Rabu, 14 Desember 2016

Khusnus Sa'adah - Jual Beli Tanpa Mengetahui Harga Terlebih Dahulu



Jual Beli Tanpa Mengetahui Harga Terlebih Dahulu
Tugas Disusun dan Diajukan Sebagai Tugas Mandiri
Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu :
Dr. Faqiuddin A.Kodir, MA


 


Di Susun Oleh :
Khusnus Sa’adah



Disusun oleh:
Khusnus Sa’adah (1413221011)

Fakultas Syari’ah/ Muamalah (Hukum Ekonomi Syari’ah) I
Semester 7

KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2016
Jl.Perjuangan By Pass Sunyaragi-Cirebon Telp. (0231) 481264



KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat AllahSWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas ini tanpa adanya hambatan yang berarti.

   Sholawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW, serta para sahabat thabi'in, dan para umat yang senantiasaberjalan dengan risalah-Nya. Dengan terselesainya makalah ini penulis tak lupa mengucapkan terimakasih kepada pengajar yang telah memberikan kami pelajaran mengenai mata kuliah “ Masail Fiqhiyah” ini.
  
   Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tugas ini masih terdapat banyak kekurangan, walaupun begitu penulis sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat yang terbaik. Untuk itu dengan segala kerendahan hati dan dengan tangan terbuka penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca makalah ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

  

Penulis









Abstrak: Jual Beli Tanpa Mengetahui Harga Terlebih Dahulu. Studi ini bermaksud menggali bagaimana hukum jual beli tanpa mengetahui harga terlebih dahulu. Dalam agama Islam muamalah merupakan bagian yang mengatur tentang hubungan antara sesama manusia (hablu minannas). Tujuan jual beli adalah untuk mmencari keuntungan (laba). Jual beli merupakan transaksi yang paling mudah yang setiap hari dilakukan oleh masyarakat. jual beli ada pula yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu, menjadi satu kewajiban bagi usahawan muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram dari kegiatan itu, sehingga betul-betul mengerti persoalan.

Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia, hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan komprehensif.
Melihat paparan di atas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa permasalahan tentang jual beli yang patut diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya bergelut dengan transaksi jual beli, bahkan jika diteliti secara seksama, setiap orang tentulah bersentuhan dengan jual beli. Oleh karena itu, pengetahuan tentang jual beli yang disyari’atkan mutlak diperlukan.
Jual beli tidak semuanya sah belaka, ada juga yang boleh dikategorikan sebagai tidak sah dan ada pula yang hukumnya haram. Sini disini saya akan menjelaskan tentang jual beli khosusnya “Jual Beli tanpa Penetapan Harga”.

A.    Jual Beli
1.      Pengertian Jual Beli
Jual  beli menurut bahasa adalah al-ba’i, artinya tukar menukar. Jual beli mengandung arti yang bersekutu dan berlawanan. Menurut syara’ tukar menukar dengan harta atas dasar kerelaan bersama atau pemindahan milik dengan imbalan berdasarkan cara yang seizinkan.[1]
Atau dengan kata lain Jual beli menurut bahasa (etimologi) ialah menukar atau menyerahkan sesuatu barang, dengan barang lain dalam bentuk akad (perjanjian). Secara istilah (terminologi) yang dimaksud jual beli adalah sebagai berikut:
a.       Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar merelakan.
b.       تَمْلِيْكُ عَيْنٍ مَالِيَّةٍ بِمُعَاوَضَةٍ بِاذْنٍ شَرْعِيٍ
Artinya: "Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan aturan syara’.”
c.       Artinya: “Pertukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.”


Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat penulis pahami bahwa inti jual beli ialah sesuatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, dengan alat pengganti yang dibenarkan oleh hukum Islam. Yang dimaksud alat pengganti adalah alat pembayaran yang sah dan diakui keberadaannya. Misalnya uang rupiah.

2.      Rukun Jual Beli
1)   Rukun Jual Beli
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu :
a)    Bai’ (penjual)
b)   Mustari (pembeli)
c)     Ma’qud ‘alaih (barang yang dijual)
d)   Shighat (Ijab dan Qabul) 
2)   Syarat Sah Jual Beli
Jual beli dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat.
Syarat Sah Akid (penjual dan pembeli)
a)    Berakal
b)   Dengan kehendaknya sendiri
c)    Keadaannya tidak mubazir (pemboros) karena harta orang yang mubazir itu di tangan walinya.
d)   Baligh
Syarat-syarat Ma’qud ‘alaih (benda atau barang)
a)    Bendanya suci
b)   Dapat dimanfaatkan
c)    Milik sendiri
d)   Kemampuan untuk menyerahkanya
e)    Barangnya diketahui
f)    Barangnya dikuasai[2]

Dalam melakukan jual beli harus memenuhi rukun-rukunnya. Bila rukun tersebut salah satu saja tidak terpenuhi maka, jual beli tersebut tidak dapat dilangsungkan.

  Syarat jual beli
Akad atau perjanjian dalam kegiatan jual beli menempati posisi yang sangat penting. Karena akad atau perjanjian ini yang membatasi hubungan atara dua belah pihak yang terlibat dalam kegiatan mu’amalah tersebut baik di masa sekarang ataupun di masa yang akan datang. Karena dasar dari hubungan itu adalah perbuatan atau pelaksanaan dari dua belah pihak yang melakukan akad.
Kedua belah pihak harus menghormati dan menjujung tinggi terhadap apa yang mereka akadkan atau perjanjiankan. Karena hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam al-Qur’ân Surat al-Maidah ayat 1, yang berbunyi: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”
Dalam jual beli haruslah memenuhi syarat baik tentang subjeknya, tentang lafalnya, dan objeknya.
a.       Syarat âqid (penjual dan pembeli)
Penjual dan pembeli selaku subjek hukum dari perjanjian jual beli harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1)      Berakal sehat.
2)      Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil.
3)      Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa).
4)      Baligh.

b.      Syarat syighat
1)      Berhadap hadapan.
Pembeli atau penjual harus menunjukkan syighat akadnya kepada orang yang sedang bertransaksi dengannya, yakni harus sesuai dengan orang yang dituju. Dengan demikian, tidak syah berkata, “Saya menjual kepadamu!” Tidak boleh berkata, “Saya menjual kepada Ahmad,” padahal nama pembeli bukan Ahmad.
2)      Ditujukan pada seluruh badan yang akad.
Tidak syah mengatakan, “Saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu.”
3)      Kabûl diucapkan oleh orang yang dituju dalam îjâb.
Orang yang mengucapkan kabûl haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orang yang mengucapkan îjâb, kecuali jika diwakilkan.
4)      Harus menyebutkan barang atau harga.
5)      Ketika mengucapkan syighat harus disertai niat (maksud).
6)      Pengucapan îjâb dan kabûl harus sempurna.
7)      Îjâb kabûl tidak terpisah.
Antara îjâb dan kabûl tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu lama, yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak.
8)      Antara îjâb dan kabûl tidak terpisah dengan pernyataan lain.
9)      Tidak berubah lafaz.
Lafaz îjâb tidak boleh berubah, seperti perkataan, “Saya jual dengan lima ribu, kemudian berkata lagi, Saya menjualnya dengan sepuluh ribu,” padahal barang yang dijual masih sama dengan barang yang pertama dan sebelum ada kabûl.
10)  Bersesuaian dengan îjâb dan kabûl secara sempurna.
11)  Tidak dikaitkan dengan sesuatu.
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akad.
12)  Tidak dikaitkan dengan waktu.
c.       Syarat ma’qûd ‘alayh (barang)
1)      Suci atau bersih barangnya.
2)      Dapat dimanfaatkan.
3)      Milik orang melakukan akad atau yang diberi izin pemilik.
4)      Mampu menyerahkan dan diketahui
Artinya, bahwa terhadap barang yang menjadi objek jual beli, harus secara jelas diketahui spesifikasinya, jumlahnya, timbangannya, dan kualitasnya.
Secara umum syarat sah akad adalah syarat-syarat yang berhubungan semua bentuk jual beli yang telah ditetapkan syara’. Di antaranya syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Juga harus terhindar dari kecacatan jual beli, yaitu: ketidak jelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu, penipuan, kemadaratan, dan persaratan yang merusak lainnya.

B.     Penetapan Harga
Islam memberikan kebebasan pasar, dan menyerahkannya kepada hukum naluri yang kiranya dapat melaksanakan fungsinya selaras dengan penawaran dan permintaan, nanun tidak boleh melakukan ikhtikar. Ikhtikar yaitu: mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
Dalam hal praktik tidak terpuji tersebut, maka Islam yang sifatnya rahmatan lil a’alamin mengajarkan intervensi otoritas resmi dan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan pengendalian harga (price fixing). Bila ada kenaikan harga barang diatas batas kemampuan masyarakat, maka pemerintah melakukan pengaturan dengan operasi pasar. Sedangkan, bila harga terlalu turun sehingga merugikan produsen, maka pemerintah meningkatkan pembelian atas produk tersebut dari pasar.
Dalam fiqih Islam dikenal dua istilah berbeda mengenai harga suatu barang, yaitu ats-tsaman dan ats-si’r. as-saman adalah patokan harga satuan barang, sedangkan as-si’r adalah harga yang berlaku secara aktual di pasar.
1.      Al-Tsaman
Mencari keuntungan dalam bisnis pada prinsipnya merupakan suatu perkara yang jaiz (boleh) dan dibenarkan syara’. Dalam al-Qu’an dan hadits tidak ditemukan berapa persen keuntungan atau laba (patokan harga satuan barang) yang diperbolehkan. Tingkat laba atau keuntungan berapa pun besarnya selama tidak mengandung unsur-unsur keharaman dan kezhaliman dalam praktek pencapaiannya, maka hal itu dibenarkan syariah sekalipun mencapai margin 100 % dari modal bahkan beberapa kali lipat. Firma Allah Firman Allah swt. Dalam al-Qur’ân Surat al-Nisa’ ayat 29:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka.”

2.      Al-tsi’r
Ulama fiqih membagi al-si’r menjadi dua macam:
-          Harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan pemerintah. Dua dari empat mazhab terkenal, Hambali dan Syafi’i, menyatakan bahwa pemerintah tidak mempunyai hak untuk menetapkan harga.
-          Harga suatu komoditas yang ditetapkan pemerintah setelah mempertimbangkan modal dan keuntungan wajar bagi pedagang ataupun produsen serta melihat keadaan ekonomi riil dan daya beli masyarakat. Mekanisme ini lazim al-Tas’ir al-Jabari.
Islam menghargai hak penjual dan pembeli untuk menentukan harga sekaligus melindungi hak keduanya. Dalam rangka melindungi hak penjual dan pembeli, Islam membolehkan bahkan mewajibkan pemerintah melakukan penetapan harag bila kenaikan harga disebabkan adanya penyimpangan antara permintaan dan penawaran.
Konsep harga yang adil telah dikenal oleh rasullulah, yang kemudian banyak menjadi pembahasan dari para ulama di masa kemudian. Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalam transaksi yang Islami. Secara umum harga yang adil adalah : harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan (kezaliman) sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Penentuan harga dalam Islam ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan yang terjadi secara alami.
Dari uraian di atas dapat penulis pahami bahwa diperbolehkan bagi siapa pun untuk mencari keuntungan tanpa ada batasan keuntungan tertentu selama mematuhi hukum-hukum Islam. Serta menentukan standar harga sesuai dengan kondisi pasar yang sehat. Namun bila terjadi penyimpangan dan kesewenang-wenangan harga dengan merugikan pihak konsumen, tidak ada halangan bagi pihak penguasa, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, untuk membatasi keuntungan pedagang atau mematok harga. Tindakan ini dilakukan harus melalui konsultasi dan musyawarah dengan pihak-pihak terkait agar tidak ada yang dilangkahi maupun dirugikan hak-haknya.



C.    Jual Beli Tanpa Penetapan Harga
Di muka telah di jelaskan tentang jual beli dan penetapan harga. Lantas, bagaimana dengan jual beli tanpa penetapan harga?? Dalam Al-qur’an dijelaskan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)
Kata saling rela tersebut, kami artikan sebagai suatu kehalalan dalam jual beli tanpa penetapan harga. Karena kedua belah pihak sama-sama mengetahui hal tersebut (ketiadaan harga yang jelas). Dalam hal ini yang kami contohkan adalah sistem lelang. Dimana dalam lelang, belum ada kepastian/penetapan harga. Harga dimulai dari sebuah penawaran harga yang belum pasti dan kepastiannya hanya akan diperoleh di akhir transaksi. Yakni pada penawaran tertinggi.
Kebolehan jual beli tanpa ketentuan harga lantas bukan berarti tanpa syarat. Syarat-syarat tersebut juga perlu diperhatikan. Diantaranya :
1. Tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)
2.      Tidak ada unsur gharor/spekulasi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly).

3.      Timbul kerelaan diantara kedua belah pihak. Seperti hadis yang telah dikemukakan di keterangan sebelumnya.[3]
[4]Atau dengan kata lain kalau ada seseorang menjual komoditas atau barang dagangannya tanpa menyebutkan / diketahui harganya, maka apakah sah jual beli  seperti ini atau tidak sah?
  • Pendapat pertama, akad jual beli ini fasid, ditetapkan kepemilikan apabila ia telah menggenggamnya dan mesti mengganti nilainya. ini adalah pendapat Mazhab Hanafi.
  • Pendapat kedua,  jual beli ini batil. Ini adalah pendapat Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali.
  • Pendapat ketiga, sah jual belinya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibn Taimiyyah
Adapun dalil jumhur batalnya jual beli ini adalah QS. Al-Nisa: 29. Dalam ayat tersebut disyaratkan keridoan, dan rido tidak bisa dikaitkan kecuali kalau diketahui. Kemudian Nabi melarang jual beli gharar. Ketika harganya tidak diketahui maka itu masuk ke dalam gharar yang dilarang.
Adapun alasan Ibn Taimiyyah atas sahnya jual beli ini adalah :
Dalil pertama:
حَدَّثَنَا عَمْرٌو عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَكُنْتُ عَلَى بَكْرٍ صَعْبٍ لِعُمَرَ فَكَانَ يَغْلِبُنِي فَيَتَقَدَّمُ أَمَامَ الْقَوْمِ فَيَزْجُرُهُ عُمَرُ وَيَرُدُّهُ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ فَيَزْجُرُهُ عُمَرُ وَيَرُدُّهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعُمَرَ بِعْنِيهِ قَالَ هُوَ لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِعْنِيهِ فَبَاعَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ تَصْنَعُ بِهِ مَا شِئْتَ
telah menceritakan kepada kami ‘Amru dari Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma berkata: “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu perjalanan yang ketika itu aku menunggang anak unta yang masih liar milik ‘Umar. Anak unta itu selalu mendahulukanku (membawaku paling depan). Maka ia berjalan pada barisan paling depan, lalu ‘Umar membentaknya dan mengembalikannya ke belakang. Namun ia kembali maju paling depan dan ‘Umarpun kembali membentak dan mengembalikannya ke belakang. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, kepada ‘Umar: “Juallah anak unta itu kepadaku”. ‘Umar menjawab: “Ia untukmu wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Juallah kepadaku”. Maka ‘Umarpun menjualnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sekarang anak unta itu untukmu wahai ‘Abdullah bin ‘Umar kamu dapat berbuat dengannya sesukamu”. (HR. Al-Bukhari)
Adapun metode istidlal dari hadits ini adalah bahwa Nabi saw membeli unta dari Umar tanpa menyebutkan harganya, dan menghibahkannya kepada Abdullah bin Umar
Dalil kedua adalah
Apabila pembuat syara membolehkan nikah tanpa menyebut nama mahar, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah:236, maka termasuk bab lebih utama bahwa jual beli itu boleh dengan harga mitsl.
Dalil ketiga diqiyaskan kepada hibah dengan syarat balasan, para fukaha mengatakan bahwa itu sah walaupun tidak disebutkan harganya. Kemduian banyak fukaha membolehkan akad ijarah dengan upah mitsl.
Dibyan Muhammad Dibyan mengatakan pendapat yang rajih/kuat boleh jual beli tanpa menyebutkan harganya, ini karena penjual dan pembeli ketika mereka bertransaksi tanpa menyebutkan upahnya, kedua lisannya telah merelakan dalam mengambil komoditas dengan harga mitsl, jika keduanya rido akan hal itu maka boleh. Harganya walaupun tidak ditentukan akan tetapi ia itu bisa ditentukan. Pada hari ini orang-orang masih bermuamalah dengan hal ini. Seseorang mengambil kebutuhanya dari penjaga toko atau penjual daging, atau penjual buah-buahan, dan ketika mengambil mereka tidak sepakat dengan harganya  Kemudian dihitung jumlahnya di akhir bulan. Jual beli ini adalah bentuk dari jual beli mua’thah, dan jual beli mu’athah itu boleh. (al-Muamalah al-Maliyyah, 1432, 2:287-291)




PENUTUP
Tanpa kita sadari dalam kegiatan sehari-hari kita pun dalam melakukan transaksi jual beli tanpa mengetahui harga terlebih dahulu, semisal kalau kita makan di warung-warung nasi maupun tempat makan lainnya khususnya warung-warung makan tradisional seperti Warteg ataupun Warung Makan Padang kebanyakan harga tidak dicantumkan dan bahkan kalau kita mau makan kita langsung pesan menu yang kita mau tanpa mengetahui harga terlebih dahulu.  Segala kegiatan dalam bermuamalah pada dasarnya mubah. Akan tetapi bisa berubah jika ada dalil yang menerangkannya. Begitu juga dengan jual beli. Sah dilakukan dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam islam.
Lebih spesifik lagi hal yang ada dalam jual beli yaitu jual beli tanpa ketentuan harga. Disini kami memberi argument tentang hal tersebut. Yakni kehalalan atasnya. Akan tetapi dengan syarat sebagai berikut :
1.      Tidak ada unsur gharor/spekulasi
2.      Tidak terjadi kecurangan
3.      Adanya kerelaan dari kedua belah pihak.

Demikian penjelasan saya seputar jual beli tanpa penetapan harga. Mohon maaf jika ada kesalahan keterangan maupun penulisan. Terimakasih




Ibrahim Muhammad Al Jamil, Fiqih Muslimah, (Jakarta: Pustaka Amani Jakarta. 1994). Hal. 365
[2][2] Ibrahim Muhammad Al Jamil, Op. Cit., hal 367-36.
[3] http://edijeggejeg.blogspot.co.id/2012/06/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

[4] http://koneksi-indonesia.org/2015/hukum-jual-beli-tanpa-disebutkan-mengetahui-harganya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar