GADAI DALAM JUAL BELI
Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu:
Dr. Faqiuddin Abdul, Kodir, Lc.MA
Disusun
Oleh:
Enung
Nur ’ aeni (1413221007)
Fakultas Syariah/Ekonomi Islam Jurusan Muamalah 1
Semester VII
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
Tahun 2015-2016
Jln.Perjuangan by pass Sunyaragi Cirebon
GADAI DALAM JUAL BELI
ABSTRAK
Abstrak: Gadai dalam jual Beli, Hadirnya pegadaian di Indonesia sebagai lembaga keuangan formal
yang bergerak menyalurkan pembiayaan dalam bentuk meminjamkan uang kepada orang
yang membutuhkan sesuai hukum yang ada. Dalam
kegiatan sehari-hari, uang selalu saja dibutuhkan untuk membeli atau membayar
berbagai keperluan. Dan yang menjadi masalah terkadang kebutuhan yang ingin
dibeli tidak dapat dicukupi dengan uang yang dimilikinya. Kalau sudah demikian
maka mau tidak mau kita mengurangi untuk membeli berbagai keperluan yang
dianggap tidak penting, namun untuk keperluan yang sangat penting terpaksa
harus dipenuhi dengan berbagai cara seperti meminjam dari berbagai sumber dana
yang ada. Bagi mereka yang memiliki
barang-barang berharga kesulitan dana dapat segera dipenuhi dengan cara menjual
barang berharga tersebut, sehingga sejumlah uang yang diinginkan dapat
terpenuhi. Namun resikonya barang yang telah dijual akan hilang dan sulit untuk
kembali. Untuk mengatasi kesulitan di atas dimana kebutuhan dana dapat dipenuhi
tanpa kehilangan barang-barang berharga, maka masyarakat dapat menjaminkan
barang-barangnya ke lembaga tertentu, yakni lembaga pegadaian.
A. Latar Belakang
Secara
garis besar gadai dalam bahasa
arab disebut dengan rahn yang berarti suatu barang atau benda yang mempunyai
nilai harta yang dijaminkan oleh pihak peminjam sebagai jaminan hutang.
Gadai (Rahn) menurut bahasa berarti ats-tsubut dan al-habs yaitu
penetapan dan penahanan. Sedangkan menurut istilah, rahn yaitu
menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan
hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu maka sebagian atau
bahkan seluruh hutang dapat dilunasi.[1]
Gadai adalah
perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan
utang.
Sehingga dapat
disimpulkan gadai adalah menjadikan suatu benda itu berharga sebagai jaminan
sebagai tanggungan utang berdasarkan perjanjian (akad) antara orang yang
memiliki hutang dengan pihak yang memberi hutang.
Bagi orang yang
memegang jaminan itu untuk menikmati keuntungan dari jaminan yang dipegangnya
itu dengan cara apapun justru menjadi haram, karena hak pemegang jaminan itu
adalah memiliki, bukan menggunakannya. Karena ia sendiri tidak boleh
menggunakannya, sehingga ia tidak berkuasa untuk memperbolehkan orang lain
menggunakannya (meminjamkan ataupun menyewakannya).[2] Menurut
beberapa ulama berpendapat bahwa :
روه البخارى والمسلم
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang
Yahudi dengan menggadaikan (menjaminkan) baju besi Beliau” (HR. Bukhori dan Muslim).
Para ulama’ sepakat bahwa
gadai diperbolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja,
jika kedua pihak tidak salingmempercayai.“Akan tetap, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
hendakalah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya). surat
Al-Baqarah ayat 283.[3]
Keanekaragaman corak budaya Indonesia merupakan aset yang besar dalam rangka
membangun konsepsi hukum yang berkembang mengikuti masyarakat dan menjadikan
hukum sebagai sarana pembaharu masyarakat dengan mengfungsikan hukum sebagai
pengatur masyarakat.
Hal inilah yang menjadikan hukum adat
sebagai sumber penting dalam memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum
nasional kita yang merefleksikan unsur-unsur dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Salah satu contoh kesehariannya di dalam
kehidupan masyarakat kita untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga merupakan
hal yang sangat penting dan merupakan hal yang wajib diberikan sebagai bentuk
tanggungjawab kepala keluarga. Tetapi hal ini tidak semudah yang dibayangkan
untuk mencari kebutuhan ekonomi kadang menemui beragam kendala yang akhirnya
terbersit untuk menggadaikan tanah yang mereka miliki seperti tanah garapan
atau pertanian kepada orang lain dengan pembayaran sejumlah uang sebagai gantinya,
ini adalah bentuk suatu kesederhanaan, kepraktisan, ekonomis dan bentuk
kekeluargaan tanpa adanya aturan-aturan formal yang mempersulit mereka yang
belum mengenal arti akan hukum positif kita.[4]
Berdasarkan hal tersebut diatas penulis
merasa tertarik untuk mengangkat permasalahan ini kedalam pembahasan yang akan diangkat Jaminan
Kepastian Dan Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Gadai Tanah Menurut Hukum
Adat.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana
perjanjian gadai tanah terhadap masyarakat yang menggunakan hukum adat sebagai
bentuk perjanjian diantara mereka ?
2. Upaya
apakah yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan jika terjadi
perselisihan atau konflik tentang waktu penebusan dalam perjanjian gadai tanah
?
C. Gagasan yang ingin
disampaikan
Menyampaikan pemahaman tentang perjanjian gadai tanah
menurut hukum adat, dan menyelesaikan permasalahan jika terjadi perselihin atau
konflik tentang waktu penebusan dalam perjanjian gadai tanah.
D. Argumentasi-argumentasi
Transaksi gadai tanah adalah salah satu
transaksi tanah yang bersumber dari hukum adat yang sampai sekarang masih tetap
hidup di berbagai lingkungan hukum adat di Indonesia.
Karena pembentuk undang-undang beranggapan bahwa gadai tanah mengandung unsur
pemerasan, maka dikeluarkanlah aturan Pasal 7 IJU No. 56/Prp/1960 yang
bertujuan untuk menghapus transaksi gadai tanah yang berdasarkan hukum adat
Indonesia, namun lembaga peradilan di dalam penerapannya masih tidak konsisten
sehingga menimbulkan adanya dualisme, yaitu gadai tanah berdasarkan hukum
agraria nasional dan hukum adat.
Karena batasan antara keduanya tidak
jelas maka menimbulkan ketidakpastian perlindungan hukum dan hubungan hukum
yang tarik menarik diantara keduanya. Oleh
karena itu kiranya perlu dikaji tentang pengaruh peraturan gadai tanah terhadap
pelaksanaan gadai tanah dalam hukum adat.
Lembaga gadai tanah ternyata masih
dipakai oleh sebagian masyarakat dan sebagai dasar hukum sekaligus menjadi
bukti bahwa hukum adat masih diakui keberadaannya dalam tata hukum Indonesia yang dapat dilihat dalam
ketentuan-ketentuan yakni sebagai berikut :
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Pasal II Aturan
Peralihan, yang mennyebutkan :
“
Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Maksud
dari isi Pasal tersebut adalah, tetap diberlakukannya segala peraturan yang
dibuat pada masa penjajahan kolonial Belanda, yaitu IS (Indische
Staatsregeling) terutama Pasal 131 ayat 2 jo Pasal 163, dimana didalamnya
terkandung suatu ketentuan bagi penduduk Indonesia golongan Bumi Putera dan
Timur Asing berlaku hukum adat mereka masing-masing, kecuali sejak tahun 1855, hukum perdata
eropa diberlakukan terhadap golongan Timur Asing selain hukum keluarga dan
hukum waris.[5]
Perubahan dasar hukum perjanjian jual
gadai tanah dari ketentuan jual gadai adat menjadi ketentuan jual gadai yang
diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian merupakan bagian dari upaya perubahan format hukum untuk menuju
masyarakat yang rasional. Perubahan tersebut dilakukan atas dasar Pasal 53 ayat
1 UUPA yang menjelaskan bahwa hak gadai
merupakan hak yang sifatnya sementara dan harus diusahakan hapus dalam
waktu yang singkat. Selain itu juga jual gadai menutut ketentuan adat dalam
prakteknya mengandung unsur eksploitasi, karena hasil yang diterima oleh
pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya umumnya lebih besar
dari pada apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima
pemilik tanah. Dan hal tersebut tentunya bertentangan dengan moral bangsa yang
berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Berdasarkan hukum adat gadai tanah
merupakan cara yang dibenarkan dalam pengalihan hak tanah pusaka sehingga
sampai sekarang masih tetap hidup contohnya di wilayah Minangkabau, namun
sengketa gadai yang lahir akibat adanya ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor
56/Prp/1960 cukup mempengaruhi perkembangannya disamping itu jika terjadi
sengketa, para pihak biasanya mengutamakan musyawarah.
Sehingga persepsi masyarakat mengenai
pelaksanaan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 yang mengatur tentang
gadai tanah dianggap masih bertentangan dengan hukum adat di masyarakat dan
bertentangan dengan rasa keadilan yang telah tumbuh di dalam kehidupan
masyarakat.
Selama hampir setengah abad Pasal 7 UU
Nomor 56 Prp Tahun 1960 memberikan dasar bagi pelaksanaan jual gadai tanah,
pada pelaksanaannya masih belum bisa menampakan keefektifan keberlakuannya.
Beragamnya alasan yang kompleks pada masyarakat Indonesia baik menyangkut ekonomi, adat
istiadat, pengetahuan masyarakat, dan lain sebagainya merupakan faktor yang
menjadi alasan masih digunakannya jual gadai tanah menurut cara adat.
Masyarakat adat yang merupakan salah satu objek dimana pada masyarakat tersebut
masih dilakukannya jual gadai dengan cara adat dalam menjual gadaikan tanah.
E. Pro-Kontra
Salah
satu diantara hal yang sangat rentan dapat menimbulkan permasalahan dan konflik
dalam perjanjian gadai tanah diantara para pihak yang melakukan perjanjian ini
ialah mengenai waktu gadai yang merupakan masa atau lamanya barang gadai berada
di tangan penerima gadai hingga sampai pada saat pemberi gadai dapat menebusnya
kembali.
Waktu gadai tanah merupakan satu bagian
penting dalam perjanjian transaksi gadai, sehingga memerlukan kepastian masa
berakhirnya.
Dalam hukum adat, upaya yang dapat
dilakukan agar tidak terjadi perselisihan para pihak yang melakukan perjanjian,
waktu penebusan gadai tanah tersebut terserah kepada pemberi gadai, akan tetapi
hal ini tidak berarti pemberi gadai bebas mengulur-ulur waktu untuk melakukan
penebusan, sehingga dapat merugikan penerima gadai, kecuali untuk tanah gadai
yang tidak diusahakan. Untuk tanah gadai yang diusahakan harus memperhatikan
hal-hal berikut :
a. Untuk tanah sawah, jika yang
mengerjakan sawah itu penerima gadai, maka pemberi gadai harus menunggu
penyerahan kembali tanah gadai setelah tanaman dipanen, atau “hak ketam”
(memungut hasil tanaman/panen) tetap berada pada pemilik tanaman atau penggarap
tanaman itu, kecuali disepakati kedua belah pihak bahwa pemberi gadai mengganti
kerugian yang diminta penerima gadai/penggarap.
b. Untuk tebat atau tanah perikanan yang
diusahakan pemberi gadai harus memberikan kesempatan bagi penerima
gadai/pengusaha perikanan tersebut untuk menikmati hasil ikan semusim atau
mengambil kembali bibit ikannya demikian pula untuk buah-buahan kesempatan
panen bagu penerima gadai/penggarapnya harus diberikan.
Mengenai
gadai khususnya tanah pertanian yang semula
diatur oleh hukum adat, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Agraria yakni dalam Pasal 53 yang mengamanatkan hak gadai
sebagai hak yang bersifat sementara dan diupayakan hapus dalam waktu yang
singkat.
Untuk menindak lanjutinya maka
dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian dalam Pasal 7, yang menyebutkan mengenai batas waktu penebusan gadai atas tanah pertanian yaitu
sebagai berikut :
1. Barang siapa menguasai tanah
pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah
berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya
dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada
hak untuk menuntut pembayaran uang
tebusan.
2. Mengenai hak gadai yang pada mulai
berlakunya peraturan ini belum berlangsung 7 (tujuh) tahun, maka
pemilik tanahnya berhak untuk meminta kembali setiap waktu setelah
tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang telah
ditentukan dan dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah
berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut
tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai di panen.
Dengan
seringkalinya terjadi hal seperti ini, maka timbullah berbagai masalah di
antara kedua belah pihak dalam pelaksanaan perjanjian gadai tanah. Yang salah
satunya adalah mengenai batas waktu penebusan tanah sebagai objek gadai. Karena
tidak adanya ketentuan yang tertulis dan bersifat pasti mengeni batas waktu
penebusan ini, sehingga pemberi gadai dengan leluasa dapat mengulur-ulur waktu
dilakukannya penebusan yang berakibat kerugian bagi penerima gadai.
Sedangkan
dalam perjanjian gadai adat tanah yang dibuat secara tertulis, biasanya
dituangkan diatas sehelai surat bermaterai ( surat segel ) yang berisi mengenai
objek gadai, waktu gadai dan nilai gadai serta kesepakatan-kesepakatan lainnya
antara kedua belah pihak dengan dibubuhi tanda tangan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dan beberapa orang saksi, hal ini lebih memberikan perlindungan
hukum bagi kedua belah pihak.
Waktu penebusan tanah sebagai objek
gadai yang dimuat didalam surat perjanjian itu, apabila sampai pada
waktu yang telah diperjanjikan maka si pemilik tanah (pemberi gadai) harus
menebus kembali tanah tersebut dari tangan si penerima gadai dengan menyerahkan
sejumlah uang sebagai pembayaran yang telah ditentukan di dalam perjanjian semula
dan pemberi gadai tidak boleh menolak dengan alasan apapun juga.
Waktu
penebusan tanah sebagai objek gadai yang dimuat didalamsurat perjanjian itu, apabila sampai pada
waktu yang telah diperjanjikan maka si pemilik tanah ( pemberi gadai ) harus
menebus kembali tanah tersebut dari tangan si penerima gadai dengan menyerahkan
sejumlah uang sebagai pembayaran yang telah ditentukan di dalam perjanjian
semula dan pemberi gadai tidak boleh menolak dengan alasan apapun juga.
Namun
perjanjian gadai adat tanah yang dibuat dalam bentuk tertulis ini tidak menutup
kemungkinan timbulnya masalah di kemudian hari, karena adakalanya si pemilik
rumah ( pemberi gadai ), sekalipun waktu penebusan tanah yang merupakan objek
gadai telah sampai, pemberi gadai ( pemilik tanah ) belum mampu untuk
menggunakan hak tebusnya terhadap tanah yang telah digadaikan tersebut.
Namun
hal seperti yang telah diuraikan diatas, tidak berlaku dalam perjanjian gadai
tanah dalam hukum adat, karena perjanjian gadai tanah yang dibuat oleh
masyarakat, lahir berdasarkan sistem hukum adat yang dijiwai oleh semangat
kekeluargaan dan tolong menolong di antara sesama manusia. Selain itu waktu
penebusan gadai dalam hukum adat bersifat tidak mengikat dan mutlak.
Jadi
apabila pemilik tanah (pemberi gadai) belum mampu untuk menebus kembali tanah
miliknya yang dijadikan sebagai objek gadai tepat pada waktu yang telah
diperjanjikan, yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut dengan
istilah wanprestasi tadi, maka penerima gadai tidak bisa memaksakan kehendaknya
untuk si pemilik tanah ( pemberi gadai ) segera menggunakan hak tebusnya tanah
tersebut. Penerima gadai juga tidak bisa memberikan hukuman ( sanksi ) seperti
yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut kepada si
pemilik tanah (penerima gadai). Sehingga dengan demikian wanprestasi yang
terjadi dalam perjanjian gadai tanah dalam hukum adat ini tidak mempunyai
sanksi hukum yang memberatkan pemberi gadai ( pemilik tanah ).
Jadi
apabila pada saat pelaksanaan perjanjian gadai tanah terjadi suatu peristiwa,
dimana pemilik tanah ( pemberi gadai ) belum mampu untuk menebus kembali tanah
miliknya yang dijadikan sebagai objek gadai tepat pada waktu yang telah
diperjanjikan, maka upaya penyelesaiannya dapat dilakukan dengan jalan
memperpanjang perjanjian gadai tanah tersebut, dengan ataupun tanpa disertai
tambahan uang pinjaman, hal ini dapat terjadi apabila kedua belah pihak
mengadakan kesepakatan lagi.
Upaya lainnya
adalah dengan menjual tanah yang dijadikan sebagai objek gadai tersebut kepada si
penerima gadai ataupun kepada pihak lainnya.
Dengan
demikian apabila pemilik tanah ( pemberi gadai ) belum mampu menebus kembali
tanah yang merupakan objek gadai sedangkan waktu penebusannya telah lewat, maka
tanah tersebut tidak bisa langsung menjadi milik si penerima gadai secara
otomatis, karena perlu diadakannya suatu transaksi lagi seperti tersebut
diatas. Namun apabila tanah yang menjadi objek gadai dijual oleh pemberi gadai
kepada pihak lain, maka hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk mengembalikan
uang milik penerima gadai, dan kelebihan dari hasil penjualan dikembalikan pada
pemilik kebendaan semula (pemberi gadai).
Selain
itu juga dapat dilihat dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 9 Maret 1960
Nomor 45 K / Sip / 1960, yang menyatakan sebagai berikut :
“ Jual
gadai sawah dengan perjanjian bahwa apabila lewat suatu waktu tertentu tidak
ditebus, sawah itu akan menjadi miliknya si pemegang gadai, tidak berarti bahwa
setelah waktu yang ditetapkan itu lewat tanpa dilakukannya penebusan, sawah itu
dengan sendirinya menjadi milik si pemegang gadai , untuk mendapatkan milik
tanah itu masih diperlukan suatu tindakan hukum lain. “ 18
Dengan
berdasarkan pada kedua putusan Mahkamah Agung diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa dalam hal perjanjian
gadai menurut hukum adat, apabila terdapat suatu ketentuan ( klausula ) dalam
perjanjian mengenai tanah yang tidak ditebus dalam waktu yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak, maka tanah akan menjadi milik penerima gadai. Ketentuan
( klausula ) tersebut harus diartikan, bahwa untuk mendapatkan hak milik atas
tanah tersebut, penerima gadai harus melakukan tindakan hukum lain, yakni
meminta kepada pengadilan supaya berdasarkan perjanjian tersebut ia sebagai
penerima gadai ditetapkan sebagai pemilik. Pengadilan dalam hal mengambil
keputusan harus berdasarkan pada suatu kebijaksanaan, misalnya dengan
memberikan tempo waktu lagi kepada pemberi gadai untuk dapat menebus kembali
tanah miliknya. Namun apabila penebusan tidak dilakukan, maka barulah tanah itu
menjadi milik si penerima gadai dan apabila perlu dengan menambah uang gadai
kepada pemberi gadai.
Dengan
demikian peralihan hak milik dalam hal ini tidaklah terjadi secara serta merta
atau otomatis, akan tetapi perlu dilakukan suatu tindakan lebih lanjut atau
suatu tindakan hukum lain seperti yang disebutkan dalam penjelasan mengenai
keputusan Mahkamah Agung tadi..
Tanah
yang dijadikan sebagai objek gadai dan belum ditebus oleh pemberi gadai pada
waktu yang telah diperjanjikan, tidak serta merta menjadi hak milik penerima
gadai. Untuk dapat menjadi hak milik penerima gadai, maka hal ini harus
dicantumkan sebagai salah satu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian gadai
yang telah disepakati bersama tanpa adanya unsur keterpaksaan. Akan tetapi
meskipun telah dijadikan sebagai suatu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian,
peralihan hak milik ini tetap memerlukan suatu tindakan hukum. Yakni dengan pengajuan
permohonan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan sebagai objek gadai
oleh penerima gadai ke Pengadilan Negeri.
Dan
dalam hal ini karena upaya hukum yang dilakukan oleh penerima gadai dalam
rangka peralihan hak milik ini melalui Pengadilan sifatnya berupa permohonan,
maka tidaklah berarti secara apriori Pengadilan mengabulkannya.
Mengenai
masa tenggang waktu berlangsungnya perjanjian gadai tanah ini juga mengenai
nilai objek gadai serta kesepakatan-kesepakatan lainnya antara kedua belah pihak
hanya dapat dituangkan di dalam sebuah perjanjian yang berbentuk tertulis.
Karena apabila perjanjian gadai tanah hanya dibuat dalam bentuk lisan saja
dengan berdasarkan kepercayaan semata, maka hal ini akan menimbulkan kesulitan
pada saat terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian di kemudian hari.
Pelaksanaan
perjanjian gadai tanah ini biasanya memakan waktu yang cukup lama, dengan tidak
adanya bukti yang tertulis, pemberi gadai ( pemilik rumah ) akan menemukan
kesulitan pada waktu tanah yang menjadi objek gadai akan ditebus kembali,
sedangkan penerima gadai menolaknya dengan alasan, bahwa perjanjian yang mereka
lakukan dahulu adalah perjanjian jual lepas, bukan gadai. Dengan terjadinya
peristiwa seperti ini di dalam masyarakat, barulah mereka menyadari manfaat
perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis.
F.
Penegasan Gagasan dan Argumentasi
Dengan
berdasarkan pada kedua putusan Mahkamah Agung diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa dalam hal perjanjian
gadai menurut hukum adat, apabila terdapat suatu ketentuan ( klausula ) dalam
perjanjian mengenai tanah yang tidak ditebus dalam waktu yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak, maka tanah akan menjadi milik penerima gadai. Ketentuan
( klausula ) tersebut harus diartikan, bahwa untuk mendapatkan hak milik atas
tanah tersebut, penerima gadai harus melakukan tindakan hukum lain, yakni
meminta kepada pengadilan supaya berdasarkan perjanjian tersebut ia sebagai
penerima gadai ditetapkan sebagai pemilik. Pengadilan dalam hal mengambil
keputusan harus berdasarkan pada suatu kebijaksanaan, misalnya dengan
memberikan tempo waktu lagi kepada pemberi gadai untuk dapat menebus kembali
tanah miliknya. Namun apabila penebusan tidak dilakukan, maka barulah tanah itu
menjadi milik si penerima gadai dan apabila perlu dengan menambah uang gadai
kepada pemberi gadai.
Dengan
demikian peralihan hak milik dalam hal ini tidaklah terjadi secara serta merta
atau otomatis, akan tetapi perlu dilakukan suatu tindakan lebih lanjut atau
suatu tindakan hukum lain seperti yang disebutkan dalam penjelasan mengenai
keputusan Mahkamah Agung tadi.
Jadi
dapat dipahami, dengan berdasarkan pada sifat hukum adat yang selalu
mengutamakan asas kekeluargaan dan tolong menolong, tidak dibenarkan apabila
waktu gadai telah berakhir, sedangkan pemilik tanah ( pemberi gadai ) belum
mempunyai cukup uang atau dengan kata lain belum mampu untuk menebus kembali
tanah yang telah digadaikannya, penerima gadai memaksakan kehendaknya agar
pemberi gadai segera menebus tanah miliknya tersebut. Dalam hal ini penerima
gadailah yang seharusnya berinisiatif, apabila ia berada dalam keadaan sangat
membutuhkan uang maka ia dapat melakukan perjanjian gadai yang baru untuk
memenuhi kebutuhannya itu. Jangan sampai pemberi gadai menjual harta benda
miliknya atau bahkan menjual tanah yang dijadikannya sebagai objek gadai
tersebut untuk melunasi harga gadai. Karena hal ini sangat bertentangan dengan
tujuan awal dari dilakukannya perjanjian gadai tersebut.
Tanah
yang dijadikan sebagai objek gadai dan belum ditebus oleh pemberi gadai pada
waktu yang telah diperjanjikan, tidak serta merta menjadi hak milik penerima
gadai. Untuk dapat menjadi hak milik penerima gadai, maka hal ini harus
dicantumkan sebagai salah satu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian gadai
yang telah disepakati bersama tanpa adanya unsur keterpaksaan. Akan tetapi
meskipun telah dijadikan sebagai suatu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian,
peralihan hak milik ini tetap memerlukan suatu tindakan hukum. Yakni dengan
pengajuan permohonan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan sebagai
objek gadai oleh penerima gadai ke Pengadilan Negeri.
G. Penutup
1. Jaminan kepastian hukum suatu
perjanjian gadai tanah yang dilakukan dengan menggunakan hukum adat di
masyarakat yaitu pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 yang mengatur
tentang gadai tanah yang kemudian diharapkan dapat lebih disosialisasikan oleh
berbagai pihak sehingga peraturan ini bisa berlaku efektif, dan untuk menjamin
kepastian hukum perjanjian gadai sehingga ada kesadaran masyarakat kita
perlunya perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis yang diperkuat oleh
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, dalam Pasal 28 ayat (1) yang menyatakan “Hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”
2. Waktu gadai dalam hukum adat
tidak mengenal daluarsa (verjaring), jika waktu gadai telah berakhir,
sedangkan pemberi gadai belum mampu untuk menebus tanah yang dijadikannya
sebagai objek gadai, maka penerima gadai tidak berhak mendesak pemberi gadai.
Penerima gadai dapat mengalihgadaikan tanah tersebut kepada pihak atau
memperpanjang perjanjian gadai atas tanah, atau dengan jalan pemberi gadai
menjual tanah tersebut kepada penerima gadai atau pihak lain dan hasil
penjualannya dipergunakan untuk mengembalikan uang milik penerima gadai dan
sisanya bila ada dikembalikan pada pemberi gadai.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dwi Suwiknyo. 2010. Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
2. Afzalur Rahman.2003. Doktrin
Ekonomi Islam, Jilid IV, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf
3. HR.
Imam Bukhori dan Imam Muslim, “Bab Gadai, 31.6/2330”, dalam http://hadisbukhari.blogspot.com diakses tanggal; 20
september 2016 jam 18:23 WIB
[1] Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 240.
[3]HR.
Imam Bukhori dan Imam Muslim, “Bab Gadai, 31.6/2330”, dalam http://hadisbukhari.blogspot.com diakses
tanggal; 20 september
2016 jam 18:23 WIB.
[4] Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar