Rabu, 14 Desember 2016

Enung Nur'aeni - Gadai Dalam Jual Beli



GADAI DALAM JUAL BELI

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu:
Dr. Faqiuddin Abdul, Kodir, Lc.MA


                               







Disusun Oleh:
Enung  Nur ’ aeni  (1413221007)
         

Fakultas Syariah/Ekonomi Islam Jurusan Muamalah 1 Semester VII
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
Tahun 2015-2016
Jln.Perjuangan by pass Sunyaragi Cirebon


GADAI DALAM JUAL BELI

 ABSTRAK
Abstrak: Gadai dalam jual Beli, Hadirnya pegadaian di Indonesia sebagai lembaga keuangan formal yang bergerak menyalurkan pembiayaan dalam bentuk meminjamkan uang kepada orang yang membutuhkan sesuai hukum yang ada. Dalam kegiatan sehari-hari, uang selalu saja dibutuhkan untuk membeli atau membayar berbagai keperluan. Dan yang menjadi masalah terkadang kebutuhan yang ingin dibeli tidak dapat dicukupi dengan uang yang dimilikinya. Kalau sudah demikian maka mau tidak mau kita mengurangi untuk membeli berbagai keperluan yang dianggap tidak penting, namun untuk keperluan yang sangat penting terpaksa harus dipenuhi dengan berbagai cara seperti meminjam dari berbagai sumber dana yang ada. Bagi mereka yang memiliki barang-barang berharga kesulitan dana dapat segera dipenuhi dengan cara menjual barang berharga tersebut, sehingga sejumlah uang yang diinginkan dapat terpenuhi. Namun resikonya barang yang telah dijual akan hilang dan sulit untuk kembali. Untuk mengatasi kesulitan di atas dimana kebutuhan dana dapat dipenuhi tanpa kehilangan barang-barang berharga, maka masyarakat dapat menjaminkan barang-barangnya ke lembaga tertentu, yakni lembaga pegadaian.

A. Latar Belakang
            Secara garis besar gadai dalam bahasa arab disebut dengan rahn yang berarti suatu barang atau benda yang mempunyai nilai harta yang dijaminkan oleh pihak peminjam sebagai jaminan hutang.
       Gadai (Rahn) menurut bahasa berarti ats-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Sedangkan menurut istilah, rahn yaitu menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu maka sebagian atau bahkan seluruh hutang dapat dilunasi.[1]
       Gadai adalah perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
       Sehingga dapat disimpulkan gadai adalah menjadikan suatu benda itu berharga sebagai jaminan sebagai tanggungan utang berdasarkan perjanjian (akad) antara orang yang memiliki hutang dengan pihak yang memberi hutang.
       Bagi orang yang memegang jaminan itu untuk menikmati keuntungan dari jaminan yang dipegangnya itu dengan cara apapun justru menjadi haram, karena hak pemegang jaminan itu adalah memiliki, bukan menggunakannya. Karena ia sendiri tidak boleh menggunakannya, sehingga ia tidak berkuasa untuk memperbolehkan orang lain menggunakannya (meminjamkan ataupun menyewakannya).[2] Menurut beberapa ulama berpendapat bahwa :

روه البخارى والمسلم
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan menggadaikan (menjaminkan) baju besi Beliau” (HR. Bukhori dan Muslim).
Para ulama’ sepakat bahwa gadai diperbolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja, jika kedua pihak tidak salingmempercayai.“Akan tetap, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendakalah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya). surat Al-Baqarah ayat 283.[3]
Keanekaragaman corak budaya Indonesia merupakan aset yang besar dalam rangka membangun konsepsi hukum yang berkembang mengikuti masyarakat dan menjadikan hukum sebagai sarana pembaharu masyarakat dengan mengfungsikan hukum sebagai pengatur masyarakat.
Hal inilah yang menjadikan hukum adat sebagai sumber penting dalam memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional kita yang merefleksikan unsur-unsur dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Salah satu contoh kesehariannya di dalam kehidupan masyarakat kita untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga merupakan hal yang sangat penting dan merupakan hal yang wajib diberikan sebagai bentuk tanggungjawab kepala keluarga. Tetapi hal ini tidak semudah yang dibayangkan untuk mencari kebutuhan ekonomi kadang menemui beragam kendala yang akhirnya terbersit untuk menggadaikan tanah yang mereka miliki seperti tanah garapan atau pertanian kepada orang lain dengan pembayaran sejumlah uang sebagai gantinya, ini adalah bentuk suatu kesederhanaan, kepraktisan, ekonomis dan bentuk kekeluargaan tanpa adanya aturan-aturan formal yang mempersulit mereka yang belum mengenal arti akan hukum positif kita.[4]
Berdasarkan hal tersebut diatas penulis merasa tertarik untuk mengangkat permasalahan ini kedalam pembahasan yang akan diangkat Jaminan Kepastian Dan Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Gadai Tanah Menurut Hukum Adat.
B. Identifikasi Masalah                                                  
1. Bagaimana perjanjian gadai tanah terhadap masyarakat yang menggunakan hukum adat sebagai bentuk perjanjian diantara mereka ?
2. Upaya apakah yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan jika terjadi perselisihan atau konflik tentang waktu penebusan dalam perjanjian gadai tanah ?
C. Gagasan yang ingin disampaikan
            Menyampaikan pemahaman tentang perjanjian gadai tanah menurut hukum adat, dan menyelesaikan permasalahan jika terjadi perselihin atau konflik tentang waktu penebusan dalam perjanjian gadai tanah.
D. Argumentasi-argumentasi
Transaksi gadai tanah adalah salah satu transaksi tanah yang bersumber dari hukum adat yang sampai sekarang masih tetap hidup di berbagai lingkungan hukum adat di Indonesia. Karena pembentuk undang-undang beranggapan bahwa gadai tanah mengandung unsur pemerasan, maka dikeluarkanlah aturan Pasal 7 IJU No. 56/Prp/1960 yang bertujuan untuk menghapus transaksi gadai tanah yang berdasarkan hukum adat Indonesia, namun lembaga peradilan di dalam penerapannya masih tidak konsisten sehingga menimbulkan adanya dualisme, yaitu gadai tanah berdasarkan hukum agraria nasional dan hukum adat.
Karena batasan antara keduanya tidak jelas maka menimbulkan ketidakpastian perlindungan hukum dan hubungan hukum yang tarik menarik diantara keduanya. Oleh karena itu kiranya perlu dikaji tentang pengaruh peraturan gadai tanah terhadap pelaksanaan gadai tanah dalam hukum adat.
Lembaga gadai tanah ternyata masih dipakai oleh sebagian masyarakat dan sebagai dasar hukum sekaligus menjadi bukti bahwa hukum adat masih diakui keberadaannya dalam tata hukum Indonesia yang dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan yakni sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Pasal II Aturan Peralihan, yang mennyebutkan :
“ Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Maksud dari isi Pasal tersebut adalah, tetap diberlakukannya segala peraturan yang dibuat pada masa penjajahan kolonial Belanda, yaitu IS (Indische Staatsregeling) terutama Pasal 131 ayat 2 jo Pasal 163, dimana didalamnya terkandung suatu ketentuan bagi penduduk Indonesia golongan Bumi Putera dan Timur Asing berlaku hukum adat mereka masing-masing, kecuali sejak tahun 1855, hukum perdata eropa diberlakukan terhadap golongan Timur Asing selain hukum keluarga dan hukum waris.[5]
Perubahan dasar hukum perjanjian jual gadai tanah dari ketentuan jual gadai adat menjadi ketentuan jual gadai yang diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian merupakan bagian dari upaya perubahan format hukum untuk menuju masyarakat yang rasional. Perubahan tersebut dilakukan atas dasar Pasal 53 ayat 1 UUPA yang menjelaskan bahwa hak gadai merupakan hak yang sifatnya sementara dan harus diusahakan hapus dalam waktu yang singkat. Selain itu juga jual gadai menutut ketentuan adat dalam prakteknya mengandung unsur eksploitasi, karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya umumnya lebih besar dari pada apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah. Dan hal tersebut tentunya bertentangan dengan moral bangsa yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Berdasarkan hukum adat gadai tanah merupakan cara yang dibenarkan dalam pengalihan hak tanah pusaka sehingga sampai sekarang masih tetap hidup contohnya di wilayah Minangkabau, namun sengketa gadai yang lahir akibat adanya ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 cukup mempengaruhi perkembangannya disamping itu jika terjadi sengketa, para pihak biasanya mengutamakan musyawarah.
Sehingga persepsi masyarakat mengenai pelaksanaan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 yang mengatur tentang gadai tanah dianggap masih bertentangan dengan hukum adat di masyarakat dan bertentangan dengan rasa keadilan yang telah tumbuh di dalam kehidupan masyarakat.
Selama hampir setengah abad Pasal 7 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 memberikan dasar bagi pelaksanaan jual gadai tanah, pada pelaksanaannya masih belum bisa menampakan keefektifan keberlakuannya. Beragamnya alasan yang kompleks pada masyarakat Indonesia baik menyangkut ekonomi, adat istiadat, pengetahuan masyarakat, dan lain sebagainya merupakan faktor yang menjadi alasan masih digunakannya jual gadai tanah menurut cara adat. Masyarakat adat yang merupakan salah satu objek dimana pada masyarakat tersebut masih dilakukannya jual gadai dengan cara adat dalam menjual gadaikan tanah.
E. Pro-Kontra
Salah satu diantara hal yang sangat rentan dapat menimbulkan permasalahan dan konflik dalam perjanjian gadai tanah diantara para pihak yang melakukan perjanjian ini ialah mengenai waktu gadai yang merupakan masa atau lamanya barang gadai berada di tangan penerima gadai hingga sampai pada saat pemberi gadai dapat menebusnya kembali.
Waktu gadai tanah merupakan satu bagian penting dalam perjanjian transaksi gadai, sehingga memerlukan kepastian masa berakhirnya.
Dalam hukum adat, upaya yang dapat dilakukan agar tidak terjadi perselisihan para pihak yang melakukan perjanjian, waktu penebusan gadai tanah tersebut terserah kepada pemberi gadai, akan tetapi hal ini tidak berarti pemberi gadai bebas mengulur-ulur waktu untuk melakukan penebusan, sehingga dapat merugikan penerima gadai, kecuali untuk tanah gadai yang tidak diusahakan. Untuk tanah gadai yang diusahakan harus memperhatikan hal-hal berikut :
a. Untuk tanah sawah, jika yang mengerjakan sawah itu penerima gadai, maka pemberi gadai harus menunggu penyerahan kembali tanah gadai setelah tanaman dipanen, atau “hak ketam” (memungut hasil tanaman/panen) tetap berada pada pemilik tanaman atau penggarap tanaman itu, kecuali disepakati kedua belah pihak bahwa pemberi gadai mengganti kerugian yang diminta penerima gadai/penggarap.
b. Untuk tebat atau tanah perikanan yang diusahakan pemberi gadai harus memberikan kesempatan bagi penerima gadai/pengusaha perikanan tersebut untuk menikmati hasil ikan semusim atau mengambil kembali bibit ikannya demikian pula untuk buah-buahan kesempatan panen bagu penerima gadai/penggarapnya harus diberikan.
Mengenai gadai khususnya tanah pertanian yang semula diatur oleh hukum adat, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yakni dalam Pasal 53 yang mengamanatkan hak gadai sebagai hak yang bersifat sementara dan diupayakan hapus dalam waktu yang singkat.
Untuk menindak lanjutinya maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dalam Pasal 7, yang menyebutkan mengenai batas waktu penebusan gadai atas tanah pertanian yaitu sebagai berikut :
1. Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
2. Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung 7 (tujuh) tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk meminta kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang telah ditentukan dan dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai di panen.
Dengan seringkalinya terjadi hal seperti ini, maka timbullah berbagai masalah di antara kedua belah pihak dalam pelaksanaan perjanjian gadai tanah. Yang salah satunya adalah mengenai batas waktu penebusan tanah sebagai objek gadai. Karena tidak adanya ketentuan yang tertulis dan bersifat pasti mengeni batas waktu penebusan ini, sehingga pemberi gadai dengan leluasa dapat mengulur-ulur waktu dilakukannya penebusan yang berakibat kerugian bagi penerima gadai.
Sedangkan dalam perjanjian gadai adat tanah yang dibuat secara tertulis, biasanya dituangkan diatas sehelai surat bermaterai ( surat segel ) yang berisi mengenai objek gadai, waktu gadai dan nilai gadai serta kesepakatan-kesepakatan lainnya antara kedua belah pihak dengan dibubuhi tanda tangan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan beberapa orang saksi, hal ini lebih memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. 
Waktu penebusan tanah sebagai objek gadai yang dimuat didalam surat perjanjian itu, apabila sampai pada waktu yang telah diperjanjikan maka si pemilik tanah (pemberi gadai) harus menebus kembali tanah tersebut dari tangan si penerima gadai dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai pembayaran yang telah ditentukan di dalam perjanjian semula dan pemberi gadai tidak boleh menolak dengan alasan apapun juga.
Waktu penebusan tanah sebagai objek gadai yang dimuat didalamsurat perjanjian itu, apabila sampai pada waktu yang telah diperjanjikan maka si pemilik tanah ( pemberi gadai ) harus menebus kembali tanah tersebut dari tangan si penerima gadai dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai pembayaran yang telah ditentukan di dalam perjanjian semula dan pemberi gadai tidak boleh menolak dengan alasan apapun juga.
Namun perjanjian gadai adat tanah yang dibuat dalam bentuk tertulis ini tidak menutup kemungkinan timbulnya masalah di kemudian hari, karena adakalanya si pemilik rumah ( pemberi gadai ), sekalipun waktu penebusan tanah yang merupakan objek gadai telah sampai, pemberi gadai ( pemilik tanah ) belum mampu untuk menggunakan hak tebusnya terhadap tanah yang telah digadaikan tersebut.
Namun hal seperti yang telah diuraikan diatas, tidak berlaku dalam perjanjian gadai tanah dalam hukum adat, karena perjanjian gadai tanah yang dibuat oleh masyarakat, lahir berdasarkan sistem hukum adat yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan dan tolong menolong di antara sesama manusia. Selain itu waktu penebusan gadai dalam hukum adat bersifat tidak mengikat dan mutlak.
Jadi apabila pemilik tanah (pemberi gadai) belum mampu untuk menebus kembali tanah miliknya yang dijadikan sebagai objek gadai tepat pada waktu yang telah diperjanjikan, yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut dengan istilah wanprestasi tadi, maka penerima gadai tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk si pemilik tanah ( pemberi gadai ) segera menggunakan hak tebusnya tanah tersebut. Penerima gadai juga tidak bisa memberikan hukuman ( sanksi ) seperti yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut kepada si pemilik tanah (penerima gadai). Sehingga dengan demikian wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian gadai tanah dalam hukum adat ini tidak mempunyai sanksi hukum yang memberatkan pemberi gadai ( pemilik tanah ).
Jadi apabila pada saat pelaksanaan perjanjian gadai tanah terjadi suatu peristiwa, dimana pemilik tanah ( pemberi gadai ) belum mampu untuk menebus kembali tanah miliknya yang dijadikan sebagai objek gadai tepat pada waktu yang telah diperjanjikan, maka upaya penyelesaiannya dapat dilakukan dengan jalan memperpanjang perjanjian gadai tanah tersebut, dengan ataupun tanpa disertai tambahan uang pinjaman, hal ini dapat terjadi apabila kedua belah pihak mengadakan kesepakatan lagi.
Upaya lainnya adalah dengan menjual tanah yang dijadikan sebagai objek gadai tersebut kepada si penerima gadai ataupun kepada pihak lainnya.
Dengan demikian apabila pemilik tanah ( pemberi gadai ) belum mampu menebus kembali tanah yang merupakan objek gadai sedangkan waktu penebusannya telah lewat, maka tanah tersebut tidak bisa langsung menjadi milik si penerima gadai secara otomatis, karena perlu diadakannya suatu transaksi lagi seperti tersebut diatas. Namun apabila tanah yang menjadi objek gadai dijual oleh pemberi gadai kepada pihak lain, maka hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk mengembalikan uang milik penerima gadai, dan kelebihan dari hasil penjualan dikembalikan pada pemilik kebendaan semula (pemberi gadai). 
Selain itu juga dapat dilihat dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 9 Maret 1960 Nomor 45 K / Sip / 1960, yang menyatakan sebagai berikut :
Jual gadai sawah dengan perjanjian bahwa apabila lewat suatu waktu tertentu tidak ditebus, sawah itu akan menjadi miliknya si pemegang gadai, tidak berarti bahwa setelah waktu yang ditetapkan itu lewat tanpa dilakukannya penebusan, sawah itu dengan sendirinya menjadi milik si pemegang gadai , untuk mendapatkan milik tanah itu masih diperlukan suatu tindakan hukum lain. “ 18
Dengan berdasarkan pada kedua putusan Mahkamah Agung diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa dalam hal perjanjian gadai menurut hukum adat, apabila terdapat suatu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian mengenai tanah yang tidak ditebus dalam waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka tanah akan menjadi milik penerima gadai. Ketentuan ( klausula ) tersebut harus diartikan, bahwa untuk mendapatkan hak milik atas tanah tersebut, penerima gadai harus melakukan tindakan hukum lain, yakni meminta kepada pengadilan supaya berdasarkan perjanjian tersebut ia sebagai penerima gadai ditetapkan sebagai pemilik. Pengadilan dalam hal mengambil keputusan harus berdasarkan pada suatu kebijaksanaan, misalnya dengan memberikan tempo waktu lagi kepada pemberi gadai untuk dapat menebus kembali tanah miliknya. Namun apabila penebusan tidak dilakukan, maka barulah tanah itu menjadi milik si penerima gadai dan apabila perlu dengan menambah uang gadai kepada pemberi gadai.
Dengan demikian peralihan hak milik dalam hal ini tidaklah terjadi secara serta merta atau otomatis, akan tetapi perlu dilakukan suatu tindakan lebih lanjut atau suatu tindakan hukum lain seperti yang disebutkan dalam penjelasan mengenai keputusan Mahkamah Agung tadi..
Tanah yang dijadikan sebagai objek gadai dan belum ditebus oleh pemberi gadai pada waktu yang telah diperjanjikan, tidak serta merta menjadi hak milik penerima gadai. Untuk dapat menjadi hak milik penerima gadai, maka hal ini harus dicantumkan sebagai salah satu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian gadai yang telah disepakati bersama tanpa adanya unsur keterpaksaan. Akan tetapi meskipun telah dijadikan sebagai suatu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian, peralihan hak milik ini tetap memerlukan suatu tindakan hukum. Yakni dengan pengajuan permohonan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan sebagai objek gadai oleh penerima gadai ke Pengadilan Negeri.
Dan dalam hal ini karena upaya hukum yang dilakukan oleh penerima gadai dalam rangka peralihan hak milik ini melalui Pengadilan sifatnya berupa permohonan, maka tidaklah berarti secara apriori Pengadilan mengabulkannya.
Mengenai masa tenggang waktu berlangsungnya perjanjian gadai tanah ini juga mengenai nilai objek gadai serta kesepakatan-kesepakatan lainnya antara kedua belah pihak hanya dapat dituangkan di dalam sebuah perjanjian yang berbentuk tertulis. Karena apabila perjanjian gadai tanah hanya dibuat dalam bentuk lisan saja dengan berdasarkan kepercayaan semata, maka hal ini akan menimbulkan kesulitan pada saat terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian di kemudian hari.
Pelaksanaan perjanjian gadai tanah ini biasanya memakan waktu yang cukup lama, dengan tidak adanya bukti yang tertulis, pemberi gadai ( pemilik rumah ) akan menemukan kesulitan pada waktu tanah yang menjadi objek gadai akan ditebus kembali, sedangkan penerima gadai menolaknya dengan alasan, bahwa perjanjian yang mereka lakukan dahulu adalah perjanjian jual lepas, bukan gadai. Dengan terjadinya peristiwa seperti ini di dalam masyarakat, barulah mereka menyadari manfaat perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis.
F. Penegasan Gagasan dan Argumentasi
Dengan berdasarkan pada kedua putusan Mahkamah Agung diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa dalam hal perjanjian gadai menurut hukum adat, apabila terdapat suatu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian mengenai tanah yang tidak ditebus dalam waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka tanah akan menjadi milik penerima gadai. Ketentuan ( klausula ) tersebut harus diartikan, bahwa untuk mendapatkan hak milik atas tanah tersebut, penerima gadai harus melakukan tindakan hukum lain, yakni meminta kepada pengadilan supaya berdasarkan perjanjian tersebut ia sebagai penerima gadai ditetapkan sebagai pemilik. Pengadilan dalam hal mengambil keputusan harus berdasarkan pada suatu kebijaksanaan, misalnya dengan memberikan tempo waktu lagi kepada pemberi gadai untuk dapat menebus kembali tanah miliknya. Namun apabila penebusan tidak dilakukan, maka barulah tanah itu menjadi milik si penerima gadai dan apabila perlu dengan menambah uang gadai kepada pemberi gadai.
Dengan demikian peralihan hak milik dalam hal ini tidaklah terjadi secara serta merta atau otomatis, akan tetapi perlu dilakukan suatu tindakan lebih lanjut atau suatu tindakan hukum lain seperti yang disebutkan dalam penjelasan mengenai keputusan Mahkamah Agung tadi.
Jadi dapat dipahami, dengan berdasarkan pada sifat hukum adat yang selalu mengutamakan asas kekeluargaan dan tolong menolong, tidak dibenarkan apabila waktu gadai telah berakhir, sedangkan pemilik tanah ( pemberi gadai ) belum mempunyai cukup uang atau dengan kata lain belum mampu untuk menebus kembali tanah yang telah digadaikannya, penerima gadai memaksakan kehendaknya agar pemberi gadai segera menebus tanah miliknya tersebut. Dalam hal ini penerima gadailah yang seharusnya berinisiatif, apabila ia berada dalam keadaan sangat membutuhkan uang maka ia dapat melakukan perjanjian gadai yang baru untuk memenuhi kebutuhannya itu. Jangan sampai pemberi gadai menjual harta benda miliknya atau bahkan menjual tanah yang dijadikannya sebagai objek gadai tersebut untuk melunasi harga gadai. Karena hal ini sangat bertentangan dengan tujuan awal dari dilakukannya perjanjian gadai tersebut.
Tanah yang dijadikan sebagai objek gadai dan belum ditebus oleh pemberi gadai pada waktu yang telah diperjanjikan, tidak serta merta menjadi hak milik penerima gadai. Untuk dapat menjadi hak milik penerima gadai, maka hal ini harus dicantumkan sebagai salah satu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian gadai yang telah disepakati bersama tanpa adanya unsur keterpaksaan. Akan tetapi meskipun telah dijadikan sebagai suatu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian, peralihan hak milik ini tetap memerlukan suatu tindakan hukum. Yakni dengan pengajuan permohonan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan sebagai objek gadai oleh penerima gadai ke Pengadilan Negeri.



G. Penutup
      1. Jaminan kepastian hukum suatu perjanjian gadai tanah yang dilakukan dengan menggunakan hukum adat di masyarakat yaitu pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 yang mengatur tentang gadai tanah yang kemudian diharapkan dapat lebih disosialisasikan oleh berbagai pihak sehingga peraturan ini bisa berlaku efektif, dan untuk menjamin kepastian hukum perjanjian gadai sehingga ada kesadaran masyarakat kita perlunya perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis yang diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 28 ayat (1) yang menyatakan “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”
      2. Waktu gadai dalam hukum adat tidak mengenal daluarsa (verjaring), jika waktu gadai telah berakhir, sedangkan pemberi gadai belum mampu untuk menebus tanah yang dijadikannya sebagai objek gadai, maka penerima gadai tidak berhak mendesak pemberi gadai. Penerima gadai dapat mengalihgadaikan tanah tersebut kepada pihak atau memperpanjang perjanjian gadai atas tanah, atau dengan jalan pemberi gadai menjual tanah tersebut kepada penerima gadai atau pihak lain dan hasil penjualannya dipergunakan untuk mengembalikan uang milik penerima gadai dan sisanya bila ada dikembalikan pada pemberi gadai.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dwi Suwiknyo. 2010.  Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
2. Afzalur Rahman.2003.  Doktrin Ekonomi Islam, Jilid IV, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf
3. HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim, “Bab Gadai, 31.6/2330”, dalam http://hadisbukhari.blogspot.com diakses tanggal; 20 september 2016  jam 18:23 WIB


[1] Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 240.
[2] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid IV, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2003, hal. 197.
[3]HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim, “Bab Gadai, 31.6/2330”, dalam http://hadisbukhari.blogspot.com diakses tanggal; 20 september 2016  jam 18:23 WIB.
[4] Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 37.

[5] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid IV, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2003, hal. 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar