Rabu, 14 Desember 2016

Nila Afifah - Sistem Pemungutan Pajak

SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
Makalah ini Disusun dan Diajukan untuk memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu :
Dr. Faqiuddin Abdul Kodir, Lc. MA





 



Disusun oleh:
Nila Afifah (1413223077)


Fakultas Syariah / Muamalah 1 / Semester VII

KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
Tahun 2016
SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
Abstrak : Sistem Pemungutan Pajak. Kebijakan fiskal dalam pemerintahan islam, telah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW. Pada masa itu Baitul Mal sebagai lembaga pengelolaan keuangan Negara. Salah satu kebijakan fiskal yang memiliki pengaruh penting dalam negara sebagai sumber penerimaan untuk kepentingan bangsa ialah pajak. Mengenai hal tersebut di dalam studi ini bermaksud untuk menggali pandangan ulama fikih terhadap sistem pemungutan pajak dan bagaimana upaya penarikan pajak itu dalam negara. Menurut fikih Islam, sistem pemungutan pajak ada yang membolehkan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara, namun ada juga yang mengharamkan pajak tersebut. Karena ketentuan-ketentuan syar’i, baik yang tertuang di dalam Alqur’an maupun Hadits Nabi SAW, yang mengatur pajak secara langsung memang tidak ada, yang ada adalah atsar para sahabat yang berbentuk praktek penyelenggaraan Negara yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin, sejak Khalifah Umar bin Khattab. Prinsip ajaran Islam pada dasarnya memecahkan semua masalah kehidupan yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Sebagai langkah preventiv di jaman sekarang yang mewajibkan rakyatnya untuk membayar pajak terkait dengan pemerataan pendapatan, negara menerapkan aturan wajib pajak tersebut untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat dan Negara.
Kata Kunci: fikih Islam, pajak, sistem pemungutan pajak
Latar Belakang
            Sumber pendapatan utama negara 78% dari pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di masa kini, pajak merupakan sumber pemasukan terbesar bagi negara, mengingat semakin bertambahnya pegawai negara, dan juga bertambahnya kewajiban serta tanggung jawab negara di bidang ekonomi maupun sosial. Terbukti juga dari fakta menarik tentang alokasi pajak untuk fakir miskin, peningkatan penerimaan pajak dari tahun ke tahun yang kita rasakan bersama tidak diikuti oleh penurunan angka kemiskinan, alokasi pajak untuk mengatasi kemiskinan melalui departemen sosial hanya Rp 16,2 triliun atau setara 4,1 dari APBN pada tahun 2005. Ternyata 51% penerimaan pajak digunakan untuk membayar utang Negara.
            Dapat ditarik kesimpulan dari fakta diatas mengenai pajak maka bisa dipastikan semua orang mendefinisikan pajak sebagai alat kepentingan penguasa. Tetapi mengenai sistem pajak dalam Islam itu dibolehkan karena adanya kondisi tertentu juga dengan syarat tertentu, seperti harus adil merata dan tidak membebani rakyat. Jika melanggar ketiganya maka pajak seharusnya dihapus dan pemerintah mencukupkan diri dari sumber sumber pendapatan yang jelas. Di antara masalah terpenting yang mendapat perhatian Islam adalah pembagian kekayaan secara adil di tengah masyarakat. Dalam hal pembagian kekayaan ini ada keniscayaan untuk menerapkan keadilan, penyusunan kebijakan dan campur tangan pemerintahan Islam dalam aktivitas ekonomi. Karena itu, dalam sistem ekonomi Islam selain kepemilikan pribadi ada  juga kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Tentunya, apa saja yang dimiliki oleh negara akan dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan pembiayaan pengelolaan negara.
Definisi Pajak
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah, yang artinya adalah: “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.” Para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau Al-Asysyar. Sedangkan, menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum.”[1]
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
·         Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
·         Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
·         Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
            Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Macam-Macam Pajak
Diantara macam-macam pajak yang sering kita jumpai ialah :
1.      Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhadap tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
2.      Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
3.      Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
4.      Pajak Barang dan Jasa
5.      Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
6.      Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
7.      Pajak Transit/Peron dan sebagainya.
Pajak dalam Islam
   Menilik sejarah, pada masa awal pemerintahan, pendapatan, dan pengeluaran hampir tidak ada. Rasulullah tidak mendapatkan gaji atau upah sedikitpun dari Negara maupun masyarakat, kecuali hadiah kecil yang umumnya berupa makanan. Pada masa yang sama pula tidak ada tentara formal, semua muslim yang mampu boleh menjadi tentara. Mereka tidak mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dari rampasan perang. Rampasan perang tersebut meliputi senjata, kuda, unta, dan barang-barang bergerak lainnya yang didapatkan dalam perang.
Adapun macam-macam pajak yang pernah dipraktekkan dalam pemerintahan Islam, juga yang pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, adalah sebagai berikut:[2]
a.       Pajak kepala (al-Jizyah)
         Kata jizyah diambil dari kata  jaza’  yang artinya imbalan. Jizyah adalah pajak kepala yang dibayarkan oleh penduduk dar al-Islam yang bukan muslim kepada pemerintah Islam.  Jizyah ini dimaksudkan sebagai wujud loyalitas mereka kepada pemerintah Islam dan konsekuensi dari perlindungan (rasa aman) yang diberikan pemerintah Islam untuk mereka.
b.       Pajak Tanah (Kharaj)
         Kharaj secara sederhana dapat diartikan sebagai pajak tanah. Pajak tanah ini dibebankan atas tanah non-muslim dan dalam hal-hal tertentu juga dapat dibebankan atas umat Islam. Berbeda dengan jizyah yang ditetapkan oleh nash, kharaj ditetapkan oleh ijtihad. Oleh karena itu, penanganan kharaj diserahkan sepenuhnya kepada ijtihad imam.  Kharaj pertama kali dikenal dalam Islam setelah perang Khaibar, yaitu pada saat Rasulullah SAW memberikan dispensasi  kepada penduduk Yahudi Khaibar untuk tetap memiliki tanah mereka, dengan syarat mereka membayar sebagian hasil panennya kepada pemerintah Islam. Dalam sejarah Pemerintahan Islam, kharaj merupakan sumber keuangan Negara yang dikuasai pemerintah, bukan oleh sekelompok orang. Adapun kewajiban membayar kharaj hanya sekali satu tahun.
         Jumlah kharaj yang pernah dipraktekkan dalam Pemerintahan Islam beragam, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang wajib membayarnya dan tanah pertaniannya. Adapun menyangkut teknis pengumpulannya kharaj biasanya dilakukan oleh sebuah tim atau dewan yang diberi wewenang oleh pemerintah dalam melaksanakan tugasnya.
c.       Ushur at-Tijarah
         ‘Ushur at-Tijarah adalah pajak perdagangan yang dikenakan kepada pedagang non-muslim yang melakukan transaksi bisnis di Negara Islam. Pajak perdagangan ini tetap diberlakukan dalam dunia internasional hingga saat sekarang. Dalam Negara Islam, kebijakan pemberlakuan pajak perdagangan ini dimulai pada Pemerintahan ‘Umar ibn Khathab. Ketika wilayah kekuasaan Islam mengalami perluasan yang  pesat, sebagian kaum muslimin melakukan perdagangan internasional dengan Negara-negara non Muslim. Dalam perdagangan tersebut, ternyata umat Islam yang melakukan transaksi di Negara non-muslim dikenakan pajak oleh Pemerintahan yang bersangkutan. Dari hal tersebut, akhirnya ‘Umar pun memberlakukan pajak perdagangan bagi non-muslim warga negara asing  yang melakukan transaksi bisnis di Negara Islam. Adapun pemberlakuan pajak ini dimaksudkan untuk menambah devisa Negara dalam rangka mengelola dan menjalankan roda Pemerintahan.
         Seperti halnya jizyah, kewajiban pajak perdagangan ini juga hanya setahun sekali. Namun berbeda dengan jizyah, pajak perdagangan masih tetap diberlakukan dalam masa modern ini yang tentu saja dengan penerapan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, contohnya dengan memberlakukan bea masuk barang-barang impor. Bea import adalah aturan siyasah syar’iyah yang diserahkan kepada kebijaksanaan pemerintah demi kemaslahatan umat.
Mengenai hukum pajak dalam Islam, Pajak dibolehkan dalam Islam karena adanya kondisi tertentu dan juga syarat tertentu, seperti harus adil, merata dan tidak membebani rakyat. Jika melanggar ketiganya maka pajak seharusnya dihapus dan pemerintah mencukupkan diri dari sumber-sumber pendapatan yang jelas ada nashnya dan kembali kepada sistem anggaran berimbang (balance budget).[3] Disini ada dua pandangan yang dapat muncul, seperti pandangan pertama yakni menyetujui kebolehan dari adanya pajak, sedangkan pandangan kedua yakni yang memandang bahwa penarikan pajak merupakan suatu tindakan kezhaliman dan hal tersebut merupakan haram. Pajak ialah suatu hal yang diperbolehkan, pendapat ini diambil dengan menganggap bahwa pajak ialah sebagai ibadah tambahan setelah adanya zakat. Pajak ini bahkan bisa jadi menjadi wajib karena sebagai bentuk ketaatan kepada waliyyul amri, yang disebut amri ini dapat disebutkan sebagai pemerintah.[4]
Pendapat yang menghalalkan pajak
            Jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bahwa pungutan pajak itu halal. Baik ulama mutaqaddimin (ulama klasik), maupun ulama muta'akhirin (kontemporer).
a.      Ulama Klasik (Mutaqaddimin)
1.      Madzhab Syafi'i
      Imam Ghazali dalam kitab من علم الأصول المستصفى (I/426) menyatakan bahwa memungut uang selain zakat pada rakyat diperbolehkan apabila diperlukan dan kas di Baitul Mal tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan negara baik untuk perang atau lainnya. Akan tetapi kalau masih ada dana di Baitul Mal, maka tidak boleh.
2.      Madzhab Hanafi
       Muhammad Umaim Al-Barkati dalam kitab قواعد الفقه dan kitabر ردالمحتا حاشيۃ menyebut pajak dengan naibah (jamak, nawaib). Dia berpendapat bahwa naibah boleh kalau memang dibutuhkan untuk keperluan umum atau keperluan perang.
3.      Madzhab Maliki
       Al Qurtubi dalam kitab الجامع لأحكام القرآن (II/242) mengatakan bahwa ulama sepakat atas bolehnya menarik pungutan selain zakat apabila dibutuhkan. Berdasarkan Al Quran وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ (Al Baqarah 2:177).
4.      Madzhab Hambali
       Ulama madzhab Hambali juga membolehkan pengumpulan pajak yang mereka sebut dengan al-kalf as-sulthaniyah ( الكلف السلطانية) . Bahkan mereka menganggapnya sebagai jihad dengan harta. Ibnu Taimiyah dalam الفتاوى menganggap pajak yang diambil dari orang kaya merupakan jihad harta.

b.      Ulama Kontemporer (Muta'akhirin)
Ulama fiqih kontemporer yang membolehkan pajak antara lain Rashid Ridha, Mahmud Syaltut, Abu Zahrah dan Yusuf Qardhawi dengan argumen sebagai berikut:
1.      Rashid Ridha dalam Tafsir Al-Manar (تفسير المنار) V/39 dalam menafsiri Quran surat An-Nisa’ 29 demikian:
ذلك بأن الإسلام يجعل مال كل فرد من أفراد المتبعين له مالا لأمته كلها، مع احترام الحيازة والملكية، وحفظ حقوقها؛ فهو يوجب على كل ذي مال كثير حقوقًا معينة لصالح العامة، كما يوجب عليه وعلى صاحب المال القليل حقوقًا أخرى لذوي الاضطرار من الأمة، ويحث فوق ذلك على البر والإحسان
Arti kesimpulan: ... adanya kewajiban bagi orang kaya untuk memberikan sebagian hartanya (dalam bentuk zakat) untuk kemaslahatan umum, dan mereka hendaknya dimotivasi untuk mereka mengeluarkan uang (di luar zakat) untuk kebaikan.
2.      Yusuf Qardhawi (Qaradawi) dalam kitab Fiqhuz Zakah (II/1077) menyatakan:
ومن الطبيعي جدًّا أن زيادة عدد السكان تحتاج إلى زيادة في الإنفاق، كل هذا يفتقر إلى مقادير كبيرة من المال، قد تعجز الدولة إيجاده وتوفيره ولا يكون سبيل إلى ذلك إلا بفرض الضرائب؛ وعندها تكون هذه الضرائب نوعًا من الجهاد بالمال، والمسلم مأمور بذلك؛ ليحمي دولته ويقوي أمته ويحمي دينه وماله وعرضه
Arti kesempulan: Negara terkadang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pembangunannya. Dan tidak ada jalan lain selain dengan mengumpulkan pajak. Dan itu termasuk jihad harta.
3.      Mahmud Syaltut,  mufti Al-Azhar Mesir dalam kitab Al-Fatawa al-Kubra (الفتاوى الكبرى) menyatakan bahwa:
جاز له وقد يجب، أن يضع عليهم من الضرائب ما يحقق به تلك المصالح دون إرهاق أو إعنات
Artinya: ... boleh bagi hakim memungut pajak dari orang kaya untuk kemaslahatan dengan tanpa berlebihan.
4.      Muhammad Abu Zahrah membolehkan pajak disamping zakat. Abu Zahrah lebih jauh menyatakan bahwa kalau pajak tidak terdapat pada era Nabi itu disebabkan karena pada masa itu solidaritas tolong menolong antar umat Islam dan semangat berinfak di luar zakat sangatlah tinggi. Dan persaudaraan yang terjalinantara kaum Anshar dan Muhajirin berhasil mempersempit jarak sosial dan ekonomi umat pada saat itu. Sehingga tidak diperlukan campur tangan negara.
Pendapat yang mengharamkan pajak
            Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.
·         Adapun dalil secara umum, firman Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
            “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-Nisa : 29]
Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya
·         Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya”.
            Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.
Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.[5]
عَنْ أَبِيْ الْخَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مَخْلَّدٍ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَرُوَ ُيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُوْرَ فَقَالَ إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ
“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib”.
            Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَهْلاً يَا خَالِدُ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ
“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716]
            Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti” [Lihat : Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi].
            Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :
            ”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja”.
Kalangan ulama yang berpendapat bahwa pajak itu haram umumnya berdasarkan pada argumen berikut:
a.       Bahwa hak tanggungan satu-satunya terhadap harta adalah zakat. Setelah membayar zakat, maka bebaslah tanggungannya. Karena itu, tidak boleh bagi penguasa untuk mengenakan atau membebankan tanggungan yang selain zakat seperti pajak, dan lain-lain.
b.      Islam menghormati, mengakui dan melindungi kepemilikan pribadi (al-milkiyyah al-syakhsyiyah). Karena itu, haram mengambil harta seseorang--kecuali zakat--seperti haramnya darah mereka.
c.       Nabi mencela makis yaitu pemungut cukai/pajak jalanan. Kalangan ini menyamakan pajak sekarang dengan istilah mukus di era Nabi.
            Ulama kontemporer yang mengharamkan pajak didominasi oleh tokoh ulama Wahabi. Berikut kutipan pendapat mereka:
1.      Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan dalam Silsilatul Huda wan Nur demikian:
الضرائب هي مكوس ، وهي مما لا يجوز في الإسلام
Artinya: pajak itu tidak boleh dalam Islam.
2.      Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam Majmuatul Fatawa VIII/208 menyatakan:
وأما الشيء الذي هو منكر ، كالضريبة
Artinya: Pajak itu adalah termasuk sesuatu yang munkar.
3.      Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan:
كل شيء يؤخذ بلا حق فهو من الضرائب، وهو محرم، ولا يحل للإنسان أن يأخذ مال أخيه بغير حق
Artinya: Segala harta yang diambil tanpa hak seperti pajak adalah haram. Tidak halal bagi manusia mengambil harta raudaranya dengan tanpa hak. (Liqa'il Bab al-Maftuh).
Dasar hukum:
1.      Hadits لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
Artinya: Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. (HR Ibnu Majah)
2.      Hadits: لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Artinya: Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim) “ ( HR Abu Daud, hadits ini sahih menurut al-Hakim; dan dhaif menurut AlBani).
3.      Hadits: إذا أديت زكاة مالك؛ فقد قضيت ما عليك
Artinya: Apabila kamu sudah menunaikan zakat, maka berarti sudah melaksanakan kewajibanmu (HR Ibnu Hibban).
4.      Imam Adz-Dzahabi dalam Kitab Al-Kabair menganggap pemungut pajak/cukai pelaku dosa besar.
المكاس من أكبر أعوان الظلمة، بل هو من الظلمة أنفسهم؛ فإنه يأخذ ما لا يستحق، ويعطيه من لا يستحق
Artinya: pemungut pajak/cukai termasuk orang yang sangat dzalim. Karena ia mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dan memberikan pada yang tidak berhak.
Apa itu Mukus dan Makis[6]
            Secara etimologis, mukus bermakna pengurangan atau pendzaliman. Dalam kitab Aunul Ma'bud, definisi mukus dan makis secara terminologis adalah:
الضريبة التي يأخذها الماكس وهو العشار -ثم قال- وفي شرح السنة: صاحب المكس هو الذي يأخذ من التجار إذا مروا به مكسا باسم العشر
Artinya:
            Mukus adalah pajak atau pungutan (uang) yang diambil oleh makis (pemungut mukus atau kolektor retribusi) dari para pedagang yang lewat.
Menurut Imam Nawawi, mukus hukumnya haram. Berdasar hadits sahih riwayat Muslim:
والذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له
Arti kesimpulan: seorang perempuan pezina yang betul-betul bertobat itu lebih baik darilpada pemungut mukus.
            Apakah pajak atau pungutan yang umum terjadi saat ini di Indonesia atau di negara lain termasuk mukus atau tidak? Menurut Yusuf Qardhawi, pajak yang sekarang berlaku bukan termasuk mukus. Al-Haitsami dalam مجمع الزوائد menyatakan bahwa makis atau orang yang melakukan mukus adalah:
يُحمل صاحب المكس على الموظف العامل الذي يجبي الزكاة فيظلم في عمله، ويتعدى على أرباب الأموال فيأخذ منهم ما ليس من حقه، أو يقل من المال الذي جمعه مما هو حق للفقراء وسائر المستحقين، وقد يدل لذلك ما جاء عن بعض الرواة من تفسير "العاشر" بالذي يأخذ الصدقة على غير حقها
Artinya:
            Pelaku mukus adalah (a) petugas yang mengumpulkan zakat dan menyelewengkannya yaitu dengan memungut uang melebihi hak pembayar zakat; atau (b) atau mengurangi uang yang semestinya jadi hak penerima zakat. (Al-Haitsami, Mu'jamuz Zawa'id, III/87).
Kesimpulan
            Pajak hukumnya halal menurut pandangan mayoritas (jumhur) ulama. Baik ulama klasik maupun kontemporer. Adapun yang mengharamkan pajak umumnya didominasi ulama Wahabi dengan argumen bahwa pajak itu sama dengan mukus yang jelas dicela oleh Nabi. Namun, menurut jumhur ulama, pajak bukanlah mukus. Dan karena itu, haramnya mukus.
            Setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan. Memang, pajak termasuk kezhaliman yang nyata. Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan pemipimpin tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur/batal, bahkan setiap muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya bukan kepada kemaksiatan.
            Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin : “Bolehkah melawan/memberontak?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan shalat”.
            Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana seharusnya rakyat menyikapinya. Dalam sebuah hadits yang shahih, setelah berwasiat kepada kaum muslimin agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya (selagi dia muslim).
            Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.
اِسْمَعْ وَأطِعْ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ ؤَأَخَذَ مَالَكَ
“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847]
            Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan : “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar