Rabu, 14 Desember 2016

Nurul Aeni - Mudharabah di Perbankan



Mudharabah di Perbankan
Tugas ini Disusun dan Diajukan untuk memenuhi Tugas Mandiri Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu :
Dr. Faqiuddin Abdul Kodir, Lc. MA






Nama:
Nurul Aeni                 ( 1413222041)


Fakultas Syariah / Muamalah 1 / Semester VII
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
Tahun 2016
ABSTRAK
            Bank syariah dalam prakteknya hanya menerapkan sistem bagi hasil, tidak bagi rugi, posisi Bank Syariah adalah sebagai perantara dari dua belah pihak yaitu, penabung dengan investor. Bank syariah menjadi mudharib ketika berhadapan dengan penabung (investor) dan Bank menjadi shahib al mal ketika berhadapan dengan pengusaha. Esensi dari kontrak mudharabah yaitu akad kerja sama untuk mencapai profit berdasarkan akumulasi komponen dasar dari pekerja dan pemodal, ketentuan itu ditentukan melalui resiko dan penenuan keuntungan (profit) dalam mudharabah. Pihak investor menanggung resiko kerugian modal yang telah diberikan, sedang pihak mudharib menanggung resiko tidak mendapatkan keuntungan dari hasil pekerjaan dan usaha yang telah dijalankannya, dengan catatan apabila kerjasama itu tidak menghasilkan keuntungan (profit). Apabila terjadi kerugian dari proyek yang dijalankan nasabah masing-masing pihak secara berimbang menanggung kerugian tersebut.













BAB I
PENDAHULUAN

A.    Pengertian Mudharabah
      Mudharabah adalah pembiayaan untuk masyarakat yang memiliki keahlian tetapi tidak punya modal, Bank Syariah bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek usaha. Bank Syari’ah sebagai shohibul mal (pemilik modal) memberikan pinjaman modal usaha pada masyarakat (mudhorib) untuk dikelola secara baik. Rasio keuntungan misqalnya 30%:70%, 35%:65% atau 40%:60% sesuai kesepakatan yang dibuat antara Bank Syari’ah dengan nasabah. Apabila terjadi kerugian dari proyek yang dijalankan nasabah masing-masing pihak secara berimbang menanggung kerugian tersebut.
      Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola usaha (mudharib). Keuntungan usaha yang didapatkan dari akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, dan biasanya dalam bentuk nisbah (prosentase).  Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh shahibul maal sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalain mudharib. Sedangkan mudharib menanggung kerugian atas upaya, jerih payah dan waktu yang telah dilakukan untuk menjalankan usaha. Namun, jika kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
      Secara umum mudharabah dibagi menjadi dua macam, yaitu: mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.[1] Berikut ini akan dikemukakan kedua macam pembagian mudharabah di atas.
a.      Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara pemodal (shahib al-mal) dan pengusaha (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam mudharabah muthlaqah ini shahib al-mal memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada mudharib  dalam mengelola modal dan usahanya.[2]
b.      Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau biasa disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah  adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana pengelola usaha (mudharib) dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Dengan adanya batasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum pemilik modal (shahib al-mal) dalam memasuki jenis dunia usaha.[3]
B.     Mudharabah merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandasakan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur'an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Di antara dalil (landasan syariah) yang memperbolehkan praktik akad mudharabah.
       Mudharabah hukumnya adalah boleh sesuai dengan ijma’ (kesepakatan) ulama. Di dalam Al-Qur’an maupun hadis banyak dijumpai ayat maupun hadis yang menganjurkan manusia untuk menjalankan usaha.[4] Berikut ini akan dipaparkan beberapa ayat dan hadits berkenaan dengan anjuran untuk melakukan usaha.
1.      Firman Allah:
            “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20).
Yang menjadi argumen dan dasar dilakukannya akad mudharabah dalam ayat ini adalah kata „yadhribun‟ yang sama dengan akar kata mudharabah yang memiliki makna melakukan suatu perjalanan usaha.
2.      Firman Allah dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10:
“Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.


Dan firman-Nya:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS. al-Ma’idah: 1)
Firman Allah:
“Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283).

3.      “Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”.
Hadits riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas merujuk pada keabsahan melakukan transaksi mudharabah. Kedudukan hadits ini lemah, namun demikian dalam bab mudharabah selalu dijadikan acuan para fuqaha (ahli fiqh). Hadits ini menunjukkan praktik pembiayaan mudharabah, khususnya mudharabah muqayyadah, karena shahibul maal sebagai penyedia dana memberikan beberapa persyaratan bagi mudharib dalam mengelola dana yang diberikan. Isi hadits ini jelas sekali memberikan legalitas praktik pembiayaan mudharabah.

4.      Hadits riwayat Ibnu Majah
“Nabi bersabda, ada tida hal yang mengandung berkah; jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual”. Hadits riwayat Ibnu Majah merupakan dalil lain dibolehkannya praktik mudharabah. Kedudukan hadits ini lemah, namun demikian banyak ulama yang menggunakannya sebagai dalil untuk akad mudharabah ataupun jual beli tempo.
Ulama menyatakan bahwa keberkahan dalam arti tumbuh dan menjadi lebih baik, terdapat pada perniagaan, terlebih pada jual beli yang dilakukan secara tempo ataupun akad mudharabah sebagaimana disabdakan Rasulullah dalam hadits tersebut.
Dengan menunjuk adanya keberkahan ini, hal ini mengindikasikan diperbolehkannya praktik mudharabah. Dengan adanya mudharabah ini, maka usaha yang dijalankan oleh nasabah akan berkembang dan tumbuh menjadi lebih baik, begitu juga dengan pihak bank, modalnya akan bertambah karena akan mendapatkan financial return.
Rasulullah pernah melakukan mudharabah dengan khadijah, dengan modal daripadanya (Khadijah). Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkannya. Ini sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Disamping itu ada alasan lain yang dipergunakan oleh para ulama, yaitu kasus mudharabah yang dilakukan oleh Abbas bin Abd Muthalib dan Rasulullah pun mengakui akad tersebut.
       Menurut sunnah diantaranya hadits Ibnu Abbas ra: “Nabi mengakui syarat-syarat mudharabah yang ditetapkan Al-‘Abbas bin Abdul Muthalib kepada mudharib.
       Menurut Ijma, karena sistem ini sudah dikenal sejak zaman nabi dan zaman sesudahnya. Para sahabat banyak mempraktikannya dan tidak ada yang mengingkarinya.

5.      Kesepakatan ulama akan bolehnya Mudharabah dikutip dari Dr. Wahbah Zuhaily dari kitab Alfiqh Al Islamy Wa Adillatuh. Diriwayatkan bahwa sejumlah sahabat melakukan mudharabah dengan menggunakan harta anak yatim sebagai modal dan tak seorangpun dari mereka yang menyanggah ataupun menolak. Jika praktik sahabat dalam suatu amalan tertentu yang disaksikan oleh sahabat yang lain lalu tidak seorangpun menyanggahnya, maka hal itu merupakan ijma‟. Ketentuan ijma' ini secara sharih mengakui keabsahan praktik pembiayaan mudharabah dalam sebuah perniagaan.
6.      Menurut Alaudin Abu Bakar Mas’ud al-Kasani, Badai al- Sama’i fi Tartib al-Syarai’ dalam bukunya yaitu al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani tahun 2005, cetakan ke XIII halaman 151 yaitu:
       “ Manusia membutuhkan akad mudharabah, karena terkadang ada orang yang mempunyai modal, akan tetapi tidak mempunyai keterampilan berdagang, sementara ada yang mempunyai keterampilan berdagang tidak mempunyai modal. Maka dalam mudharabah keduanya bisa bersinergi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Allah tidak mensyariatkan akad (mudharabah) kecuali untuk menciptakan kemaslahatan dan memenuhi kebutuhan hamba-Nya.”
       Artinya manusia membutuhkan akad mudharabah sebagai pegangan untuk menjalankan usaha yang halal.
       Ibnu Qudamah mejelaskan dalam kitab Al-Mughni (VII/171). Intinya, apabila terlihat keuntungan pada harta mudharabah, maka pihak pengelola tidak boleh mengambilnya tanpa seizin pihak pemodal. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ulama dalam masalah ini. Pihak pengelola tidak berhak mengambilnya karena tiga alasan.
       Imam Ibnu Qudamah menyarakan : “Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak –siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot. Hal itu, karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakil dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya”
       Pertama : Keuntungan digunakan untuk menutupi modal dasar, masih terbuka kemungkinan keuntungan tersebut dipakai untuk menutupi kerugian. Sehingga belum bisa disebut sebagai keuntungan.
       Kedua : Pemilik modal dalam hal ini mitra bisnisnya, dia tidak boleh memotong haknya sebelum pembagian.
       Ketiga : Kepemilikan atas keuntungan itu belum tetap, karena bisa saja keuntungan tersebut diambil kembali untuk menutupi kerugian. Namun, apabila pemilik modal mengizinkannya maka ia boleh mengambilnya.karena harta tersebut merupakan hak mereka berdua, dan tidak akan keluar dari hak keduanya.

C.    Ulama yang Tidak Memperbolehkan Praktik Mudharabah
Ada beberapa para ulama yang mengharamkannya praktik Mudharabah, karena beberapa cara pengelolaannya yang tidak sesuai syariat Islam:[5]
a.       Menurut Ibnu Qudamah Al-Madiqsi menyatakan: “Tidak diperbolehkan bagi sang amil membeli khamr atau babi, baik keduanya (pemodal dan pengelola) muslim atau salah satunya muslim yang lainnya, maka akad Mudharabah itu menjadi haram.”
b.      Menurut Madzhab Malikiyah dan Syafi’i tidak memperbolehkannya, karena dengan alasan membatasi ruang gerak sang a’mil, khususnya bila barang yang dipersyaratkan sulit ketersdiaannya (dipasaran).
c.       Menurut Jumhur Ulama, mudharabah itu tidak boleh ditentukan waktunya.
d.      Menurut Al-Imam Malik dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menyatakan “Sang amil tidak diperbolehkan melakukan akad qiradh (mudharabah) dengan pihak lain kecuali dengan perintah shahibul maal.

D.    Menurut Pendapat Saya tentang Praktik Mudharabah
       Dan menurut pendapat saya, bahwasannya Mudharabah di Perbankan itu diperbolehkan asal sesuai dengan syariat Islam. Dan hikmah disyariatkannya mudharabah ini adalah mempermudah manusia dalam bekerja sama untu mengembangkan modal secara suka sama suka sesuai dengan ketentuan syariat. Tidak ada pihak yang dizalimi dan dijalankan secara jujur dan bertanggung jawab. Pihak yang punya modal dapat membantu pihak lain yang mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengembangkan usaha. Dengan catatan harus memenuhi dengan Rukun dan syarat Mudharabah.
Contohnya:
       Misalkan seorang pedagang yang memerlukan modal untuk berdagang dapat mengajukan permohonan untuk pembiyaan bagi hasil seperti mudharabah di mana Bank Syari’ah bertindak selaku shohibul mal dan nasabah selaku mudhorib. Caranya adalah dengan menghitung dulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan. Misalnya dari modal Rp 30.000.000,- diperoleh pendapatan Rp 5.000.000,- per bulan. Dari pendapatan ini harus disisihkan dahulu untuk tabungan pengembalian modal, misalnya Rp 2.000.000,- selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk bank.




























BAB II
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Mudharabah adalah pembiayaan untuk masyarakat yang memiliki keahlian tetapi tidak punya modal, Bank Syariah bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek usaha. Bank Syari’ah sebagai shohibul mal (pemilik modal) memberikan pinjaman modal usaha pada masyarakat (mudhorib) untuk dikelola secara baik. Rasio keuntungan misqalnya 30%:70%, 35%:65% atau 40%:60% sesuai kesepakatan yang dibuat antara Bank Syari’ah dengan nasabah.
2.      Mudharabah hukumnya adalah boleh sesuai dengan ijma’ (kesepakatan) ulama. Dan ada beberapa QS yang menguatkannya yaitu QS. Al-Muzzammil ayat 20, QS. Al-Jumuah ayat 10, QS. Al-Baqarah: 283, dan QS. Al-Maidah ayat 1. Ada beberapa hadits dan para Ulama yang membolehkan atau menghalalkan Praktik Mudharabah asal sesuai dengan rukun dan syariat yang berlaku dalam Islam.
3.      Dan ada beberapa para Ulama yang tidak memperbolehkan atau mengharamkannya karena praktiknya tidak sesuai dengan syariat Islam.
4.      Menurut pendapat Saya, bahwasannya praktik Mudharabah itu diperbolehkan asal dengan rukun syariat Islam atau tidak menyeleweng dalam ajaran Islam.

B.     SARAN
Semoga masyarakat dalam bisa memilih akad di perbankan dengan sebaik mungkin dan yang sesuai kebutuhan, agar tidak terjadi kesalahpahaman antara Pihak Perbankan dan Nasabah





DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, Jakarta, Gema Insani Press, 2001.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jilid IV, Jakarta, Pena Pundi Aksara, penerjemah: Nor Hasanuddin, 2006.
http://asysyariah.com/ketentuan-ketentuan-mudharabah/ diakses pada tanggal 10 Desember 2016, pada pukul 20:08 WIB.


[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 97.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid IV, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), penerjemah: Nor Hasanuddin, hlm. 173)
[5] http://asysyariah.com/ketentuan-ketentuan-mudharabah/ diakses pada tanggal 10 Desember 2016, pada pukul 20.08 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar