Rabu, 14 Desember 2016

Munifah - Gadai Syari'ah



GADAI SYARIAH
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah: Masail Fiqhyah
Dosen Pengampu: Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, MA



Disusun Oleh:
Munifah

Muamalah 1/ Semester VII

KEMENTRIAN REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARIAH

Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon - Jawa Barat 45132
Telp : (0231) 481264 Faxs : (0231) 489926
2016

GADAI SYARI’AH

Abstrak
Gadai Syari’ah saat ini tengah menjadi primadona bagi masyarakat yang memerlukan dana dengan cepat. Gadai dikenal dengan kata Rahn. Bentuknya adalah menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan yang diberikan oleh berpiutang. Berarti, barang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil kembali dalam jangka waktu tertentu. Aspek yang digunakan dalam Gadai ini adalah Ujroh masih mendefinisikan berdasarkan pinjaman serta biaya administrasi dan juga bergabung Rahn dan Ijarah. Selain ini, penjualan implement Pegadaian Syariah .

A.    Definisi Gadai Syari’ah
Gadai diistilahkan dengan rahn yang secara etimologi mengandung pengertian menggadaikan, merungguhkan.[1] Namun demikian, ada juga pengertian lain dari kata rahn yang menurut istilah bahasa (lughah) berarti tetap, kekal dan jaminan. Dalam definisi lainnya, rahn atau gadai menurut bahasa disebut dengan al-tsubut (الثبوت) dan al-habs (الحبس) yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan rahn adalah terkurung atau terjerat.
Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah:
1.      Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin    diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.
2.      Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang atau untuk mengambil sebagian uang itu.
3.      Akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang.
4.      Sesuatu yang diletakkan pada seseorang yaitu sesuatu barang yang diganti dengan barang yang lain.
5.      Menjadikan zat suatu benda jaminan hutang.
6.      Menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang.
7.      Suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.
8.      Menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.
9.      Dalam Islam, rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa. Rahn hukumnya jaiz (boleh) menurut Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’. Adapun dasar hukum pegadaian syari’ah ini yaitu:
Al-Qur’an :
وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمانته وليتق الله ربه... {البقرة: ۲۸۳}

Artinya:  
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang menghutangkan). Akan tetapi jika sebagian  kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang)iya dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya”. (QS. Al-Baqarah: 283)

Dalam ayat di atas dijelaskan, bahwa apabila sesorang berada dalam keadaan bepergian dan hendak melakukan suatu tindakan bermuamalah ataupun suatu transaksi hutang-piutang, kemudian ia tidak mendapatkan seseorang yang adil dan pandai dalam hal penulisan transaksi hutang, maka hendaklah meminta kepadanya suatu bukti lain sebagai bukti kepercayaan atau penguat, yaitu dengan menyerahkan sesuatu berupa benda atau barang yang berharga sebagai jaminan yang dapat dipegang atau hutang. Hal ini dipandang perlu karena untuk menjaga agar kedua belah pihak yang melakukan perjanjian gadai itu timbul rasa saling mempercayai antara satu sama lainnya, sehingga dalam transaksi gadai tersebut tidak menimbulkan kecurigaan yang kemungkinan akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak yang bersangkutan.
Jaminan yang ada di tangan pihak piutang adalah amanah dan si piutang tidak memiliki hak untuk memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar, melainkan ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang membayar pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh. Orang yang berhutang pada hakikatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga diberikan pinjaman, maka ia harus membayar hutangnya itu tepat pada waktunya, agar orang yang memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya di tempat di mana orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang berhutang sedemikian besarnya sehingga tidak meminta jaminan, maka dalam kondisi seperti ini, pihak yang berhutang harus ingat kembali kepada ketentuan dasar yang diatur dalam hukum Islam dan tidak menzalimi orang lain dengan memakan hartanya secara batil.

Hadits
عن عائشة رضى الله عنها قال: ان رسول الله صلى الله عليه وسلم اشترى من يهودى طعام  ورهنه  درعامن حديد.{رواه  البخارى}

Artinya:
Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau”. (HR. Bukhari)

 Ijma’
Para ulama telah bersepakat bahwa rahn/gadai itu boleh dan mereka tidak pernah mempermasalahkan kebolehannya, demikian pula dengan landasan hukumnya. Di samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.

B. Rukun dan Syarat-syarat Rahn
1. Rukun Rahn
Sebelum melakukan transaksi gadai atau rahn, maka harus diketahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk ke dalam rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn[2] ada empat yaitu:
a.       Shigat (lafal ijab dan qabul).
b.      Orang yang berakad (al-rahin dan al-murtahin).
c.       Harta yang dijadikan agunan (al-marhun).
d.      Hutang (ar-marhun bih).

2. Syarat-syarat Rahn[3]
Menurut jumhur ulama, ada beberapa syarat sahnya akad rahn yaitu berakal, baligh (dewasa), wujudnya marhun yang dipegang sebagai jaminan oleh murtahin. Di samping syarat-syarat sah rahn, juga terdapat syarat-syarat lain dari rahn atau gadai yang harus dipenuhi secara hukum fiqh, di antaranya yaitu:
a.       Cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum diwajibkan kepada orang yang telah baligh dan berakal.
b.      Syarat sighat (lafal), yaitu ucapan/lafal yang dibarengi dengan syarat tertentu. Misalnya, orang yang berhutang mensyaratkan apabila tenggang waktu hutang telah habis dan hutang belum terbayar, maka rahn itu di perpanjang selama satu bulan atau memberi hutang serta mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Untuk sahnya rahn, pihak pemberi hutang harus disaksikan oleh dua orang saksi. Apabila agunan dijual ketika rahn jatuh tempo dan orang yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya, maka syarat tersebut batal.
c.       Syarat marhun bih (hutang) yaitu: pertama, merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang tempat berhutang. Kedua, hutang itu boleh dilunasi dengan agunan dan ketiga, hutang itu jelas dan tertentu.
d.      Beberapa hal yang menjadi syarat marhun (barang yang dijadikan agunan), di antaranya, yaitu: pertama, barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan hutang. Kedua, barang jaminan itu dinilai harta dan boleh dimanfaatkan. Sebagai contoh, khamar tidak boleh dijadikan barang jaminan dan khamar tidak termasuk ke dalam harta bernilai, juga tidak bermanfaat dalam Islam, maka khamar tidak sah bila dijadikan barang jaminan. Ketiga, barang jaminan itu jelas. Keempat, agunan itu milik sah orang yang berhutang. Kelima, barang jaminan itu tidak terkait dengan orang lain. Keenam, barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat dan ketujuh, barang jaminan itu boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya. Apabila barang yang digadaikan itu secara hukum telah berada di tangan pemberi hutang dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam hutang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah yang diberikan, tetapi cukup surat jaminan tanah dan surat-surat rumah yang dipegang oleh pemberi hutang.
Syarat terakhir yang merupakan kesempurnaan rahn yang disebut sebagai qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang). Syarat ini menjadi sangat penting sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 283 yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.
Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi hutang, maka akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, hutang tersebut terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila hutang tidak dapat dilunasi, maka barang jaminan dapat dijual dan uang itu dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan ada kelebihan uang, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya (rahin).
Mengenai al-qabdh juga terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: pertama, al-qabdh harus ada izin dari orang yang menggadaikan (rahin). Kedua, pihak yang melakukan akad rahn cakap bertindak hukum ketika terjadinya al-qabdh. Syarat tersebut sesuai dengan tuntutan surat al-Baqarah ayat 283 sebagaimana telah disebutkan di atas.
Dalam pemahaman mazhab Syafi’i, ketetapan mengenai syarat-syarat sah gadai adalah sebagai berikut:
a)      Syarat luzum (tetap), yaitu syarat serah terima barang gadaian. Jadi bila barang gadaian itu belum diterima oleh penerima gadai, maka bagi pemberi gadai masih berhak menarik kembali perjanjiannya.



b)      Syarat sah gadai yaitu:
1)      Syarat yang berhubungan dengan akad. Hal ini hendaknya jangan dikaitkan dengan syarat yang tidak sesuai dengan akad itu sendiri, karena yang demikian itu akan membatalkan akad gadai.
2)      Syarat yang berhubungan dengan para pihak, misalnya kedua belah pihak sudah cakap dalam bertindak, sampai umur, berakal sehat dan tidak dalam pengampuan.
3)      Syarat yang berhubungan dengan barang gadai adalah:
(a)    Barang gadaian itu haru hak milik sempurna.
(b)   Barang gadaian itu harus benda yang tahan lama.
(c)    Barang gadaian itu harus benda yang suci.
(d)   Barang gadaian itu harus bermanfaat dan bernilai menurut pandangan syara’.
(e)    Syarat yang berhubungan dengan marhun bih yaitu:
4)      Gadai itu harus disebabkan hutang yang pasti.
(a)    Hutangnya sudah tetap seketika atau masa yang akan datang.
(b)   Hutang itu sudah diketahui benda, jumlah dan sifat-sifatnya.
Berdasarkan dari beberapa uraian yang telah disebutkan tentang syarat sahnya gadai, maka dapatlah dipahami bahwa syarat merupakan suatu yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan perjanjian gadai, sehingga perjanjian gadai tersebut sah menurut ketentuan syara’.[4]
C.    Hukum Gadai Syariah
Gadai secara hukumnya dibolehkan asalkan tidak terkandung unsur-unsur ribawi. Bahkan beberapa kali tercatat Rasulullah SAW mengadaikan harta bendanya.
Rasulullah pernah ditanya tentang seseorang menggadaikan kambingnya, bolehkah kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasullullah mengizinkan kita mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan. Biaya pemeliharaan itulah yang kemudian dijadikan dasar ijtihad para pakar keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
Namun pegadaian yang sering kita saksikan di negeri kita ini banyak yang melanggar aturan syariah. Sehingga hukumnya haram. Sebab prakteknya justru sekedar pembungaan uang atau hutang yang nyata-nyata diharamkan di dalam semua agama samawi.
Misalnya seseorang menggadaikan mobilnya dan mendapatkan uang pinjaman sebesar 50 juta. Uang pinjaman ini adalah hutang yang harus dibayarkan pokok dan bunganya. Dan selama pokok pinjaman itu belum dikembalikan, bunganya tetap terus berkembang. Boleh jadi ke depannya jumlah hutangnya sudah membengkak menjadi 100 juta. Beda gadai ini dengan pinjaman uang biasa adalah pada masalah jaminan, di mana dengan digadaikannya mobil itu, pihak yang memberi pinjaman akan lebih mudah mengeluarkan uang pinjaman. Sebab harga mobil itu sudah pasti lebih mahal dari jumlah pinjaman yang diberikan.
Dalam gadai secara syariah, tidak ada pembungaan uang pinjaman, melainkan biaya penitipan barang. Ketika seseorang menggadaikan mobilnya, maka dia berkewajiban untuk membayar biaya penitipan mobil itu. Dan biaya seperti itu wajar terjadi. Bukankah ketika kita memarkir mobil di sebuah mal, kita diwajibkan untuk membayar ongkos parkir untuk tiap jamnya? Maka ketika seseorang menggadaikan mobil, dia pun pada hakikatnya harus membayar biaya penitipan mobil itu. Biaya penitipan itulah yang jadi keuntungan bagi pihak yang memberi pinjaman hutang.
Perbedaan utama antara gadai syariah dengan gadai yang haram adalah dalam hal pengenaan bunga. Pegadaian syariah bebas dari bunga, yang ada adalah biaya penitipan barang. Dalam perkembangannya, gadai yang sesuai syariah ternyata memilki potensi pasar yang besar sehingga di negara–negara dengan mayoritas penduduk muslim, seperti di Timur Tengah dan Malaysia, pegadaian syariah telah berkembang pesat. Bahkan di negeri kita pun sekarang sudah mulai banyak pegadian yang menggunakan sistem syariah, atau dikenal dengan nama Pegadaian Syariah.


D.    Pro dan Kontra dalam Gadai Syariah
Fatwa DSN MUI No 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn, Fatwa DSN MUI No 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas. Fatwa DSN MUI No 68/DSN-MUI/III/2008 tentang rahn tasjily. Akad Dasar Gadai Syariahn
Rahn: Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sebagai jaminan hutang sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut .
Praktik gadai syariah kini telah menggunakan akad  Ijarah : Nasabah  (penggadai) akan memberikan jasa atau fee kepada perusahaan penggadaian , karena nasabah telah menitipkan barangnya  yang dirawat oleh murtahin.  Pada sisi lain, akad gadai telah diperluas praktiknya sebagaimana gambar berikut:

Di Pegadaian Syariah, biasanya platfon utang yang diberikan maksimal 90 persen dari nilai taksiran, dengan jangka waktu utang maksimal 4 bulan. Besarnya biaya simpan Rp 90 untuk setiap kelipatan Rp 10.000 dari nilai taksiran per sepuluh hari. Ini sama dengan 0,9 persen per 10 hari = 2,7 persen per 30 hari = 10,8 persen per 120 hari (4 bulan). Contoh: Jono menggadaikan laptop kepada Pegadaian Syariah, dengan nilai taksiran Rp 1 juta. Plafon utang maksimal sebesar 90 persen (Rp 900.000). Biaya simpan Rp 90 untuk setiap kelipatan Rp 10.000 dari nilai taksiran per 10 hari, sama dengan 10,8 persen dari nilai taksiran untuk 120 hari. Jika jangka waktu utang 4 bulan (120 hari), maka biaya simpannya sebesar =10,8 persen x Rp 1.000.000 = Rp 108.000. Jadi, pada saat jatuh tempo jumlah uang yang harus dibayar Jono sebesar Rp 900.000 + Rp 108.000 = Rp 1.008.000. (Yahya Abdurrahman, Pegadaian Dalam Pandangan Islam, hlm. 130-131).


Pro Kontra Gadai Syariah Yang Berlaku Saat Ini (Sebagaimana Contoh Di Atas)

PRO:
Riba diganti dengan biaya sewa atas barang yang disimpan (titip), sebagaimana kasus di atas




KONTRA:

    Terjadi riba walaupun disebut dengan istilah “biaya simpan” atas barang gadai dalam akad qardh (utang) antara Pegadaian Syariah dengan nasabah. Padahal qardh yang menarik manfaat, baik berupa hadiah barang, uang, atau manfaat lainnya, adalah riba yang hukumnya haram.
Sabda Rasulullah SAW,”Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari, dalam kitabnya At Tarikh Al Kabir). 
Imam Ibnul Mundzir menyebutkan adanya ijma’ ulama bahwa setiap tambahan atau hadiah yang disyaratkan oleh pihak yang memberikan pinjaman, maka tambahan itu adalah riba.
Penggabungan dua akad menjadi satu akad (multi akad) yang dilarang syariah, yaitu akad gadai (atau akad qardh) dan akad ijarah (biaya simpan). Pada kasus di atas,  akad titipan (merupakan akad qardh) menggunakan biaya simpan (yang merupakan akad ijarah).  Bahkan akad  nun komersial ini telah disatukan dengan akad komersial. Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, bahwasanya Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan. (HR Ahmad, hadis sahih).
Memang sebagian ulama telah membolehkan akad rangkap. Namun perlu kami sampaikan, ulama yang membolehkan pun, telah mengharamkan penggabungan akad tabarru’ yang bersifat non komersial (seperti qardh atau rahn) dengan akad yang komersial (seperti ijarah).[5]
Terjadi kekeliruan pembebanan biaya simpan. Dalam barang  gadai yang dimanfaatkan, maka seharusnya biaya simpan menjadi kewajiban murtahin, bukan kewajiban rahin (nasabah).




Sabda Rasulullah SAW, “Jika hewan tunggangan digadaikan, maka murtahin harus menanggung makanannya, dan [jika] susu hewan itu diminum, maka atas yang meminum harus menanggung biayanya.” (HR Ahmad, Al Musnad, 2/472).

E.     Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pegadaian adalah sutu hak yang diperole orang yang berpiutang atas suatu barang yang bergerak yang diserahkan oleh orang yang berhutang sebagai jaminan hutangnya dan bang tersebut dapat dijual (dilelng) oleh yng berpiutang bila yang berhutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.

F.     Daftar Pustaka
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, cet 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Veitha Rivai, Andria Permata, Ferry, Bank and Financial Institution Management, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002.
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi At-Tamlik.


[1] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, cet 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 130
[2] Veitha Rivai, Andria Permata, Ferry, Bank and Financial Institution Management, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007) hlm. 1326
[3] Ibid,.
[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002), hlm. 105
[5] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi At-Tamlik, hlm. 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar