Jual Beli Tanpa
Mengetahui Harga Terlebih Dahulu
Tugas Disusun
dan Diajukan Sebagai Tugas Mandiri
Mata Kuliah
Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu
:
Dr. Faqiuddin
A.Kodir, MA
Di Susun Oleh :
Khusnus Sa’adah
Disusun oleh:
Khusnus Sa’adah
(1413221011)
Fakultas
Syari’ah/ Muamalah (Hukum Ekonomi
Syari’ah) I
Semester 7
KEMENTRIAN
AGAMA REPUBLIK INDONESIA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
TAHUN 2016
Jl.Perjuangan
By Pass Sunyaragi-Cirebon Telp. (0231) 481264
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah segala
puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat AllahSWT yang telah melimpahkan
segala rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan
tugas ini tanpa adanya hambatan yang berarti.
Sholawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW, serta
para sahabat thabi'in, dan para umat yang senantiasaberjalan dengan
risalah-Nya. Dengan terselesainya makalah ini penulis tak lupa mengucapkan
terimakasih kepada
pengajar yang telah memberikan kami pelajaran mengenai mata kuliah “ Masail
Fiqhiyah” ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penulisan tugas ini masih terdapat banyak kekurangan, walaupun begitu penulis
sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat yang terbaik. Untuk itu dengan
segala kerendahan hati dan dengan tangan terbuka penulis mengharapkan adanya
kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca makalah ini. Semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
Abstrak: Jual Beli Tanpa
Mengetahui Harga Terlebih Dahulu.
Studi ini bermaksud menggali bagaimana hukum jual beli tanpa mengetahui harga
terlebih dahulu. Dalam agama Islam
muamalah merupakan bagian yang mengatur tentang hubungan antara sesama manusia
(hablu minannas). Tujuan jual beli adalah untuk mmencari keuntungan
(laba). Jual beli merupakan transaksi yang paling mudah yang setiap hari
dilakukan oleh masyarakat. jual beli ada pula yang diharamkan dan ada juga yang
diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu, menjadi satu kewajiban bagi usahawan
muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut,
dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram dari kegiatan itu, sehingga
betul-betul mengerti persoalan.
Pendahuluan
Manusia
adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi, mereka
dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil
interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka
mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur
permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan transaksi
jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari
tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia, hal ini menunjukkan bahwa
Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan komprehensif.
Melihat
paparan di atas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa permasalahan tentang
jual beli yang patut diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya bergelut
dengan transaksi jual beli, bahkan jika diteliti secara seksama, setiap orang
tentulah bersentuhan dengan jual beli. Oleh karena itu, pengetahuan tentang
jual beli yang disyari’atkan mutlak diperlukan.
Jual beli
tidak semuanya sah belaka, ada juga yang boleh dikategorikan sebagai tidak sah
dan ada pula yang hukumnya haram. Sini disini saya akan menjelaskan tentang
jual beli khosusnya “Jual Beli tanpa Penetapan Harga”.
A.
Jual Beli
1.
Pengertian
Jual Beli
Jual beli menurut bahasa adalah al-ba’i, artinya
tukar menukar. Jual beli mengandung arti yang bersekutu dan berlawanan. Menurut
syara’ tukar menukar dengan harta atas dasar kerelaan bersama atau pemindahan
milik dengan imbalan berdasarkan cara yang seizinkan.[1]
Atau dengan
kata lain Jual beli menurut bahasa (etimologi) ialah menukar atau menyerahkan
sesuatu barang, dengan barang lain dalam bentuk akad (perjanjian). Secara
istilah (terminologi) yang dimaksud jual beli adalah sebagai berikut:
a.
Menukar
barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik
dari yang satu kepada yang lain atas dasar merelakan.
b.
تَمْلِيْكُ عَيْنٍ مَالِيَّةٍ بِمُعَاوَضَةٍ بِاذْنٍ شَرْعِيٍ
Artinya:
"Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan
aturan syara’.”
c.
Artinya: “Pertukaran
benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak
milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.”
Dari
beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat penulis pahami bahwa inti jual
beli ialah sesuatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai
nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, dengan alat pengganti yang
dibenarkan oleh hukum Islam. Yang dimaksud alat pengganti adalah alat
pembayaran yang sah dan diakui keberadaannya. Misalnya uang rupiah.
2.
Rukun Jual
Beli
1) Rukun Jual Beli
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat,
yaitu :
a) Bai’ (penjual)
b) Mustari (pembeli)
c) Ma’qud ‘alaih (barang
yang dijual)
d) Shighat (Ijab dan
Qabul)
2) Syarat Sah Jual Beli
Jual beli dikatakan sah
apabila memenuhi syarat-syarat.
Syarat Sah Akid
(penjual dan pembeli)
a) Berakal
b) Dengan kehendaknya
sendiri
c) Keadaannya tidak
mubazir (pemboros) karena harta orang yang mubazir itu di tangan walinya.
d) Baligh
Syarat-syarat Ma’qud
‘alaih (benda atau barang)
a) Bendanya suci
b) Dapat dimanfaatkan
c) Milik sendiri
d) Kemampuan untuk
menyerahkanya
e) Barangnya diketahui
Dalam
melakukan jual beli harus memenuhi rukun-rukunnya. Bila rukun tersebut salah
satu saja tidak terpenuhi maka, jual beli tersebut tidak dapat dilangsungkan.
Syarat jual
beli
Akad atau
perjanjian dalam kegiatan jual beli menempati posisi yang sangat penting.
Karena akad atau perjanjian ini yang membatasi hubungan atara dua belah pihak
yang terlibat dalam kegiatan mu’amalah tersebut baik di masa sekarang ataupun
di masa yang akan datang. Karena dasar dari hubungan itu adalah perbuatan atau
pelaksanaan dari dua belah pihak yang melakukan akad.
Kedua belah
pihak harus menghormati dan menjujung tinggi terhadap apa yang mereka akadkan
atau perjanjiankan. Karena hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam
al-Qur’ân Surat al-Maidah ayat 1, yang berbunyi: Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”
Dalam jual
beli haruslah memenuhi syarat baik tentang subjeknya, tentang lafalnya, dan
objeknya.
a.
Syarat âqid
(penjual dan pembeli)
Penjual dan
pembeli selaku subjek hukum dari perjanjian jual beli harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1)
Berakal
sehat.
2)
Keduanya
merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil.
3)
Dengan
kehendaknya sendiri (bukan dipaksa).
4)
Baligh.
b.
Syarat
syighat
1)
Berhadap
hadapan.
Pembeli atau
penjual harus menunjukkan syighat akadnya kepada orang yang sedang bertransaksi
dengannya, yakni harus sesuai dengan orang yang dituju. Dengan demikian, tidak
syah berkata, “Saya menjual kepadamu!” Tidak boleh berkata, “Saya menjual
kepada Ahmad,” padahal nama pembeli bukan Ahmad.
2)
Ditujukan
pada seluruh badan yang akad.
Tidak syah
mengatakan, “Saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu.”
3)
Kabûl
diucapkan oleh orang yang dituju dalam îjâb.
Orang yang
mengucapkan kabûl haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orang yang
mengucapkan îjâb, kecuali jika diwakilkan.
4)
Harus
menyebutkan barang atau harga.
5)
Ketika
mengucapkan syighat harus disertai niat (maksud).
6)
Pengucapan
îjâb dan kabûl harus sempurna.
7)
Îjâb kabûl
tidak terpisah.
Antara îjâb
dan kabûl tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu lama, yang
menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak.
8)
Antara îjâb
dan kabûl tidak terpisah dengan pernyataan lain.
9)
Tidak
berubah lafaz.
Lafaz îjâb
tidak boleh berubah, seperti perkataan, “Saya jual dengan lima ribu, kemudian
berkata lagi, Saya menjualnya dengan sepuluh ribu,” padahal barang yang dijual
masih sama dengan barang yang pertama dan sebelum ada kabûl.
10) Bersesuaian
dengan îjâb dan kabûl secara sempurna.
11) Tidak
dikaitkan dengan sesuatu.
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan
akad.
12) Tidak
dikaitkan dengan waktu.
c.
Syarat
ma’qûd ‘alayh (barang)
1)
Suci atau
bersih barangnya.
2)
Dapat
dimanfaatkan.
3)
Milik orang
melakukan akad atau yang diberi izin pemilik.
4)
Mampu
menyerahkan dan diketahui
Artinya,
bahwa terhadap barang yang menjadi objek jual beli, harus secara jelas
diketahui spesifikasinya, jumlahnya, timbangannya, dan kualitasnya.
Secara umum syarat sah akad adalah syarat-syarat yang berhubungan semua bentuk jual beli yang telah ditetapkan syara’. Di antaranya syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Juga harus terhindar dari kecacatan jual beli, yaitu: ketidak jelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu, penipuan, kemadaratan, dan persaratan yang merusak lainnya.
Secara umum syarat sah akad adalah syarat-syarat yang berhubungan semua bentuk jual beli yang telah ditetapkan syara’. Di antaranya syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Juga harus terhindar dari kecacatan jual beli, yaitu: ketidak jelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu, penipuan, kemadaratan, dan persaratan yang merusak lainnya.
B.
Penetapan
Harga
Islam
memberikan kebebasan pasar, dan menyerahkannya kepada hukum naluri yang kiranya
dapat melaksanakan fungsinya selaras dengan penawaran dan permintaan, nanun
tidak boleh melakukan ikhtikar. Ikhtikar yaitu: mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih
tinggi.
Dalam hal praktik tidak terpuji tersebut, maka Islam yang sifatnya rahmatan lil a’alamin mengajarkan intervensi otoritas resmi dan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan pengendalian harga (price fixing). Bila ada kenaikan harga barang diatas batas kemampuan masyarakat, maka pemerintah melakukan pengaturan dengan operasi pasar. Sedangkan, bila harga terlalu turun sehingga merugikan produsen, maka pemerintah meningkatkan pembelian atas produk tersebut dari pasar.
Dalam hal praktik tidak terpuji tersebut, maka Islam yang sifatnya rahmatan lil a’alamin mengajarkan intervensi otoritas resmi dan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan pengendalian harga (price fixing). Bila ada kenaikan harga barang diatas batas kemampuan masyarakat, maka pemerintah melakukan pengaturan dengan operasi pasar. Sedangkan, bila harga terlalu turun sehingga merugikan produsen, maka pemerintah meningkatkan pembelian atas produk tersebut dari pasar.
Dalam fiqih
Islam dikenal dua istilah berbeda mengenai harga suatu barang, yaitu ats-tsaman
dan ats-si’r. as-saman adalah patokan harga satuan barang, sedangkan as-si’r
adalah harga yang berlaku secara aktual di pasar.
1.
Al-Tsaman
Mencari
keuntungan dalam bisnis pada prinsipnya merupakan suatu perkara yang jaiz
(boleh) dan dibenarkan syara’. Dalam al-Qu’an dan hadits tidak ditemukan berapa
persen keuntungan atau laba (patokan harga satuan barang) yang diperbolehkan.
Tingkat laba atau keuntungan berapa pun besarnya selama tidak mengandung
unsur-unsur keharaman dan kezhaliman dalam praktek pencapaiannya, maka hal itu
dibenarkan syariah sekalipun mencapai margin 100 % dari modal bahkan beberapa
kali lipat. Firma Allah Firman Allah swt. Dalam al-Qur’ân Surat al-Nisa’ ayat
29:
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka.”
2.
Al-tsi’r
Ulama fiqih
membagi al-si’r menjadi dua macam:
-
Harga yang
berlaku secara alami, tanpa campur tangan pemerintah. Dua dari empat mazhab
terkenal, Hambali dan Syafi’i, menyatakan bahwa pemerintah tidak mempunyai hak
untuk menetapkan harga.
-
Harga suatu
komoditas yang ditetapkan pemerintah setelah mempertimbangkan modal dan
keuntungan wajar bagi pedagang ataupun produsen serta melihat keadaan ekonomi
riil dan daya beli masyarakat. Mekanisme ini lazim al-Tas’ir al-Jabari.
Islam
menghargai hak penjual dan pembeli untuk menentukan harga sekaligus melindungi
hak keduanya. Dalam rangka melindungi hak penjual dan pembeli, Islam
membolehkan bahkan mewajibkan pemerintah melakukan penetapan harag bila
kenaikan harga disebabkan adanya penyimpangan antara permintaan dan penawaran.
Konsep harga
yang adil telah dikenal oleh rasullulah, yang kemudian banyak menjadi
pembahasan dari para ulama di masa kemudian. Adanya suatu harga yang adil telah
menjadi pegangan yang mendasar dalam transaksi yang Islami. Secara umum harga
yang adil adalah : harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan
(kezaliman) sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang
lain. Penentuan harga dalam Islam ditentukan oleh kekuatan penawaran dan
permintaan yang terjadi secara alami.
Dari uraian
di atas dapat penulis pahami bahwa diperbolehkan bagi siapa pun untuk mencari
keuntungan tanpa ada batasan keuntungan tertentu selama mematuhi hukum-hukum
Islam. Serta menentukan standar harga sesuai dengan kondisi pasar yang sehat.
Namun bila terjadi penyimpangan dan kesewenang-wenangan harga dengan merugikan
pihak konsumen, tidak ada halangan bagi pihak penguasa, sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya, untuk membatasi keuntungan pedagang atau mematok harga.
Tindakan ini dilakukan harus melalui konsultasi dan musyawarah dengan
pihak-pihak terkait agar tidak ada yang dilangkahi maupun dirugikan hak-haknya.
C.
Jual Beli
Tanpa Penetapan Harga
Di muka
telah di jelaskan tentang jual beli dan penetapan harga. Lantas, bagaimana
dengan jual beli tanpa penetapan harga?? Dalam Al-qur’an dijelaskan :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ
تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“… janganlah
kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS.
An-Nisaa’: 29)
Kata saling
rela tersebut, kami artikan sebagai suatu kehalalan dalam jual beli tanpa
penetapan harga. Karena kedua belah pihak sama-sama mengetahui hal tersebut
(ketiadaan harga yang jelas). Dalam hal ini yang kami contohkan adalah sistem
lelang. Dimana dalam lelang, belum ada kepastian/penetapan harga. Harga dimulai
dari sebuah penawaran harga yang belum pasti dan kepastiannya hanya akan
diperoleh di akhir transaksi. Yakni pada penawaran tertinggi.
Kebolehan
jual beli tanpa ketentuan harga lantas bukan berarti tanpa syarat.
Syarat-syarat tersebut juga perlu diperhatikan. Diantaranya :
1. Tidak
diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan
jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ
عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
“Seorang
muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim
menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim,
melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu
Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh
Salim bin ‘Ied Al Hilali)
2.
Tidak ada
unsur gharor/spekulasi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ
غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
“Barang
siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.
Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu
Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al
Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly).
3.
Timbul
kerelaan diantara kedua belah pihak. Seperti hadis yang telah dikemukakan di
keterangan sebelumnya.[3]
[4]Atau dengan
kata lain kalau ada seseorang menjual komoditas atau barang dagangannya tanpa
menyebutkan / diketahui harganya, maka apakah sah jual beli seperti ini
atau tidak sah?
- Pendapat pertama, akad jual beli ini fasid, ditetapkan kepemilikan apabila ia telah menggenggamnya dan mesti mengganti nilainya. ini adalah pendapat Mazhab Hanafi.
- Pendapat kedua, jual beli ini batil. Ini adalah pendapat Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali.
- Pendapat ketiga, sah jual belinya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibn Taimiyyah
Adapun dalil
jumhur batalnya jual beli ini adalah QS. Al-Nisa: 29. Dalam ayat tersebut
disyaratkan keridoan, dan rido tidak bisa dikaitkan kecuali kalau diketahui.
Kemudian Nabi melarang jual beli gharar. Ketika harganya tidak diketahui maka
itu masuk ke dalam gharar yang dilarang.
Adapun alasan Ibn Taimiyyah atas
sahnya jual beli ini adalah :
Dalil
pertama:
حَدَّثَنَا
عَمْرٌو عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَكُنْتُ عَلَى بَكْرٍ صَعْبٍ
لِعُمَرَ فَكَانَ يَغْلِبُنِي فَيَتَقَدَّمُ أَمَامَ الْقَوْمِ فَيَزْجُرُهُ
عُمَرُ وَيَرُدُّهُ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ فَيَزْجُرُهُ عُمَرُ وَيَرُدُّهُ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعُمَرَ بِعْنِيهِ قَالَ هُوَ لَكَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِعْنِيهِ فَبَاعَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
هُوَ لَكَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ تَصْنَعُ بِهِ مَا شِئْتَ
telah
menceritakan kepada kami ‘Amru dari Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma berkata:
“Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu perjalanan
yang ketika itu aku menunggang anak unta yang masih liar milik ‘Umar. Anak unta
itu selalu mendahulukanku (membawaku paling depan). Maka ia berjalan pada
barisan paling depan, lalu ‘Umar membentaknya dan mengembalikannya ke belakang.
Namun ia kembali maju paling depan dan ‘Umarpun kembali membentak dan
mengembalikannya ke belakang. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata, kepada ‘Umar: “Juallah anak unta itu kepadaku”. ‘Umar menjawab: “Ia
untukmu wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Juallah kepadaku”. Maka ‘Umarpun
menjualnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sekarang anak unta itu untukmu wahai
‘Abdullah bin ‘Umar kamu dapat berbuat dengannya sesukamu”. (HR. Al-Bukhari)
Adapun metode istidlal dari hadits
ini adalah bahwa Nabi saw membeli unta dari Umar tanpa menyebutkan harganya,
dan menghibahkannya kepada Abdullah bin Umar
Dalil kedua adalah
Apabila pembuat syara membolehkan
nikah tanpa menyebut nama mahar, sebagaimana firman-Nya dalam QS.
Al-Baqarah:236, maka termasuk bab lebih utama bahwa jual beli itu boleh dengan
harga mitsl.
Dalil ketiga diqiyaskan
kepada hibah dengan syarat balasan, para fukaha mengatakan bahwa itu sah
walaupun tidak disebutkan harganya. Kemduian banyak fukaha membolehkan akad
ijarah dengan upah mitsl.
Dibyan
Muhammad Dibyan mengatakan pendapat yang rajih/kuat boleh jual beli
tanpa menyebutkan harganya, ini karena penjual dan pembeli ketika mereka
bertransaksi tanpa menyebutkan upahnya, kedua lisannya telah merelakan dalam
mengambil komoditas dengan harga mitsl, jika keduanya rido akan hal itu maka
boleh. Harganya walaupun tidak ditentukan akan tetapi ia itu bisa ditentukan.
Pada hari ini orang-orang masih bermuamalah dengan hal ini. Seseorang mengambil
kebutuhanya dari penjaga toko atau penjual daging, atau penjual buah-buahan,
dan ketika mengambil mereka tidak sepakat dengan harganya Kemudian
dihitung jumlahnya di akhir bulan. Jual beli ini adalah bentuk dari jual beli mua’thah,
dan jual beli mu’athah itu boleh. (al-Muamalah al-Maliyyah, 1432,
2:287-291)
PENUTUP
Tanpa kita
sadari dalam kegiatan sehari-hari kita pun dalam melakukan transaksi jual beli
tanpa mengetahui harga terlebih dahulu, semisal kalau kita makan di
warung-warung nasi maupun tempat makan lainnya khususnya warung-warung makan
tradisional seperti Warteg ataupun Warung Makan Padang kebanyakan harga tidak
dicantumkan dan bahkan kalau kita mau makan kita langsung pesan menu yang kita
mau tanpa mengetahui harga terlebih dahulu.
Segala kegiatan dalam bermuamalah pada dasarnya mubah. Akan tetapi bisa
berubah jika ada dalil yang menerangkannya. Begitu juga dengan jual beli. Sah
dilakukan dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam islam.
Lebih
spesifik lagi hal yang ada dalam jual beli yaitu jual beli tanpa ketentuan
harga. Disini kami memberi argument tentang hal tersebut. Yakni kehalalan
atasnya. Akan tetapi dengan syarat sebagai berikut :
1.
Tidak ada
unsur gharor/spekulasi
2.
Tidak
terjadi kecurangan
3.
Adanya
kerelaan dari kedua belah pihak.
Demikian
penjelasan saya seputar jual beli tanpa penetapan harga. Mohon maaf jika ada
kesalahan keterangan maupun penulisan. Terimakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar