TAX
AMNESTY
Makalah ini Disusun dan Diajukan untuk
memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu :
Dr. Faqiuddin Abdul Kodir,
Lc. MA
Disusun oleh:
Lia Nur Alifah (1413223073)
Fakultas Syariah / Muamalah 1 / Semester
VII
KEMENTRIAN
AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI CIREBON
Tahun
2016
MASAIL UL-FIQHIYAH
TAX AMNESTY
Lia Nur Alifah
Fakultas
Syariah & Ekonomi Islam
IAIN
Syekh Nurjati Cirebon
E-mail:
lianuralifah@gmail.com
Abstrak:
Tax
Amnesty Perspektif Fiqh. Pajak (dharibah)
sampai sekarang masih terjadi pro dan kontra dikalangan ulama-ulama, begitupun
dengan kebijakan didalamnya yaitu salah satunya kebijakan tax amnesty. Studi
ini bermaksud menggali pandangan ulama fikih terhadap tax amnesty (pengampunan
pajak) dan bagaimana upaya preventif dari kebijakan tax amnesty tersebut. Menurut
Fikih Islam, tentang tax amnesty tergantung bagaimana orang tersebut menilai
“pajak” itu sendiri. Apabila dia berkata pajak itu haram, maka segala kebijakan
mengenai pajak adalah haram. Namun apabila orang tersebut memandang bahwa pajak
itu halal maka segala kebijakan mengenai pajak adalah halal. Kebijakan pajak
diambil harus dengan adil, dan untuk kepentingan umum serta demi kesejahteraan
masyarakat. Dalam tulisan inipun Islam memberikan solusi bagaimana Islam
menjawab semua problematika perekonomian negara.
Kata Kunci: kebijakan tax amnesty, fikih
Islam.
1
|
PENDAHULUAN
Berlaku
Global - Tax amnesty is a limited-time opportunity for a specified group of
taxpayers to pay a defined amount, in exchange for forgiveness of a tax
liability (including interest and penalties) relating to a previous tax period
or periods and without fear of criminal prosecution. Menurut "PMK No.
118/PMK.03/2016" Tax Amnesty adalah adalah penghapusan pajak yang
seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi
pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang
Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak. Latar
belakang Tax Amnesty atau mengapa Indonesia perlu memberikan tax amnesty kepada
para pembayar pajak (wajib pajak) diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Penyebab Pertama Indonesia memberlakukan Tax Amnesty adalah
karena terdapat Harta milik warga negara baik di dalam maupun di luar negeri
yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan;
- Tax Amnesty adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak;
- Kasus Panama Pappers
Dari ketiga latar belakang tax amnesty tersebut maka
presiden republik Indonesia pada tanggal 1 Juli 2016 mengesahkan Undang Undang
Tax Amnesty Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.[1]
Menurut Presiden Jokowi, tax
amnesty bukan sekedar pengampunan pajak yang hanya akan menguntungkan
sebagian pihak semata. Terlebih, tax amnesty memiliki esensi repatriasi
bagi warga Negara Indonesia, bagaimana agar uang orang Indonesia yang terlanjur
mengendap di luar negeri itu kembali masuk ke Indonesia. Tahun 2018 kita memang
akan memasuki era keterbukaan informasi, namun jika tax amnesty itu
diberikan kepada mereka yang selama ini tidak taat pajak, lalu keuntungan apa
yang didapat bagi wajib pajak yang selama ini taat pada peraturan?
2
|
3
|
Menteri Keuangan RI menjelaskan bahwa target tax amnesty
ini adalah harta si wajib pajak, bukan dihitung dari pendapatan. Dan harta itu
merupakan akumulasi dari pendapatan-pendapatan sebelumnya juga, maka objek
pajaknya akan menjadi besar. Namun tetap, Pemerintah juga akan memperhatikan
keadilan bagi semua subyek pajak.
Soal keadilan pada subyek wajib pajak, melalui moratorium
pemeriksaan pajak dapat menjadi insentif wajib pajak yang selama ini taat
peraturan. Meskipun memang bagi yang sudah dikabulkan tax amnesty-nya,
maka pajak 5 tahun lalu tidak akan berubah diubah lagi. Namun, kebijakan tax
amnesty juga dapat digulirkan nantinya bagi para pengusaha kecil, dengan tarif
1% misalnya dan itu bersifat final.[2]
Dalam ajaran Islam, kewajiban
utama kaum muslim atas harta adalah zakat. Ulama berbeda pendapat terkait
apakah ada kewajiban kaum muslim atas harta selain zakat. Mayoritas fuqaha
berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya kewajiban kaum muslim atas harta.
Di sisi lain ada pendapat ulama bahwa dalam harta kekayaan ada kewajiban lain
selain zakat. Jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa
kewajiban atas harta yang wajib adalah zakat, namun jika datang kondisi yang
menghendaki adanya keperluan tambahan (darurah), maka akan ada kewajiban
tambahan lain berupa pajak (dharibah). Pendapat ini misalnya dikemukakan oleh
Qadhi Abu Bakar Ibn al-Aarabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam Syatibi, Mahmud
Syaltut, dan lain-lain. Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama
tersebut di atas, alasan utamanya adalah untuk kemaslahatan umat, karena dana
pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika
pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadaratan. Sedangkan
mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban.
Karakteristik pajak (dharibah)
menurut Syariat, yang hal ini membedakannya dengan pajak konvensional adalah sebagai
berikut: (a) Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat
kontinyu, hanya boleh dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau
kurang. (b) Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang
merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk
pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. (c) Pajak (dharibah) hanya
diambil dari kaum muslim, tidak kaum non-muslim.
4
|
(d) Pajak (dharibah) hanya
dipungut dari kaum muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainnya. (e) Pajak (dharibah)
hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh
lebih. (f) Pajak (dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan.[3]
Dari latar belakang inilah perlu
dikaji mengenai tax amnesty, apakah kebijakan ini mashlahat atau tidak? Dan
apakah kebijakan ini adil untuk masyarakat serta demi kepentingan umum?
A.
Tax Amnesty
Menurut
UU No 11 tahun 2016 Pasal 1 tentang
amnesty pajak menjelaskan bahwa amnesty pajak ialah penghapusan pajak yang
seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi admisnistrasi perpajakan dan sanksi
pidana dibidang perpajakan, dengan cara mengungkapkan harta dan membayar uang
tebusan sebagimana diatur dalam UU.
Program
Amnesty Pajak ini diusulkan akibat adanya kasus PANAMA PAPERS yang tercuat dimedia
yang mana kasus ini ialah adanya WNI yang menaruh uangnya di negara lain yang
jumlahnya kurang lebih ribuan triliyunan rupiah yang berdalih bahwa menaruh
uang diluar negeri lebih aman karena tidak dikenakan pajak oleh negara. Hal ini
yang membuat pemerintah indonesia berinisiatif untuk menarik kembali dana WNI
ke dalam negeri dengan adanya Amnesty Pajak.
Dalam
undang-undang ini tarif uang tebusan atas harta baik berada dalam negeri atau
luar negari dibagi menjadi 3 periode yaitu 2% untu bulan juli-september 2016,
3% untuk oktober-desember 2016, dan 5 % terhitung dari 1 januari 2017- 31 maret
2017. Lain hal jika harta yang berada di luar negeri tidak ingin dipindahkan ke
dalam negeri maka tarif tebusannya dibagi 3 peiode ialah 4% untuk bulan
juli-september 2016, 6% untuk bulan oktober-desember 2016 dan 10% terhitung
dari 1 januari 2017-31 maret 2017.
B.
Pro dan Kontra Tax Amnesty
Kebijakan
tax amnesty ini begitu banyak pro kontra. Secara pro para konglomerat dan
pengusaha besar akan terampuni pajaknya sedangkan masyarakat umum yang
perekonomiannya menengah kebawah merasa tertindas, secara meraka dipaksa untuk
membayar pajak tiap tahun tanpa ampun tapi para pengusaha diberikan fasilitas
pengampunan pajak ini benar-benar menjadi dilematis pemerintah.
Dilansir
berita online Kompas.com senin, 29 agustus 2016. Bahwa PP MUHAMMADIYAH
melakukan gugatan UU Tax amnesty karena merasa prgram ini begitu banyak
ganjalan. Menurut PP Muhamamdiyah, ada
beberapa alasan untuk menggugat tax amnesty ini. Pertama, melencengnya tujuan awal tax amnesty. "Kebijakan ini melenceng dari tujuan,
dan akan membebani masyarakat," tandas Ketua Majelis Hukum dan HAM
PP Muhammadiyah Syaiful Bahri, Minggu (28/8/2016).
5
|
6
|
PP
Muhammadiyah menilai, tujuan tax amnesty adalah memberikan pengampunan ke para
konglomerat yang memarkirkan dananya di luar negeri agar dapat dikembalikan ke
dalam negeri. Kenyataanya, aturan ini meluas hingga rakyat biasa juga
diwajibkan ikut program ini. Jika tidak ikut, kena sanksi," katanya.
Padahal, rakyat tak punya kesalahan seperti yang dilakukan oleh para pengusaha
yang menaruh dananya di luar negeri. Dengan begitu, aturan itu menyamakan
rakyat dengan para konglomerat yang menghindari pajak. Kedua, pembahasan UU Pengampunan Pajak
tidak transparan, karena dilakukan dengan cepat dan tanpa naskah akademik.[4]
Terkait isu pengampunan pajak, banyak
kalangan yang angkat bicara mengenai ini, karena cakupan pengaruhnya luas. Baik
bagi masyarakat Indonesia di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam hal ini
Muhammadiyah menilai Undang-undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty merugikan
masyarakat kalangan menengah ke bawah.
Hal itu diungkapkan saat Konferensi Pers
soal UU Tax Amnesty di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Menteng, Jakarta Pusat
pada Rabu (31/08/2016).
Masyarakat kini sedang resah kepada
kebijakan pemerintah yang menyebabkan kesenjangan ekonomi, Ditambah dengan
adanya UU Tax Amnesty. Muhammadiyah akan mengajukan Judicial Review (Hak uji
materil) ke Mahkamah Konstitusi, ujar Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, Hak
Asasi Manusia, dan Kebijakan Publik Busyro Muqoddas.
Keputusan Muhammadiyah mengajukan
Juidicial Review UU Tax Amnesty berdasarkan hasil Rapat Kerja Nasional
Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah 26-28 Agustus 2016 lalu di
Yogyakarta.
Di tempat yang sama, Ketua Pimpinan
Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzhar Simanjutak menilai UU Tax Amnesty
mengusung pemufakatan jahat sejak awal, karena dimulai dengan penyusunan UU
Pengampunan Nasional serta bersamaannya dengan UU Revisi KPK.
Ia menambahkan, Tax Amnesty diperuntukan
untuk mengampuni para pengusaha besar yang menyembuyikan uangnya di luar
negeri, namun di lapangan sebaliknya, yang terancam adalah kelompok kecil yang
patuh membayar pajak.
7
|
Mengampuni dosa-dosa koruptor berubah
menjadi tax amnesty, kami melihat sejak awal ada itikad tidak baik dibalik tax
amnesty, ujar Dahnil.
Sementara itu, Forum Indonesia Untuk
Transparansi Anggaran (FITRA) yang juga hadir dalam konferensi tersebut juga
mengungkapkan hal senada dengan Muhammadiyah, yakni UU Tax Amnesty justru
dampaknya mengerikan bagi rakyat kecil, Pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM).
Secara filosofi dasar pembentukan, dan
kebijakan penampunan pajak ini cacat konstitusional. Terbukti tujuan utama
Pengampunan Pajak bukan untuk menambal defisit, sebaliknya untuk memutar roda
bisnis konglomerat, kata Apung Widadi Manager Advokasi dan Investigasu FITRA.
Sama halnya dengan Muhammadiyah, FITRA
dengan Civil Society yang lain akan mengajukan Juidical Review Undang-undang
Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke Mahkamah Konstitusi (MK) ditengah
menurunnya wibawa dan kredibilitas.
Sedangkan dari pihak Nahdlatul Ulama
mempunyai rekomendasi tersendiri terhadap UU Tax Amnesty, hal ini dibahas oleh
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) mengenai
rencana pemerintah untuk mensahkan undang-undang pemutihan pajak terhadap
pengusaha pengemplang pajak yang uangnya diparkir di luar negeri. Setelah
melakukan tashawwurul masalah (pendalaman materi) tentang Tax Amnesty,
forum bahtsul masail PBNU menrekomendasikan lima poin penting untuk pemerintah
dan anggota DPRD yang tengah menggodok UU tersebut.
Lima poin rekomendasi forum bahtsul
masail PBNU mencakup sebagai berikut.
1. Setiap
warga negara yang sudah memenuhi syarat menjadi wajib pajak wajib membayar
pajak dan negara wajib mengelola dana pajak sebaik-baiknya untuk kemaslahatan
rakyat.
2.
Berdasarkan hasil Munas
Alim Ulama NU di Cirebon Tahun 2012 ditegaskan bahwa penegakan hukum/law
enforcement/iqamatul hukmi wal qanun wajib dilakukan tanpa tebang pilih,
baik terhadap aparat perpajakan maupun terhadap wajib pajak yang melakukan
kejahatan perpajakan. Seperti dalam hadist Rasulullah mengenai penegakan hukum,
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah melakukan kerusakan,
bahwa ketika orang kuat mencuri, mereka membiarkannya.
8
|
3. Dan
ketika orang lemah mencuri, mereka memberikan hukuman kepadanya. Demi Allah,
seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya,” (HR
Bukhari dari Aisyah RA).
4. Rancangan
Undang-Undang Tax Amnesty wajib mempertimbangkan aspek maslahat yang muhaqqaqah
(sudah pasti dan konkret) sebagaimana keputusan Muktamar XXXII NU di
Makassar Tahun 2010.
5. Meminta
WNI untuk menyimpan uangnya di Indonesia dan Mendorong pemerintah untuk
memperbaiki sistem perpajakan dan iklim investasi.
Mendorong pemerintah untuk melengkapi
instrumen pajak dengan Polisi Pajak/IRS (Internal Revenue Services)
yang bertugas memastikan uang negara dan setiap transaksi telah dibayar dengan
benar. dan Federasi Pembayar Pajak (Tax Payer Federation) bertugas memastikan
bahwa WP tidak dirugikan oleh pemerintah dan uang dari WP tidak disalahgunakan
oleh pemerintah.[5]
C.
Pandangan Fiqh Kontemporer Mengenai
Tax Amnesty
Pandangan secara Fiqih Kontemporer sebagaimana penjelasan diatas terkait
asal mula adanya pajak dan penggunaanya serta sfesifikasinya maka hukum membayar
pajak bisa menjadi Wajib,
Sunnah Muakadah
bahkan Sunnah serta Haram tergantung
dari posisi subjek pajak nya dan kategori objek pajak harus yang di luar dengan
harta yang di
zakati atau telah selesainya dalam pembayaran zakat, usut punya usut yang di
utamakan adalah zakat dulu untuk menambah devisa baitul maal. Tapi kalau sudah
banyak kurang maka kebijakan Kharaj atau Dharibah bisa di lakukan. Lalu
bagaimana dengan negara yang telah gunakan pajak sebagai iuran dan pendapatan
utama negara seperti di Indonesia Ini ???[6]
Maka jawabanya Bisa Wajib dan Bisa hanya sekedar Sunnah, tinjauan
prespektif agama dalam hal Ini Islam sebagaimana keterangan diatas pajak akan
menjadi wajib apabila baitul mal kosong dan dibebankan kepada masyarakat
melalui persyaratan dan kriterianya jika demikian, maka Kebijakan Tax Amnesty bertentangan
prinsip awalnya, berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan
li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam
rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar
al-khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan
dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar). Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam
al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika
kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh
menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya.[7]
Banyak yang berpendapat bahwa tax
amnesty itu sama saja melegalkan uang haram masuk ke Indonesia, namun
bukan itu tujuan Pemerintahan mengusung tax amnesty, melainkan untuk
mempersiapkan diterapkannya AEoI (Automatic Exchange System of Information)
di tahun 2018, di mana nantinya data-data nasabah perbankan akan menjadi
informasi publik yang dapat diakses di Negara manapun di dunia. Jika dalam
persiapan AEoI ini Indonesia tidak dapat memberikan data yang baik ke Negara
luar makan kondisi kita akan tetap terpuruk.
Namun jika tax amnesty itu
diberikan kepada mereka yang selama ini tidak taat pajak, lalu keuntungan apa
yang didapat bagi wajib pajak yang selama ini taat pada peraturan? Menteri
Keuangan RI menjelaskan bahwa target tax amnesty ini adalah harta si
wajib pajak, bukan dihitung dari pendapatan. Dan harta itu merupakan akumulasi
dari pendapatan-pendapatan sebelumnya juga, maka objek pajaknya akan menjadi
besar. Namun tetap, Pemerintah juga akan memperhatikan keadilan bagi semua
subyek pajak.[8]
Tidak sedikit yang menyangsikan optimisme Pemerintah
tersebut. Pasalnya, orang-orang yang mendapat pengampunan pajak, meskipun
dibebaskan dari segala tuntutan yang terkait dengan pajak dan datanya
dirahasiakan, mereka tidak dijamin dari tuntutan pidana atas tindakan kriminal
yang menjadi sebab kepemilikan aset mereka. Padahal diperkirakan banyak dari
dana-dana yang diparkir di luar negari tersebut berasal dari pendapatan ilegal
seperti pendapatan yang diperoleh dari hasil korupsi, transaksi narkoba,
kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, pertambangan ilegal dan
pembalakan hutan secara liar.
9
|
10
|
Di sisi lain, tax amnesty memberikan rasa
ketidakadilan kepada para wajib pajak yang selama ini taat dalam membayar
pajak. Kebijakan ini dapat memicu wajib pajak yang patuh untuk ikut mengemplang
pajak dengan harapan bahwa suatu saat Pemerintah akan memberikan pengampunan
kepada mereka. Sebagaimana diketahui, Pemerintah Indonesia telah beberapa kali
melakukan pengampunan pajak yakni pada tahun 1964, 1984 dan 2007.[9]
D.
Hukum Tax Amnesty dalam Islam
Dalam
Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik
secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.
Adapun
dalil secara umum, semisal firman Allah.
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
cara yang batil….”[An-Nisa : 29]
Dalam
ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan
jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk
memakan harta sesamanya
Dalam
sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ
مِنْهُ
“Tidak
halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]
Adapun
dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan
ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda.
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
“Sesungguhnya
pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab
Al-Imarah : 7]
Hadits
ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata
:”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh)
Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih
karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.
Namun sebagian ulama berfatwa bahwasannhya pajak yang
diambil secara ‘adil dan memenuhi berbagai syaratnya adalah di perbolehkan,
Pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat untuk
memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa, sedangkan
perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan
tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan bolehnya
menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan mashalih
al-mursalah dan berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li
a’laahuma” (sengaja tidak
mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang
lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i
dlararin ‘aam” (menanggung
kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar).
Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam
al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika
kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh
menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya. Sudah diketahui bahwa
berjihad dengan harta diwajibkan kepada kaum muslimin dan merupakan kewajiban
yang lain di samping kewajiban zakat.
11
|
E.
Kaidah Fiqh
Diperbolehkannya
memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah
untuk kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai
berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan
timbul kemadaratan. Sedangkan mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban.
Sebagaimana kaidah ushul fiqh: “Ma layatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib”.
Oleh
karena itu pajak tidak boleh dipungut dengan cara paksa dan kekuasaan semata,
melainkan karena ada kewajiban kaum muslimin yang dipikulkan kepada Negara,
seperti memberi rasa aman, pengobatan dan pendidikan dengan pengeluaran seperti
nafkah untuk para tentara, gaji pegawai, hakim, dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, pajak memang merupakan kewajiban warga Negara dalam sebuah Negara
muslim, tetapi Negara berkewajiban pula untuk memenuhi dua kondisi (syarat):
penerimaan hasil-hasil pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan
secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan pajak, Dan
Pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata di antara mereka
yang wajib membayarnya.[10]
12
|
PENUTUP
Tax
amnesty adalah suatu kebijakan dimana yang namanya kebijakan tidaklah berlaku
selamanya atau continue. Hanya dikeluarkan dan diberlakukan selagi masih
diperlukan untuk memperbaiki sistem yang kurang baik. Namun dalam mengeluarkan
kebijakan harus dipikirkan sebab –akibat yang akan terjadi apalagi mengenai
pajak. Dalam Islam menarik pajak saja banyak ulama yang berbeda pendapat. Dan
jika ada ulama yang membolehkan itu juga jika kas baitul maal kosong. Artinya
negara tidak mampu membiayai pengeluaran negara dengan hanya mengandalkan kas
baitul maal sehingga diperbolehkannya memungut pajak.
Dalam
tax amnesty ini perlu diluruskan bahwa tujuan pemerintah adalah baik bagaimana
cara untuk menarik uang warga negara Indonesia yang begitu banyaknya disimpan
diluar negeri agar ditarik lalu mereka menyimpannya didalam negeri. Yaitu salah
satu caranya dengan mengeluarkan kebijakan tax amnesty ini. Karena dengan
mereka menyimpan uangnya didalam negeri, perekonomian Indonesia akan semakin
membaik dan kesejahteraan perekonomianpun akan dapat kita rasakan. Dan sudah tentu
dari paparan diatas, kebijakan ini memiliki mashlahat yang lebih besar daripada
mudhorotnya.
13
|
DAFTAR PUSTAKA
14
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar