SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
Makalah ini Disusun dan Diajukan untuk memenuhi
Tugas Terstruktur Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu :
Dr. Faqiuddin Abdul Kodir,
Lc. MA
Disusun oleh:
Nila Afifah (1413223077)
Fakultas Syariah / Muamalah 1 / Semester VII
KEMENTRIAN
AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI CIREBON
Tahun
2016
SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
Abstrak : Sistem Pemungutan Pajak. Kebijakan fiskal dalam pemerintahan islam, telah dikenal
sejak zaman Rasulullah SAW. Pada masa itu Baitul Mal sebagai lembaga
pengelolaan keuangan Negara. Salah satu kebijakan fiskal yang
memiliki pengaruh penting dalam negara sebagai sumber penerimaan untuk
kepentingan bangsa ialah pajak. Mengenai hal tersebut di dalam studi ini
bermaksud untuk menggali pandangan ulama fikih terhadap sistem pemungutan pajak
dan bagaimana upaya penarikan pajak itu dalam negara. Menurut fikih Islam,
sistem pemungutan pajak ada yang membolehkan karena pajak merupakan sumber
pendapatan negara, namun ada juga yang mengharamkan pajak tersebut. Karena
ketentuan-ketentuan syar’i, baik yang tertuang di dalam Alqur’an maupun Hadits
Nabi SAW, yang mengatur pajak secara langsung memang tidak ada, yang ada adalah
atsar para sahabat yang berbentuk praktek penyelenggaraan Negara yang dilakukan
oleh Khulafaur Rasyidin, sejak Khalifah Umar bin Khattab. Prinsip ajaran Islam pada dasarnya memecahkan semua masalah
kehidupan yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia.
Sebagai langkah preventiv di jaman sekarang yang mewajibkan rakyatnya untuk
membayar pajak terkait dengan pemerataan pendapatan, negara menerapkan aturan
wajib pajak tersebut untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat dan Negara.
Kata Kunci: fikih
Islam, pajak, sistem pemungutan pajak
Latar Belakang
Sumber pendapatan utama negara 78%
dari pajak, terutama Pajak Penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di masa kini, pajak merupakan sumber
pemasukan terbesar bagi negara, mengingat semakin bertambahnya pegawai negara,
dan juga bertambahnya kewajiban serta tanggung jawab negara di bidang ekonomi
maupun sosial. Terbukti juga dari fakta menarik tentang alokasi pajak untuk
fakir miskin, peningkatan penerimaan pajak dari tahun ke tahun yang kita
rasakan bersama tidak diikuti oleh penurunan angka kemiskinan, alokasi pajak
untuk mengatasi kemiskinan melalui departemen sosial hanya Rp 16,2 triliun atau
setara 4,1 dari APBN pada tahun 2005. Ternyata 51% penerimaan pajak digunakan
untuk membayar utang Negara.
Dapat ditarik kesimpulan dari fakta
diatas mengenai pajak maka bisa dipastikan semua orang mendefinisikan pajak
sebagai alat kepentingan penguasa. Tetapi mengenai sistem pajak dalam Islam itu
dibolehkan karena adanya kondisi tertentu juga dengan syarat tertentu, seperti
harus adil merata dan tidak membebani rakyat. Jika melanggar ketiganya maka
pajak seharusnya dihapus dan pemerintah mencukupkan diri dari sumber sumber
pendapatan yang jelas. Di antara masalah terpenting yang mendapat perhatian
Islam adalah pembagian kekayaan secara adil di tengah masyarakat. Dalam hal
pembagian kekayaan ini ada keniscayaan untuk menerapkan keadilan, penyusunan
kebijakan dan campur tangan pemerintahan Islam dalam aktivitas ekonomi. Karena
itu, dalam sistem ekonomi Islam selain kepemilikan pribadi ada juga kepemilikan negara dan kepemilikan umum.
Tentunya, apa saja yang dimiliki oleh negara akan dimanfaatkan untuk
kepentingan umum dan pembiayaan pengelolaan negara.
Definisi Pajak
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal
dengan nama Adh-Dharibah, yang artinya adalah: “Pungutan yang ditarik dari
rakyat oleh para penarik pajak.” Para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau
Al-Asysyar. Sedangkan, menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal
menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum.”[1]
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas
jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk
menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di
Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu
direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang
"pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
·
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran
masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan
tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan.
·
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah
iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi
tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk
membiayai public investment.
·
Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel
M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor
swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib
dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa
mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak
menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan
terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara
perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang,
dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Macam-Macam
Pajak
Diantara macam-macam pajak yang
sering kita jumpai ialah :
1. Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhadap tanah dan lahan dan
bangunan yang dimiliki seseorang.
2. Pajak
Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan
seseorang.
3. Pajak Pertambahan
Nilai (PPN)
4. Pajak Barang
dan Jasa
5. Pajak Penjualan
Barang Mewam (PPnBM)
6. Pajak
Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau
badan lain semisalnya.
7. Pajak
Transit/Peron dan sebagainya.
Pajak dalam Islam
Menilik
sejarah, pada masa awal pemerintahan, pendapatan, dan pengeluaran hampir tidak
ada. Rasulullah tidak mendapatkan gaji atau upah sedikitpun dari Negara maupun
masyarakat, kecuali hadiah kecil yang umumnya berupa makanan. Pada masa yang
sama pula tidak ada tentara formal, semua muslim yang mampu boleh menjadi tentara.
Mereka tidak mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan
bagian dari rampasan perang. Rampasan perang tersebut meliputi senjata, kuda,
unta, dan barang-barang bergerak lainnya yang didapatkan dalam perang.
Adapun macam-macam pajak yang pernah
dipraktekkan dalam pemerintahan Islam, juga yang pernah dipraktekkan Rasulullah
SAW, adalah sebagai berikut:[2]
a.
Pajak kepala (al-Jizyah)
Kata jizyah diambil
dari kata jaza’ yang artinya imbalan. Jizyah adalah
pajak kepala yang dibayarkan oleh penduduk dar al-Islam yang bukan
muslim kepada pemerintah Islam. Jizyah ini dimaksudkan
sebagai wujud loyalitas mereka kepada pemerintah Islam dan konsekuensi dari
perlindungan (rasa aman) yang diberikan pemerintah Islam untuk mereka.
b.
Pajak Tanah (Kharaj)
Kharaj secara
sederhana dapat diartikan sebagai pajak tanah. Pajak tanah ini dibebankan atas tanah non-muslim dan dalam hal-hal
tertentu juga dapat dibebankan atas umat Islam. Berbeda dengan jizyah yang
ditetapkan oleh nash, kharaj ditetapkan oleh ijtihad. Oleh
karena itu, penanganan kharaj diserahkan sepenuhnya kepada
ijtihad imam. Kharaj pertama
kali dikenal dalam Islam setelah perang Khaibar, yaitu pada saat Rasulullah SAW
memberikan dispensasi kepada penduduk Yahudi Khaibar untuk tetap memiliki
tanah mereka, dengan syarat mereka membayar sebagian hasil panennya kepada
pemerintah Islam. Dalam sejarah Pemerintahan Islam, kharaj merupakan
sumber keuangan Negara yang dikuasai pemerintah, bukan oleh sekelompok orang.
Adapun kewajiban membayar kharaj hanya sekali satu tahun.
Jumlah kharaj yang
pernah dipraktekkan dalam Pemerintahan Islam beragam, sesuai dengan kondisi
sosial masyarakat yang wajib membayarnya dan tanah pertaniannya. Adapun
menyangkut teknis pengumpulannya kharaj biasanya dilakukan
oleh sebuah tim atau dewan yang diberi wewenang oleh pemerintah dalam
melaksanakan tugasnya.
c.
‘Ushur at-Tijarah
‘Ushur
at-Tijarah adalah pajak perdagangan yang dikenakan kepada
pedagang non-muslim yang melakukan transaksi bisnis di Negara Islam. Pajak
perdagangan ini tetap diberlakukan dalam dunia internasional hingga saat
sekarang. Dalam Negara Islam, kebijakan pemberlakuan pajak perdagangan ini
dimulai pada Pemerintahan ‘Umar ibn Khathab. Ketika wilayah kekuasaan Islam
mengalami perluasan yang pesat, sebagian kaum muslimin melakukan
perdagangan internasional dengan Negara-negara non Muslim. Dalam perdagangan
tersebut, ternyata umat Islam yang melakukan transaksi di Negara non-muslim
dikenakan pajak oleh Pemerintahan yang bersangkutan. Dari hal tersebut,
akhirnya ‘Umar pun memberlakukan pajak perdagangan bagi non-muslim warga negara
asing yang melakukan transaksi bisnis di Negara Islam. Adapun
pemberlakuan pajak ini dimaksudkan untuk menambah devisa Negara dalam rangka
mengelola dan menjalankan roda Pemerintahan.
Seperti halnya jizyah,
kewajiban pajak perdagangan ini juga hanya setahun sekali. Namun berbeda
dengan jizyah, pajak perdagangan masih tetap diberlakukan dalam
masa modern ini yang tentu saja dengan penerapan yang disesuaikan dengan
perkembangan zaman, contohnya dengan memberlakukan bea masuk barang-barang
impor. Bea import adalah aturan siyasah syar’iyah yang diserahkan kepada
kebijaksanaan pemerintah demi kemaslahatan umat.
Mengenai
hukum pajak dalam Islam, Pajak dibolehkan dalam Islam karena adanya kondisi
tertentu dan juga syarat tertentu, seperti harus adil, merata dan tidak
membebani rakyat. Jika melanggar ketiganya maka pajak seharusnya dihapus dan
pemerintah mencukupkan diri dari sumber-sumber pendapatan yang jelas ada
nashnya dan kembali kepada sistem anggaran berimbang (balance budget).[3]
Disini ada dua pandangan yang dapat muncul, seperti pandangan pertama yakni
menyetujui kebolehan dari adanya pajak, sedangkan pandangan kedua yakni yang
memandang bahwa penarikan pajak merupakan suatu tindakan kezhaliman dan hal
tersebut merupakan haram. Pajak ialah suatu hal yang diperbolehkan, pendapat
ini diambil dengan menganggap bahwa pajak ialah sebagai ibadah tambahan setelah
adanya zakat. Pajak ini bahkan bisa jadi menjadi wajib karena sebagai bentuk
ketaatan kepada waliyyul amri, yang disebut amri ini dapat
disebutkan sebagai pemerintah.[4]
Pendapat yang menghalalkan pajak
Jumhur atau
mayoritas ulama berpendapat bahwa pungutan pajak itu halal. Baik ulama mutaqaddimin
(ulama klasik), maupun ulama muta'akhirin (kontemporer).
a.
Ulama Klasik (Mutaqaddimin)
1.
Madzhab Syafi'i
Imam
Ghazali dalam kitab من علم الأصول المستصفى (I/426) menyatakan bahwa memungut uang selain zakat pada
rakyat diperbolehkan apabila diperlukan dan kas di Baitul Mal tidak lagi
mencukupi untuk kebutuhan negara baik untuk perang atau lainnya. Akan tetapi
kalau masih ada dana di Baitul Mal, maka tidak boleh.
2.
Madzhab Hanafi
Muhammad Umaim Al-Barkati dalam kitab قواعد الفقه dan kitabر ردالمحتا حاشيۃ menyebut
pajak dengan naibah (jamak, nawaib). Dia berpendapat bahwa naibah boleh kalau
memang dibutuhkan untuk keperluan umum atau keperluan perang.
3.
Madzhab Maliki
Al Qurtubi dalam kitab الجامع لأحكام القرآن
(II/242) mengatakan bahwa ulama sepakat atas bolehnya menarik pungutan selain
zakat apabila dibutuhkan. Berdasarkan Al Quran وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ
(Al Baqarah 2:177).
4.
Madzhab Hambali
Ulama madzhab Hambali juga membolehkan
pengumpulan pajak yang mereka sebut dengan al-kalf as-sulthaniyah ( الكلف
السلطانية) . Bahkan mereka menganggapnya sebagai jihad dengan harta. Ibnu
Taimiyah dalam الفتاوى menganggap pajak yang diambil dari orang kaya merupakan
jihad harta.
b.
Ulama Kontemporer (Muta'akhirin)
Ulama fiqih
kontemporer yang membolehkan pajak antara lain Rashid Ridha, Mahmud Syaltut,
Abu Zahrah dan Yusuf Qardhawi dengan argumen sebagai berikut:
1.
Rashid Ridha dalam Tafsir Al-Manar (تفسير المنار) V/39
dalam menafsiri Quran surat An-Nisa’ 29 demikian:
ذلك بأن الإسلام يجعل مال كل فرد من
أفراد المتبعين له مالا لأمته كلها، مع احترام الحيازة والملكية، وحفظ حقوقها؛ فهو
يوجب على كل ذي مال كثير حقوقًا معينة لصالح العامة، كما يوجب عليه وعلى صاحب
المال القليل حقوقًا أخرى لذوي الاضطرار من الأمة، ويحث فوق ذلك على البر والإحسان
Arti kesimpulan: ... adanya kewajiban bagi orang kaya
untuk memberikan sebagian hartanya (dalam bentuk zakat) untuk kemaslahatan
umum, dan mereka hendaknya dimotivasi untuk mereka mengeluarkan uang (di luar
zakat) untuk kebaikan.
2.
Yusuf Qardhawi (Qaradawi) dalam kitab Fiqhuz Zakah
(II/1077) menyatakan:
ومن الطبيعي جدًّا أن زيادة عدد السكان تحتاج إلى زيادة في الإنفاق، كل هذا يفتقر إلى مقادير كبيرة من المال، قد تعجز الدولة إيجاده وتوفيره ولا يكون سبيل إلى ذلك إلا بفرض الضرائب؛ وعندها تكون هذه الضرائب نوعًا من الجهاد بالمال، والمسلم مأمور بذلك؛ ليحمي دولته ويقوي أمته ويحمي دينه وماله وعرضه
ومن الطبيعي جدًّا أن زيادة عدد السكان تحتاج إلى زيادة في الإنفاق، كل هذا يفتقر إلى مقادير كبيرة من المال، قد تعجز الدولة إيجاده وتوفيره ولا يكون سبيل إلى ذلك إلا بفرض الضرائب؛ وعندها تكون هذه الضرائب نوعًا من الجهاد بالمال، والمسلم مأمور بذلك؛ ليحمي دولته ويقوي أمته ويحمي دينه وماله وعرضه
Arti kesempulan: Negara terkadang tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan pembangunannya. Dan tidak ada jalan lain selain dengan
mengumpulkan pajak. Dan itu termasuk jihad harta.
3.
Mahmud Syaltut, mufti Al-Azhar Mesir dalam kitab Al-Fatawa
al-Kubra (الفتاوى الكبرى) menyatakan bahwa:
جاز له وقد يجب، أن يضع عليهم من
الضرائب ما يحقق به تلك المصالح دون إرهاق أو إعنات
Artinya: ... boleh bagi hakim memungut pajak dari
orang kaya untuk kemaslahatan dengan tanpa berlebihan.
4.
Muhammad Abu Zahrah membolehkan pajak disamping zakat.
Abu Zahrah lebih jauh menyatakan bahwa kalau pajak tidak terdapat pada era Nabi
itu disebabkan karena pada masa itu solidaritas tolong menolong antar umat
Islam dan semangat berinfak di luar zakat sangatlah tinggi. Dan persaudaraan
yang terjalinantara kaum Anshar dan Muhajirin berhasil mempersempit jarak
sosial dan ekonomi umat pada saat itu. Sehingga tidak diperlukan campur tangan
negara.
Pendapat
yang mengharamkan pajak
Dalam Islam telah dijelaskan
keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus
masalah pajak itu sendiri.
·
Adapun dalil secara umum, firman Allah.
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-Nisa
: 29]
Dalam ayat
diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan
yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk
memakan harta sesamanya
·
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
لاَ يَحِلُّ
مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal
harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya”.
Adapun
dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan
ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda.
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di
neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi
(yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian,
hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin
Sa’id Al-Mishri”.
Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain,
seperti.[5]
عَنْ أَبِيْ الْخَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مَخْلَّدٍ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَرُوَ ُيْفِعِ بْنِ
ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُوْرَ فَقَالَ إِنِّيْ سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ صَاحِبَ
الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ
“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ;
“Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas
penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata :
‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143,
Abu Dawud 2930]
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah
jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka
aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah
Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada
kitab Shahih At-Targhib”.
Hadits-hadits
yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam
kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang
mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita
dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid
bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke
arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah
sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَهْلاً يَا خَالِدُ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ
لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ
بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ
“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada
di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila
penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim
20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221,
Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716]
Imam
Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa
ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak termasuk
sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal
ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali
di akhirat nanti” [Lihat : Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi].
Imam
Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma
(hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :
”Dan
mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan
untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada
pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar
dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang
melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu)
termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik.
Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang
mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang
mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli
dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri
muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh
atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal
tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap
itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua,
kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli
dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja”.
Kalangan ulama yang berpendapat bahwa pajak itu haram
umumnya berdasarkan pada argumen berikut:
a. Bahwa hak
tanggungan satu-satunya terhadap harta adalah zakat. Setelah membayar zakat,
maka bebaslah tanggungannya. Karena itu, tidak boleh bagi penguasa untuk
mengenakan atau membebankan tanggungan yang selain zakat seperti pajak, dan
lain-lain.
b. Islam
menghormati, mengakui dan melindungi kepemilikan pribadi (al-milkiyyah
al-syakhsyiyah). Karena itu, haram mengambil harta seseorang--kecuali
zakat--seperti haramnya darah mereka.
c. Nabi mencela
makis yaitu pemungut cukai/pajak jalanan. Kalangan ini menyamakan pajak
sekarang dengan istilah mukus di era Nabi.
Ulama
kontemporer yang mengharamkan pajak didominasi oleh tokoh ulama Wahabi. Berikut
kutipan pendapat mereka:
الضرائب هي
مكوس ، وهي مما لا يجوز في الإسلام
Artinya:
pajak itu tidak boleh dalam Islam.
وأما الشيء
الذي هو منكر ، كالضريبة
Artinya:
Pajak itu adalah termasuk sesuatu yang munkar.
كل شيء يؤخذ
بلا حق فهو من الضرائب، وهو محرم، ولا يحل للإنسان أن يأخذ مال أخيه بغير حق
Artinya:
Segala harta yang diambil tanpa hak seperti pajak adalah haram. Tidak halal
bagi manusia mengambil harta raudaranya dengan tanpa hak. (Liqa'il Bab
al-Maftuh).
Dasar hukum:
1. Hadits
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
Artinya:
Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. (HR Ibnu Majah)
2. Hadits: لا
يَدْخُلُ الجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Artinya:
Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim) “ ( HR Abu
Daud, hadits ini sahih menurut al-Hakim; dan dhaif menurut AlBani).
3. Hadits: إذا
أديت زكاة مالك؛ فقد قضيت ما عليك
Artinya:
Apabila kamu sudah menunaikan zakat, maka berarti sudah melaksanakan
kewajibanmu (HR Ibnu Hibban).
4. Imam
Adz-Dzahabi dalam Kitab Al-Kabair menganggap pemungut pajak/cukai pelaku dosa
besar.
المكاس من
أكبر أعوان الظلمة، بل هو من الظلمة أنفسهم؛ فإنه يأخذ ما لا يستحق، ويعطيه من لا
يستحق
Artinya: pemungut pajak/cukai
termasuk orang yang sangat dzalim. Karena ia mengambil sesuatu yang bukan
haknya. Dan memberikan pada yang tidak berhak.
Apa itu Mukus dan Makis[6]
Secara
etimologis, mukus bermakna pengurangan atau pendzaliman. Dalam kitab Aunul
Ma'bud, definisi mukus dan makis secara terminologis adalah:
الضريبة التي يأخذها الماكس وهو
العشار -ثم قال- وفي شرح السنة: صاحب المكس هو الذي يأخذ من التجار إذا مروا به
مكسا باسم العشر
Artinya:
Mukus
adalah pajak atau pungutan (uang) yang diambil oleh makis (pemungut mukus atau
kolektor retribusi) dari para pedagang yang lewat.
Menurut Imam Nawawi, mukus hukumnya haram. Berdasar
hadits sahih riwayat Muslim:
والذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر
له
Arti kesimpulan: seorang perempuan pezina yang
betul-betul bertobat itu lebih baik darilpada pemungut mukus.
Apakah
pajak atau pungutan yang umum terjadi saat ini di Indonesia atau di negara lain
termasuk mukus atau tidak? Menurut Yusuf Qardhawi, pajak yang sekarang berlaku
bukan termasuk mukus. Al-Haitsami dalam مجمع الزوائد menyatakan bahwa makis
atau orang yang melakukan mukus adalah:
يُحمل صاحب المكس على الموظف العامل
الذي يجبي الزكاة فيظلم في عمله، ويتعدى على أرباب الأموال فيأخذ منهم ما ليس من
حقه، أو يقل من المال الذي جمعه مما هو حق للفقراء وسائر المستحقين، وقد يدل لذلك
ما جاء عن بعض الرواة من تفسير "العاشر" بالذي يأخذ الصدقة على غير حقها
Artinya:
Pelaku
mukus adalah (a) petugas yang mengumpulkan zakat dan menyelewengkannya yaitu
dengan memungut uang melebihi hak pembayar zakat; atau (b) atau mengurangi uang
yang semestinya jadi hak penerima zakat. (Al-Haitsami, Mu'jamuz Zawa'id,
III/87).
Kesimpulan
Pajak
hukumnya halal menurut pandangan mayoritas (jumhur) ulama. Baik ulama klasik
maupun kontemporer. Adapun yang mengharamkan pajak umumnya didominasi ulama
Wahabi dengan argumen bahwa pajak itu sama dengan mukus yang jelas dicela oleh
Nabi. Namun, menurut jumhur ulama, pajak bukanlah mukus. Dan karena itu, haramnya mukus.
Setiap
muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori
muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan. Memang,
pajak termasuk kezhaliman yang nyata. Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan
pemipimpin tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur/batal, bahkan setiap
muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya
bukan kepada kemaksiatan.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu
‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian
beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin : “Bolehkah melawan/memberontak?”.
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka
masih menjalankan shalat”.
Bahkan
kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta telah dijelaskan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana seharusnya rakyat
menyikapinya. Dalam sebuah hadits yang shahih, setelah berwasiat kepada kaum
muslimin agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu mendengar dan mentaati
pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya (selagi dia
muslim).
Dijelaskan
lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang zahlim yang berhati setan dan
berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang
sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.
اِسْمَعْ وَأطِعْ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ ؤَأَخَذَ
مَالَكَ
“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul
punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847]
Fadhilatusy
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam
masalah ini. Beliau mengatakan : “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek
akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas
kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat,
tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat
terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum
muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar