didasarkan pada akad jual beli
- Asuransi konvensional memakai sistem bunga berdasar perhitungan investasi termasuk riba.
4. Pada
asuransi konvensional dana terkumpul dari premi menjadi milik perusahaan
5. Dalam
asuransi konvensional menegnal dana hangus
- Pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.[7]
Pendapat Para Ulama
Mengenai Asuransi Syariah
Membolehkan secara mutlak, tanpa terkecuali yakni
yang berpendapat seperti ini adalah Musthofa Ahmad Zarqo dan Muhammad Al-Bahi,
berikut argumentasi beliau:[8]
- Bahwa asuransi tidak terdapat nash Al-Qur’an atau hadits yang melarang asuransi. Oleh karena itu, selama perbuatan tersebut tidak digariskan kehalalan dan keharaman yang ada di kedua sumber tersebut, sah untuk dilakukan. Karena menginggat prinsip dalam qawaid al-fiqhiyyah yang berbunyi:
الاباحة المعاملات في الاصل
Artinya: asal hukum sesuatu didalam hal mu’amalah
adalah mubah (boleh).
- Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak. Dalam istilah fiqih dikenal dengan prinsip تراض ان منكم (sama ridho, tidak ada keterpaksaan). Dengan berdasarkan prinsip tersebut, transaksi asuransi menjadi sah, karena didasarkan kesepakatan tersebut.
- Asuransi saling menguntungkan kedua belah pihak. Artinya seorang klien dan perusahaan asuransi mendapatkan laba dari transaksi tersebut. Seorang klien mendapatkan ganti rugi barangnya yang hilang misalnya, sedangkan perusahaan tersebut juga mendapatkan laba dari usahannya.
- Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan. Dengan alasan kemaslahatan maka asuransi dapat meringankan beban orang lain, dapat membantu golongan orang yang lemah. Oleh karena itu, hukum asuransi menjadi mubah (boleh).
- Asuransi termasuk akad mudharabah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
- Asuransi termasuk syirkat ta’awuniyat usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong menolong.
Pendapat
ulama yang memperbolehkan asuransi karena dalam prakteknya asuransi sejalan
dengan nilai-nilai universal Al-Qur’an seperti tolong-menolong (ta’awun), juga
termasuk dalam aqad mudharabah, dan juga syirkah. Dan menginggat hukum asal
dari mu’amalah adalah boleh
الاباحة المعاملات في الاصل dan
didukung adanya prinsip saling suka rela maka berdasarkan ini ulama
memperbolehkan adanya asuransi.
Pendapat
yang mengharamkan mengenai Asuransi Syariah, yakni sebgai berikut:
1. Dalil
hadis Asy’ariyyin yang digunakan sebagai dasar asuransi tidak tepat.
Hadis
Asy’ariyyin yang dimaksud adalah: Nabi bersabda, “Kaum Asy’ariyin jika mereka
kehabisan bekal dalam peperangan atau jika makanan keluarga mereka di Madinah
menipis, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu lembar kain
kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, mereka itu bagian
dariku dan aku pun bagian dari mereka.” (HR Muttafaq ‘alaih). Dalam hadis tersebut
bahaya terjadi lebih dahulu, baru dilakukan proses ta’awun (tolong-menolong).
Sedangkan dalam asuransi syariah, ta’awun dilakukan lebih dahulu padahal
bahayanya belum terjadi, baru dilakukan proses ta’awun (tolong-menolong).
2. Akad
dalam asuransi syariah tidak sesuai dengan akad dhaman (pertanggungan) dalam
Islam. Mestinya ada tiga pihak, tapi dalam asuransi syariah hanya ada dua
pihak, yaitu: pertama, pihak yang menjamin atau penanggung (dhamin), yaitu para
peserta semua; kedua, pihak yang mendapat jaminan atau tanggungan (madhmun
lahu) yaitu para peserta semua. Jadi dalam asuransi syariah tidak terdapat
pihak ketiga, yaitu pihak yang dijamin atau tertanggung (madhmun ‘anhu).
3. Terjadi
multiakad atau akad ganda, yaitu penggabungan akad hibah dan akad tijarah
(komersial), padahal Nabi melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.
4. Akad
hibah (tabarru) dalam asuransi syariah tidak sesuai dengan pengertian hibah,
yaitu pemberian tanpa kompensasi.
Dalam
asuransi syariah, peserta memberikan dana hibah tapi sekaligus mengharap
kompensasi. Ini dianggap sama dengan menarik kembali hibah yang diberikan, yang
hukumnya haram. Sabda Nabi Saw: “Orang yang menarik kembali hibahnya, sama
dengan anjing yang menjilat kembali muntahannya.” (HR Bukhari dan Muslim). Juga
sabda Nabi Saw: “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia
tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya.” (HR Abu Dawud).[9]
Menurut pendapat saya mengenai hukum dari asuransi
syariah itu halal, karena didalam perjanjian atau transaksi itu adanya
kesepakatan atau kerelaan dari kedua belah pihak. Karena syarat shanya
transaksi itu adalah salah satunya dengan sama–sama rela atau sepakat. Di dalam
transaksi asuransi syariah ini tidak
boleh adanya unsur riba, gharar, perjudian. MUI juga sudah mengeluarkan fatwa mengenai
hukum asuransi syariah.
Penutup
Asuransi yang sejalan dengan nilai-nilai prinsip
syariah adalah yang bersifat tolong-menolong, terhindar dari perjudian, riba
dan ghoror. Nasabah atau klien tidak kehilangan uang yang dibayar setiap
bulannya. Dan perusahaan hanya bersifat amanah yakni sebagai pengelola uang
saja. Bahwa asuransi pada saat ini cukup mempunyai peran yang signifikan, maka
disarankan untuk memilih asuransi yang sejalan dengan syariah, yaitu asuransi
syariah.
Daftar Pustaka
Aziz, Abdul, 2010. Manajemen Investasi Syariah, Bandung:
Alfabeta.
Janwari, Yadi, Asuransi Syariah, 2005. Bandung: Pustaka
Bani Quraisy.
Nurul Huda & M.
Heykal, 2010. Lembaga keuangan Islam,
Jakarta: Kencana.
Soemitra,Andri, 2010. Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta:
Kencana.
Sula, Muhammad
Syakir, 2004. Asuransi Syariah Konsep dan
Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani Press.
Sabiq,
Sayid, 1995. Fiqh al-Sunnah,
Baerut-Lebanon: Dar al-Fath, Juz III.
http://myallisya.com/2015/05/01/hukum-asuransi-syariah-tanggapan-terhadap-pendapat-yang-mengharamkan.
diakses pada tanggal 19 Oktober 2016, hari Rabu pukul 21:35 WIB.
[7] Muhammad
Syakir Sula, Asuransi Syariah Konsep dan
Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm.97.
[9] http://myallisya.com/2015/05/01/hukum-asuransi-syariah-tanggapan-terhadap-pendapat-yang-mengharamkan.
diakses pada tanggal 19 Oktober 2016, hari Rabu pukul 21:35 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar