Mudharabah di Perbankan
Dosen Pengampu :
Dr. Faqiuddin Abdul Kodir, Lc. MA
Nama:
Nurul Aeni (
1413222041)
Fakultas Syariah / Muamalah 1 / Semester VII
KEMENTRIAN
AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI CIREBON
Tahun
2016
ABSTRAK
Bank syariah dalam prakteknya hanya
menerapkan sistem bagi hasil, tidak bagi rugi, posisi Bank Syariah adalah
sebagai perantara dari dua belah pihak yaitu, penabung dengan investor. Bank
syariah menjadi mudharib ketika berhadapan dengan penabung (investor) dan Bank
menjadi shahib al mal ketika berhadapan dengan pengusaha. Esensi dari kontrak
mudharabah yaitu akad kerja sama untuk mencapai profit berdasarkan akumulasi
komponen dasar dari pekerja dan pemodal, ketentuan itu ditentukan melalui
resiko dan penenuan keuntungan (profit) dalam mudharabah. Pihak investor
menanggung resiko kerugian modal yang telah diberikan, sedang pihak mudharib
menanggung resiko tidak mendapatkan keuntungan dari hasil pekerjaan dan usaha
yang telah dijalankannya, dengan catatan apabila kerjasama itu tidak
menghasilkan keuntungan (profit). Apabila terjadi kerugian dari proyek
yang dijalankan nasabah masing-masing pihak secara berimbang menanggung
kerugian tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pengertian
Mudharabah
Mudharabah adalah
pembiayaan untuk masyarakat yang memiliki keahlian tetapi tidak punya modal,
Bank Syariah bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek usaha. Bank Syari’ah
sebagai shohibul mal (pemilik modal) memberikan pinjaman modal usaha
pada masyarakat (mudhorib) untuk dikelola secara baik. Rasio keuntungan misqalnya
30%:70%, 35%:65% atau 40%:60% sesuai kesepakatan yang dibuat antara Bank
Syari’ah dengan nasabah. Apabila terjadi kerugian dari proyek yang dijalankan
nasabah masing-masing pihak secara berimbang menanggung kerugian tersebut.
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha
antara dua pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul
maal) yang menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya sebagai
pengelola usaha (mudharib). Keuntungan usaha yang didapatkan dari akad
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, dan
biasanya dalam bentuk nisbah (prosentase). Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian,
maka kerugian itu ditanggung oleh shahibul maal sepanjang kerugian itu bukan
akibat kelalain mudharib. Sedangkan mudharib menanggung kerugian atas upaya,
jerih payah dan waktu yang telah dilakukan untuk menjalankan usaha. Namun, jika
kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus
bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Secara
umum mudharabah dibagi menjadi dua macam, yaitu: mudharabah muthlaqah dan
mudharabah muqayyadah.[1]
Berikut ini akan dikemukakan kedua macam pembagian mudharabah di atas.
a. Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan mudharabah
muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara pemodal (shahib al-mal)
dan pengusaha (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam mudharabah
muthlaqah ini shahib al-mal memberikan kekuasaan yang sangat
besar kepada mudharib dalam mengelola modal dan usahanya.[2]
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah
muqayyadah atau biasa disebut juga dengan istilah restricted
mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah
muthlaqah, dimana pengelola usaha (mudharib) dibatasi dengan
jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Dengan adanya batasan ini seringkali
mencerminkan kecenderungan umum pemilik modal (shahib al-mal) dalam
memasuki jenis dunia usaha.[3]
B.
Mudharabah
merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandasakan atas dalil-dalil yang
terdapat dalam Al Qur'an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Di antara dalil
(landasan syariah) yang memperbolehkan praktik akad mudharabah.
Mudharabah
hukumnya
adalah boleh sesuai dengan ijma’ (kesepakatan) ulama. Di dalam Al-Qur’an maupun
hadis banyak dijumpai ayat maupun hadis yang menganjurkan manusia untuk
menjalankan usaha.[4] Berikut
ini akan dipaparkan beberapa ayat dan hadits berkenaan dengan anjuran untuk
melakukan usaha.
1. Firman
Allah:
“Dia
mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang
yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang
lain lagi yang berperang di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20).
Yang menjadi argumen dan dasar
dilakukannya akad mudharabah dalam ayat ini adalah kata „yadhribun‟ yang sama
dengan akar kata mudharabah yang memiliki makna melakukan suatu perjalanan
usaha.
2. Firman
Allah dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10:
“Apabila salat telah dilaksanakan, maka
bertebaranlah kamu dimuka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Dan firman-Nya:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS.
al-Ma’idah: 1)
Firman Allah:
“Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283).
3. “Abbas
bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan
kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah,
serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib)
harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu
didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”.
Hadits riwayat Thabrani dari Ibnu
Abbas merujuk pada keabsahan melakukan transaksi mudharabah. Kedudukan hadits
ini lemah, namun demikian dalam bab mudharabah selalu dijadikan acuan para
fuqaha (ahli fiqh). Hadits ini menunjukkan praktik pembiayaan mudharabah,
khususnya mudharabah muqayyadah, karena shahibul maal sebagai penyedia dana
memberikan beberapa persyaratan bagi mudharib dalam mengelola dana yang
diberikan. Isi hadits ini jelas sekali memberikan legalitas praktik pembiayaan
mudharabah.
4. Hadits
riwayat Ibnu Majah
“Nabi bersabda, ada tida hal yang
mengandung berkah; jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan
mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
dijual”. Hadits riwayat Ibnu Majah merupakan dalil lain dibolehkannya praktik
mudharabah. Kedudukan hadits ini lemah, namun demikian banyak ulama yang
menggunakannya sebagai dalil untuk akad mudharabah ataupun jual beli tempo.
Ulama menyatakan bahwa keberkahan
dalam arti tumbuh dan menjadi lebih baik, terdapat pada perniagaan, terlebih
pada jual beli yang dilakukan secara tempo ataupun akad mudharabah sebagaimana
disabdakan Rasulullah dalam hadits tersebut.
Dengan menunjuk adanya keberkahan
ini, hal ini mengindikasikan diperbolehkannya praktik mudharabah. Dengan adanya
mudharabah ini, maka usaha yang dijalankan oleh nasabah akan berkembang dan
tumbuh menjadi lebih baik, begitu juga dengan pihak bank, modalnya akan
bertambah karena akan mendapatkan financial return.
Rasulullah pernah melakukan mudharabah dengan khadijah,
dengan modal daripadanya (Khadijah). Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal
tersebut untuk diperdagangkannya. Ini sebelum beliau diangkat menjadi nabi.
Disamping itu ada alasan lain yang dipergunakan oleh para ulama, yaitu kasus mudharabah
yang dilakukan oleh Abbas bin Abd Muthalib dan Rasulullah pun mengakui akad
tersebut.
Menurut sunnah diantaranya
hadits Ibnu Abbas ra: “Nabi mengakui syarat-syarat mudharabah yang ditetapkan
Al-‘Abbas bin Abdul Muthalib kepada mudharib.
Menurut Ijma, karena sistem ini
sudah dikenal sejak zaman nabi dan zaman sesudahnya. Para sahabat banyak
mempraktikannya dan tidak ada yang mengingkarinya.
5. Kesepakatan
ulama akan bolehnya Mudharabah dikutip dari Dr. Wahbah Zuhaily dari kitab
Alfiqh Al Islamy Wa Adillatuh. Diriwayatkan bahwa sejumlah sahabat melakukan
mudharabah dengan menggunakan harta anak yatim sebagai modal dan tak seorangpun
dari mereka yang menyanggah ataupun menolak. Jika praktik sahabat dalam suatu
amalan tertentu yang disaksikan oleh sahabat yang lain lalu tidak seorangpun menyanggahnya,
maka hal itu merupakan ijma‟. Ketentuan ijma' ini secara sharih mengakui
keabsahan praktik pembiayaan mudharabah dalam sebuah perniagaan.
6. Menurut
Alaudin Abu Bakar Mas’ud al-Kasani, Badai al- Sama’i fi Tartib al-Syarai’ dalam
bukunya yaitu al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani tahun 2005, cetakan ke
XIII halaman 151 yaitu:
“
Manusia membutuhkan akad mudharabah, karena terkadang ada orang yang mempunyai
modal, akan tetapi tidak mempunyai keterampilan berdagang, sementara ada yang
mempunyai keterampilan berdagang tidak mempunyai modal. Maka dalam mudharabah
keduanya bisa bersinergi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Allah tidak
mensyariatkan akad (mudharabah) kecuali untuk menciptakan kemaslahatan dan
memenuhi kebutuhan hamba-Nya.”
Artinya
manusia membutuhkan akad mudharabah sebagai pegangan untuk menjalankan usaha
yang halal.
Ibnu Qudamah mejelaskan dalam
kitab Al-Mughni (VII/171). Intinya, apabila terlihat keuntungan pada harta
mudharabah, maka pihak pengelola tidak boleh mengambilnya tanpa seizin pihak
pemodal. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ulama dalam
masalah ini. Pihak pengelola tidak berhak mengambilnya karena tiga alasan.
Imam Ibnu Qudamah menyarakan
: “Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan
pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak –siapa saja-, dengan kematian,
gila atau dibatasi karena idiot. Hal itu, karena ia beraktivitas pada harta
orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakil dan tidak ada bedanya antara
sebelum beraktivitas dan sesudahnya”
Pertama : Keuntungan digunakan
untuk menutupi modal dasar, masih terbuka kemungkinan keuntungan tersebut
dipakai untuk menutupi kerugian. Sehingga belum bisa disebut sebagai keuntungan.
Kedua : Pemilik modal dalam hal
ini mitra bisnisnya, dia tidak boleh memotong haknya sebelum pembagian.
Ketiga : Kepemilikan atas
keuntungan itu belum tetap, karena bisa saja keuntungan tersebut diambil
kembali untuk menutupi kerugian. Namun, apabila pemilik modal mengizinkannya
maka ia boleh mengambilnya.karena harta tersebut merupakan hak mereka berdua,
dan tidak akan keluar dari hak keduanya.
C.
Ulama
yang Tidak Memperbolehkan Praktik Mudharabah
Ada beberapa para ulama yang mengharamkannya praktik
Mudharabah, karena beberapa cara pengelolaannya yang tidak sesuai syariat
Islam:[5]
a.
Menurut Ibnu Qudamah Al-Madiqsi
menyatakan: “Tidak diperbolehkan bagi sang amil membeli khamr atau babi, baik
keduanya (pemodal dan pengelola) muslim atau salah satunya muslim yang lainnya,
maka akad Mudharabah itu menjadi haram.”
b.
Menurut Madzhab Malikiyah dan Syafi’i
tidak memperbolehkannya, karena dengan alasan membatasi ruang gerak sang a’mil,
khususnya bila barang yang dipersyaratkan sulit ketersdiaannya (dipasaran).
c.
Menurut Jumhur Ulama, mudharabah itu
tidak boleh ditentukan waktunya.
d.
Menurut Al-Imam Malik dan Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughni menyatakan “Sang amil tidak diperbolehkan melakukan akad qiradh
(mudharabah) dengan pihak lain kecuali dengan perintah shahibul maal.
D.
Menurut
Pendapat Saya tentang Praktik Mudharabah
Dan menurut
pendapat saya, bahwasannya Mudharabah di Perbankan itu diperbolehkan asal sesuai
dengan syariat Islam. Dan hikmah disyariatkannya mudharabah ini adalah
mempermudah manusia dalam bekerja sama untu mengembangkan modal secara suka
sama suka sesuai dengan ketentuan syariat. Tidak ada pihak yang dizalimi dan
dijalankan secara jujur dan bertanggung jawab. Pihak yang punya modal dapat
membantu pihak lain yang mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengembangkan
usaha. Dengan catatan harus memenuhi dengan Rukun dan syarat Mudharabah.
Contohnya:
Misalkan seorang pedagang yang
memerlukan modal untuk berdagang dapat mengajukan permohonan untuk pembiyaan
bagi hasil seperti mudharabah di mana Bank Syari’ah bertindak selaku shohibul
mal dan nasabah selaku mudhorib. Caranya adalah dengan menghitung
dulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang
bersangkutan. Misalnya dari modal Rp 30.000.000,- diperoleh pendapatan Rp
5.000.000,- per bulan. Dari pendapatan ini harus disisihkan dahulu untuk
tabungan pengembalian modal, misalnya Rp 2.000.000,- selebihnya dibagi antara
bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60% untuk nasabah dan
40% untuk bank.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mudharabah adalah
pembiayaan untuk masyarakat yang memiliki keahlian tetapi tidak punya modal,
Bank Syariah bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek usaha. Bank Syari’ah
sebagai shohibul mal (pemilik modal) memberikan pinjaman modal usaha
pada masyarakat (mudhorib) untuk dikelola secara baik. Rasio keuntungan misqalnya
30%:70%, 35%:65% atau 40%:60% sesuai kesepakatan yang dibuat antara Bank
Syari’ah dengan nasabah.
2. Mudharabah hukumnya
adalah boleh sesuai dengan ijma’ (kesepakatan) ulama. Dan ada beberapa QS yang
menguatkannya yaitu QS. Al-Muzzammil ayat 20,
QS. Al-Jumuah ayat 10, QS. Al-Baqarah: 283, dan QS. Al-Maidah ayat 1. Ada
beberapa hadits dan para Ulama yang membolehkan atau menghalalkan Praktik
Mudharabah asal sesuai dengan rukun dan syariat yang berlaku dalam Islam.
3. Dan
ada beberapa para Ulama yang tidak memperbolehkan atau mengharamkannya karena
praktiknya tidak sesuai dengan syariat Islam.
4. Menurut
pendapat Saya, bahwasannya praktik Mudharabah itu diperbolehkan asal dengan
rukun syariat Islam atau tidak menyeleweng dalam ajaran Islam.
B.
SARAN
Semoga masyarakat dalam
bisa memilih akad di perbankan dengan sebaik mungkin dan yang sesuai kebutuhan,
agar tidak terjadi kesalahpahaman antara Pihak Perbankan dan Nasabah
DAFTAR
PUSTAKA
Antonio,
Muhammad Syafi’i, Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, Jakarta, Gema
Insani Press, 2001.
Sabiq,
Sayyid, Fiqih Sunnah, Jilid IV, Jakarta, Pena Pundi Aksara,
penerjemah: Nor Hasanuddin, 2006.
http://asysyariah.com/ketentuan-ketentuan-mudharabah/
diakses pada tanggal 10 Desember 2016, pada pukul 20:08 WIB.
[1]
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syariah: dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),
hlm. 97.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah
Jilid IV, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), penerjemah: Nor Hasanuddin,
hlm. 173)
[5]
http://asysyariah.com/ketentuan-ketentuan-mudharabah/
diakses pada tanggal 10 Desember 2016, pada pukul 20.08 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar