GADAI
SYARIAH
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah:
Masail Fiqhyah
Dosen
Pengampu: Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, MA
Disusun
Oleh:
Munifah
Muamalah 1/ Semester VII
KEMENTRIAN
REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
JURUSAN
MUAMALAH FAKULTAS SYARIAH
Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon
- Jawa Barat 45132
Telp : (0231) 481264 Faxs : (0231) 489926
Telp : (0231) 481264 Faxs : (0231) 489926
2016
GADAI SYARI’AH
Abstrak
Gadai Syari’ah saat
ini tengah menjadi primadona bagi masyarakat yang memerlukan dana dengan cepat.
Gadai dikenal dengan kata Rahn. Bentuknya adalah menyimpan sementara harta
milik si peminjam sebagai jaminan yang diberikan oleh berpiutang. Berarti,
barang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil kembali dalam jangka waktu
tertentu. Aspek yang digunakan dalam Gadai ini adalah Ujroh masih
mendefinisikan berdasarkan pinjaman serta biaya administrasi dan juga bergabung
Rahn dan Ijarah. Selain ini, penjualan implement Pegadaian Syariah .
A.
Definisi
Gadai Syari’ah
Gadai diistilahkan
dengan rahn yang secara etimologi mengandung pengertian menggadaikan,
merungguhkan.[1] Namun
demikian, ada juga pengertian lain dari kata rahn yang menurut istilah bahasa (lughah)
berarti tetap, kekal dan jaminan. Dalam definisi lainnya, rahn atau gadai
menurut bahasa disebut dengan al-tsubut (الثبوت) dan al-habs (الحبس) yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan rahn
adalah terkurung atau terjerat.
Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn
adalah:
1. Akad yang
objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.
2. Menjadikan
suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama
ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang atau untuk mengambil sebagian
uang itu.
3. Akad perjanjian
pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang.
4. Sesuatu yang
diletakkan pada seseorang yaitu sesuatu barang yang diganti dengan barang yang
lain.
5. Menjadikan zat
suatu benda jaminan hutang.
6. Menjadikan
harta benda sebagai jaminan hutang.
7. Suatu barang
yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.
8. Menjadikan
suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan
adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat
diterima.
9. Dalam Islam,
rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya
imbalan jasa. Rahn hukumnya jaiz (boleh) menurut Al-Qur’an,
as-sunnah dan ijma’. Adapun dasar hukum pegadaian syari’ah ini yaitu:
Al-Qur’an :
وإن كنتم على
سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمانته
وليتق الله ربه... {البقرة: ۲۸۳}
Artinya:
“ Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
menghutangkan). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang)iya dan hendaklah dia bertakwa kepada
Allah Tuhannya”. (QS. Al-Baqarah:
283)
Dalam ayat di atas dijelaskan, bahwa apabila sesorang berada dalam keadaan
bepergian dan hendak melakukan suatu tindakan bermuamalah ataupun suatu
transaksi hutang-piutang, kemudian ia tidak mendapatkan seseorang yang adil dan
pandai dalam hal penulisan transaksi hutang, maka hendaklah meminta kepadanya
suatu bukti lain sebagai bukti kepercayaan atau penguat, yaitu dengan
menyerahkan sesuatu berupa benda atau barang yang berharga sebagai jaminan yang
dapat dipegang atau hutang. Hal ini dipandang perlu karena untuk menjaga agar
kedua belah pihak yang melakukan perjanjian gadai itu timbul rasa saling
mempercayai antara satu sama lainnya, sehingga dalam transaksi gadai tersebut
tidak menimbulkan kecurigaan yang kemungkinan akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak yang bersangkutan.
Jaminan yang ada di tangan pihak piutang adalah amanah dan si piutang tidak
memiliki hak untuk memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar,
melainkan ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang
berhutang membayar pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya
secara utuh. Orang yang berhutang pada hakikatnya dianggap sebagai orang yang
amanah sehingga diberikan pinjaman, maka ia harus membayar hutangnya itu tepat
pada waktunya, agar orang yang memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian.
Khususnya di tempat di mana orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang
berhutang sedemikian besarnya sehingga tidak meminta jaminan, maka dalam
kondisi seperti ini, pihak yang berhutang harus ingat kembali kepada ketentuan
dasar yang diatur dalam hukum Islam dan tidak menzalimi orang lain dengan
memakan hartanya secara batil.
Hadits
عن عائشة رضى الله عنها قال: ان رسول
الله صلى الله عليه وسلم اشترى من يهودى طعام ورهنه درعامن
حديد.{رواه البخارى}
Artinya:
“Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah pernah membeli makanan dari
orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau”. (HR. Bukhari)
Ijma’
Para ulama telah bersepakat bahwa rahn/gadai itu boleh dan mereka
tidak pernah mempermasalahkan kebolehannya, demikian pula dengan landasan
hukumnya. Di samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.
25/DSN-MUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak
bepergian maupun pada waktu bepergian.
B. Rukun dan Syarat-syarat Rahn
1.
Rukun Rahn
Sebelum melakukan transaksi gadai atau rahn, maka harus diketahui
terlebih dahulu apa saja yang termasuk ke dalam rukun rahn. Menurut
jumhur ulama, rukun rahn[2]
ada empat yaitu:
a. Shigat (lafal ijab
dan qabul).
b. Orang yang
berakad (al-rahin dan al-murtahin).
c. Harta yang
dijadikan agunan (al-marhun).
d. Hutang (ar-marhun
bih).
2.
Syarat-syarat Rahn[3]
Menurut jumhur ulama, ada beberapa
syarat sahnya akad rahn yaitu berakal, baligh (dewasa),
wujudnya marhun yang dipegang sebagai jaminan oleh murtahin. Di
samping syarat-syarat sah rahn, juga terdapat syarat-syarat lain dari rahn
atau gadai yang harus dipenuhi secara hukum fiqh, di antaranya
yaitu:
a. Cakap bertindak
hukum. Kecakapan bertindak hukum diwajibkan kepada orang yang telah baligh
dan berakal.
b. Syarat sighat
(lafal), yaitu ucapan/lafal yang dibarengi dengan syarat tertentu. Misalnya,
orang yang berhutang mensyaratkan apabila tenggang waktu hutang telah habis dan
hutang belum terbayar, maka rahn itu di perpanjang selama satu bulan
atau memberi hutang serta mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan.
Untuk sahnya rahn, pihak pemberi hutang harus disaksikan oleh dua orang
saksi. Apabila agunan dijual ketika rahn jatuh tempo dan orang yang
berhutang tidak mampu membayar hutangnya, maka syarat tersebut batal.
c. Syarat
marhun bih (hutang) yaitu: pertama, merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada orang tempat berhutang. Kedua, hutang itu boleh
dilunasi dengan agunan dan ketiga, hutang itu jelas dan tertentu.
d. Beberapa hal
yang menjadi syarat marhun (barang yang dijadikan agunan), di antaranya,
yaitu: pertama, barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya
seimbang dengan hutang. Kedua, barang jaminan itu dinilai harta dan
boleh dimanfaatkan. Sebagai contoh, khamar tidak boleh dijadikan barang
jaminan dan khamar tidak termasuk ke dalam harta bernilai, juga tidak
bermanfaat dalam Islam, maka khamar tidak sah bila dijadikan barang
jaminan. Ketiga, barang jaminan itu jelas. Keempat, agunan
itu milik sah orang yang berhutang. Kelima, barang jaminan itu tidak
terkait dengan orang lain. Keenam, barang jaminan itu merupakan harta
yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat dan ketujuh, barang
jaminan itu boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya. Apabila barang
yang digadaikan itu secara hukum telah berada di tangan pemberi hutang dan uang
yang dibutuhkan telah diterima peminjam hutang. Apabila barang jaminan itu
berupa benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan
tanah yang diberikan, tetapi cukup surat jaminan tanah dan surat-surat rumah
yang dipegang oleh pemberi hutang.
Syarat terakhir yang merupakan
kesempurnaan rahn yang disebut sebagai qabdh al-marhun (barang
jaminan dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang). Syarat ini menjadi sangat
penting sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 283
yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.
Apabila barang jaminan itu telah
dikuasai oleh pemberi hutang, maka akad rahn bersifat mengikat bagi
kedua belah pihak. Oleh sebab itu, hutang tersebut terkait dengan barang
jaminan, sehingga apabila hutang tidak dapat dilunasi, maka barang jaminan
dapat dijual dan uang itu dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan ada
kelebihan uang, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya (rahin).
Mengenai al-qabdh juga terdapat
beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: pertama, al-qabdh
harus ada izin dari orang yang menggadaikan (rahin). Kedua, pihak
yang melakukan akad rahn cakap bertindak hukum ketika terjadinya al-qabdh.
Syarat tersebut sesuai dengan tuntutan surat al-Baqarah ayat 283 sebagaimana
telah disebutkan di atas.
Dalam pemahaman mazhab Syafi’i,
ketetapan mengenai syarat-syarat sah gadai adalah sebagai berikut:
a) Syarat luzum (tetap),
yaitu syarat serah terima barang gadaian. Jadi bila barang gadaian itu belum
diterima oleh penerima gadai, maka bagi pemberi gadai masih berhak menarik
kembali perjanjiannya.
b) Syarat sah
gadai yaitu:
1) Syarat yang
berhubungan dengan akad. Hal ini hendaknya jangan dikaitkan dengan syarat yang
tidak sesuai dengan akad itu sendiri, karena yang demikian itu akan membatalkan
akad gadai.
2) Syarat yang
berhubungan dengan para pihak, misalnya kedua belah pihak sudah cakap dalam
bertindak, sampai umur, berakal sehat dan tidak dalam pengampuan.
3) Syarat yang
berhubungan dengan barang gadai adalah:
(a) Barang gadaian
itu haru hak milik sempurna.
(b) Barang gadaian
itu harus benda yang tahan lama.
(c) Barang gadaian
itu harus benda yang suci.
(d) Barang gadaian
itu harus bermanfaat dan bernilai menurut pandangan syara’.
(e) Syarat yang
berhubungan dengan marhun bih yaitu:
4) Gadai itu harus
disebabkan hutang yang pasti.
(a) Hutangnya sudah
tetap seketika atau masa yang akan datang.
(b) Hutang itu
sudah diketahui benda, jumlah dan sifat-sifatnya.
Berdasarkan dari beberapa uraian yang telah disebutkan tentang syarat
sahnya gadai, maka dapatlah dipahami bahwa syarat merupakan suatu yang harus
dipenuhi sebelum melaksanakan perjanjian gadai, sehingga perjanjian gadai
tersebut sah menurut ketentuan syara’.[4]
C. Hukum Gadai Syariah
Gadai secara hukumnya dibolehkan
asalkan tidak terkandung unsur-unsur ribawi. Bahkan beberapa kali tercatat
Rasulullah SAW mengadaikan harta bendanya.
Rasulullah pernah ditanya tentang
seseorang menggadaikan kambingnya, bolehkah kambingnya diperah. Nabi
mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasullullah
mengizinkan kita mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup
biaya pemeliharaan. Biaya pemeliharaan itulah yang kemudian dijadikan dasar
ijtihad para pakar keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi
produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
Namun pegadaian yang sering kita
saksikan di negeri kita ini banyak yang melanggar aturan syariah. Sehingga
hukumnya haram. Sebab prakteknya justru sekedar pembungaan uang atau hutang
yang nyata-nyata diharamkan di dalam semua agama samawi.
Misalnya seseorang menggadaikan
mobilnya dan mendapatkan uang pinjaman sebesar 50 juta. Uang pinjaman ini
adalah hutang yang harus dibayarkan pokok dan bunganya. Dan selama pokok
pinjaman itu belum dikembalikan, bunganya tetap terus berkembang. Boleh jadi ke
depannya jumlah hutangnya sudah membengkak menjadi 100 juta. Beda gadai ini
dengan pinjaman uang biasa adalah pada masalah jaminan, di mana dengan
digadaikannya mobil itu, pihak yang memberi pinjaman akan lebih mudah
mengeluarkan uang pinjaman. Sebab harga mobil itu sudah pasti lebih mahal dari
jumlah pinjaman yang diberikan.
Dalam gadai secara syariah, tidak
ada pembungaan uang pinjaman, melainkan biaya penitipan barang. Ketika
seseorang menggadaikan mobilnya, maka dia berkewajiban untuk membayar biaya
penitipan mobil itu. Dan biaya seperti itu wajar terjadi. Bukankah ketika kita
memarkir mobil di sebuah mal, kita diwajibkan untuk membayar ongkos parkir
untuk tiap jamnya? Maka ketika seseorang menggadaikan mobil, dia pun pada
hakikatnya harus membayar biaya penitipan mobil itu. Biaya penitipan itulah
yang jadi keuntungan bagi pihak yang memberi pinjaman hutang.
Perbedaan utama antara gadai syariah dengan gadai yang haram adalah dalam hal pengenaan bunga.
Pegadaian syariah bebas dari bunga, yang ada adalah biaya penitipan barang.
Dalam perkembangannya, gadai yang sesuai syariah ternyata memilki potensi pasar
yang besar sehingga di negara–negara dengan mayoritas penduduk muslim, seperti
di Timur Tengah dan Malaysia, pegadaian syariah telah berkembang pesat. Bahkan
di negeri kita pun sekarang sudah mulai banyak pegadian yang menggunakan sistem
syariah, atau dikenal dengan nama Pegadaian Syariah.
D. Pro
dan Kontra dalam Gadai Syariah
Fatwa
DSN MUI No 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn, Fatwa DSN MUI No
26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas. Fatwa DSN MUI No 68/DSN-MUI/III/2008
tentang rahn tasjily. Akad Dasar Gadai Syariahn
Rahn:
Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sebagai jaminan hutang sehingga
dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut .
Praktik
gadai syariah kini telah menggunakan akad Ijarah : Nasabah
(penggadai) akan memberikan jasa atau fee kepada perusahaan penggadaian , karena
nasabah telah menitipkan barangnya yang dirawat oleh murtahin. Pada
sisi lain, akad gadai telah diperluas praktiknya sebagaimana gambar berikut:
Di Pegadaian Syariah, biasanya platfon utang yang diberikan maksimal 90 persen dari nilai taksiran, dengan jangka waktu utang maksimal 4 bulan. Besarnya biaya simpan Rp 90 untuk setiap kelipatan Rp 10.000 dari nilai taksiran per sepuluh hari. Ini sama dengan 0,9 persen per 10 hari = 2,7 persen per 30 hari = 10,8 persen per 120 hari (4 bulan). Contoh: Jono menggadaikan laptop kepada Pegadaian Syariah, dengan nilai taksiran Rp 1 juta. Plafon utang maksimal sebesar 90 persen (Rp 900.000). Biaya simpan Rp 90 untuk setiap kelipatan Rp 10.000 dari nilai taksiran per 10 hari, sama dengan 10,8 persen dari nilai taksiran untuk 120 hari. Jika jangka waktu utang 4 bulan (120 hari), maka biaya simpannya sebesar =10,8 persen x Rp 1.000.000 = Rp 108.000. Jadi, pada saat jatuh tempo jumlah uang yang harus dibayar Jono sebesar Rp 900.000 + Rp 108.000 = Rp 1.008.000. (Yahya Abdurrahman, Pegadaian Dalam Pandangan Islam, hlm. 130-131).
Pro Kontra Gadai Syariah Yang Berlaku Saat Ini (Sebagaimana Contoh Di Atas)
PRO:
Riba diganti dengan biaya sewa atas
barang yang disimpan (titip), sebagaimana kasus di atas
KONTRA:
Terjadi riba walaupun disebut dengan istilah “biaya simpan” atas barang gadai dalam akad qardh (utang) antara Pegadaian Syariah dengan nasabah. Padahal qardh yang menarik manfaat, baik berupa hadiah barang, uang, atau manfaat lainnya, adalah riba yang hukumnya haram.
Sabda
Rasulullah SAW,”Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia
mengambil hadiah.” (HR Bukhari, dalam kitabnya At Tarikh Al Kabir).
Imam Ibnul Mundzir menyebutkan
adanya ijma’ ulama bahwa setiap tambahan atau hadiah yang disyaratkan oleh
pihak yang memberikan pinjaman, maka tambahan itu adalah riba.
Penggabungan
dua akad menjadi satu akad (multi akad) yang dilarang syariah, yaitu akad gadai
(atau akad qardh) dan akad ijarah (biaya simpan). Pada kasus di atas,
akad titipan (merupakan akad qardh) menggunakan biaya simpan (yang merupakan
akad ijarah). Bahkan akad nun komersial ini telah disatukan dengan
akad komersial. Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, bahwasanya Nabi SAW telah
melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan. (HR Ahmad, hadis sahih).
Memang
sebagian ulama telah membolehkan akad rangkap. Namun perlu kami sampaikan,
ulama yang membolehkan pun, telah mengharamkan penggabungan akad tabarru’ yang
bersifat non komersial (seperti qardh atau rahn) dengan akad yang komersial
(seperti ijarah).[5]
Terjadi
kekeliruan pembebanan biaya simpan. Dalam barang gadai yang dimanfaatkan,
maka seharusnya biaya simpan menjadi kewajiban murtahin, bukan kewajiban rahin
(nasabah).
Sabda Rasulullah SAW, “Jika hewan tunggangan digadaikan, maka murtahin harus menanggung makanannya, dan [jika] susu hewan itu diminum, maka atas yang meminum harus menanggung biayanya.” (HR Ahmad, Al Musnad, 2/472).
E.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa pegadaian adalah sutu hak yang diperole orang yang berpiutang
atas suatu barang yang bergerak yang diserahkan oleh orang yang berhutang
sebagai jaminan hutangnya dan bang tersebut dapat dijual (dilelng) oleh yng
berpiutang bila yang berhutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh
tempo.
F.
Daftar
Pustaka
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, cet 1, Jakarta: Gema Insani
Press, 2001.
Veitha Rivai, Andria Permata, Ferry, Bank and
Financial Institution Management, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Cet. I, 2002.
Ibnu
Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi
At-Tamlik.
[1] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank
Syariah dari Teori ke Praktik, cet 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
hlm. 130
[2] Veitha Rivai, Andria Permata, Ferry, Bank and Financial Institution
Management, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007) hlm. 1326
[3] Ibid,.
[5] Ibnu Taimiyah,
Majmu’ al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi At-Tamlik,
hlm. 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar