Rabu, 14 Desember 2016

Lia Nur Alifah - Tax Amnesty



TAX AMNESTY
Makalah ini Disusun dan Diajukan untuk memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu :
Dr. Faqiuddin Abdul Kodir, Lc. MA




 


Disusun oleh:
Lia Nur Alifah (1413223073)


Fakultas Syariah / Muamalah 1 / Semester VII

KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
Tahun 2016


MASAIL UL-FIQHIYAH
TAX AMNESTY

Lia Nur Alifah
Fakultas Syariah & Ekonomi Islam
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
E-mail: lianuralifah@gmail.com


Abstrak: Tax Amnesty Perspektif Fiqh. Pajak (dharibah) sampai sekarang masih terjadi pro dan kontra dikalangan ulama-ulama, begitupun dengan kebijakan didalamnya yaitu salah satunya kebijakan tax amnesty. Studi ini bermaksud menggali pandangan ulama fikih terhadap tax amnesty (pengampunan pajak) dan bagaimana upaya preventif dari kebijakan tax amnesty tersebut. Menurut Fikih Islam, tentang tax amnesty tergantung bagaimana orang tersebut menilai “pajak” itu sendiri. Apabila dia berkata pajak itu haram, maka segala kebijakan mengenai pajak adalah haram. Namun apabila orang tersebut memandang bahwa pajak itu halal maka segala kebijakan mengenai pajak adalah halal. Kebijakan pajak diambil harus dengan adil, dan untuk kepentingan umum serta demi kesejahteraan masyarakat. Dalam tulisan inipun Islam memberikan solusi bagaimana Islam menjawab semua problematika perekonomian negara.

Kata Kunci: kebijakan tax amnesty, fikih Islam.
1
 




PENDAHULUAN

Berlaku Global - Tax amnesty is a limited-time opportunity for a specified group of taxpayers to pay a defined amount, in exchange for forgiveness of a tax liability (including interest and penalties) relating to a previous tax period or periods and without fear of criminal prosecution. Menurut "PMK No. 118/PMK.03/2016" Tax Amnesty adalah adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak. Latar belakang Tax Amnesty atau mengapa Indonesia perlu memberikan tax amnesty kepada para pembayar pajak (wajib pajak) diantaranya adalah sebagai berikut :
1.       Penyebab Pertama Indonesia memberlakukan Tax Amnesty adalah karena terdapat Harta milik warga negara baik di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; 
  1. Tax Amnesty adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak;
  2. Kasus Panama Pappers
Dari ketiga latar belakang tax amnesty tersebut maka presiden republik Indonesia pada tanggal 1 Juli 2016 mengesahkan Undang Undang Tax Amnesty Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.[1]
Menurut Presiden Jokowi, tax amnesty bukan sekedar pengampunan pajak yang hanya akan menguntungkan sebagian pihak semata. Terlebih, tax amnesty memiliki esensi repatriasi bagi warga Negara Indonesia, bagaimana agar uang orang Indonesia yang terlanjur mengendap di luar negeri itu kembali masuk ke Indonesia. Tahun 2018 kita memang akan memasuki era keterbukaan informasi, namun jika tax amnesty itu diberikan kepada mereka yang selama ini tidak taat pajak, lalu keuntungan apa yang didapat bagi wajib pajak yang selama ini taat pada peraturan?
2
3


Menteri Keuangan RI menjelaskan bahwa target tax amnesty ini adalah harta si wajib pajak, bukan dihitung dari pendapatan. Dan harta itu merupakan akumulasi dari pendapatan-pendapatan sebelumnya juga, maka objek pajaknya akan menjadi besar. Namun tetap, Pemerintah juga akan memperhatikan keadilan bagi semua subyek pajak.
Soal keadilan pada subyek wajib pajak, melalui moratorium pemeriksaan pajak dapat menjadi insentif wajib pajak yang selama ini taat peraturan. Meskipun memang bagi yang sudah dikabulkan tax amnesty-nya, maka pajak 5 tahun lalu tidak akan berubah diubah lagi. Namun, kebijakan tax amnesty juga dapat digulirkan nantinya bagi para pengusaha kecil, dengan tarif 1% misalnya dan itu bersifat final.[2]
Dalam ajaran Islam,  kewajiban utama kaum muslim atas harta adalah zakat. Ulama berbeda pendapat terkait apakah ada kewajiban kaum muslim atas harta selain zakat. Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya kewajiban kaum muslim atas harta. Di sisi lain ada pendapat ulama bahwa dalam harta kekayaan ada kewajiban lain selain zakat. Jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa kewajiban atas harta yang wajib adalah zakat, namun jika datang kondisi yang menghendaki adanya keperluan tambahan (darurah), maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah). Pendapat ini misalnya dikemukakan oleh Qadhi Abu Bakar Ibn al-Aarabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam Syatibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain. Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah untuk kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadaratan. Sedangkan mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban.
Karakteristik pajak (dharibah) menurut Syariat, yang hal ini membedakannya dengan pajak konvensional adalah sebagai berikut: (a) Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinyu, hanya boleh dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau kurang. (b) Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. (c) Pajak (dharibah) hanya diambil dari kaum muslim, tidak kaum non-muslim.
4
 
(d) Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainnya. (e) Pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih. (f) Pajak (dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan.[3]
Dari latar belakang inilah perlu dikaji mengenai tax amnesty, apakah kebijakan ini mashlahat atau tidak? Dan apakah kebijakan ini adil untuk masyarakat serta demi kepentingan umum?

 
A.    Tax Amnesty
Menurut UU No 11 tahun 2016  Pasal 1 tentang amnesty pajak menjelaskan bahwa amnesty pajak ialah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi admisnistrasi perpajakan dan sanksi pidana dibidang perpajakan, dengan cara mengungkapkan harta dan membayar uang tebusan sebagimana diatur dalam UU.
Program Amnesty Pajak ini diusulkan akibat adanya kasus PANAMA PAPERS yang tercuat dimedia yang mana kasus ini ialah adanya WNI yang menaruh uangnya di negara lain yang jumlahnya kurang lebih ribuan triliyunan rupiah yang berdalih bahwa menaruh uang diluar negeri lebih aman karena tidak dikenakan pajak oleh negara. Hal ini yang membuat pemerintah indonesia berinisiatif untuk menarik kembali dana WNI ke dalam negeri dengan adanya Amnesty Pajak.
Dalam undang-undang ini tarif uang tebusan atas harta baik berada dalam negeri atau luar negari dibagi menjadi 3 periode yaitu 2% untu bulan juli-september 2016, 3% untuk oktober-desember 2016, dan 5 % terhitung dari 1 januari 2017- 31 maret 2017. Lain hal jika harta yang berada di luar negeri tidak ingin dipindahkan ke dalam negeri maka tarif tebusannya dibagi 3 peiode ialah 4% untuk bulan juli-september 2016, 6% untuk bulan oktober-desember 2016 dan 10% terhitung dari 1 januari 2017-31 maret 2017.

B.     Pro dan Kontra Tax Amnesty
Kebijakan tax amnesty ini begitu banyak pro kontra. Secara pro para konglomerat dan pengusaha besar akan terampuni pajaknya sedangkan masyarakat umum yang perekonomiannya menengah kebawah merasa tertindas, secara meraka dipaksa untuk membayar pajak tiap tahun tanpa ampun tapi para pengusaha diberikan fasilitas pengampunan pajak ini benar-benar menjadi dilematis pemerintah.
Dilansir berita online Kompas.com senin, 29 agustus 2016. Bahwa PP MUHAMMADIYAH melakukan gugatan UU Tax amnesty karena merasa prgram ini begitu banyak ganjalan.  Menurut PP Muhamamdiyah, ada beberapa alasan untuk menggugat tax amnesty ini. Pertama, melencengnya tujuan awal tax amnesty.  "Kebijakan ini melenceng dari tujuan, dan akan membebani masyarakat," tandas  Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Syaiful Bahri, Minggu (28/8/2016).
5
6


PP Muhammadiyah menilai, tujuan tax amnesty adalah memberikan pengampunan ke para konglomerat yang memarkirkan dananya di luar negeri agar dapat dikembalikan ke dalam negeri.   Kenyataanya, aturan ini meluas hingga rakyat biasa juga diwajibkan ikut program ini. Jika tidak ikut, kena sanksi," katanya. Padahal, rakyat tak punya kesalahan seperti yang dilakukan oleh para pengusaha yang menaruh dananya di luar negeri. Dengan begitu, aturan itu menyamakan rakyat dengan para konglomerat yang menghindari pajak.  Kedua, pembahasan UU Pengampunan Pajak tidak transparan, karena dilakukan dengan cepat dan tanpa naskah akademik.[4]
Terkait isu pengampunan pajak, banyak kalangan yang angkat bicara mengenai ini, karena cakupan pengaruhnya luas. Baik bagi masyarakat Indonesia di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam hal ini Muhammadiyah menilai Undang-undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty merugikan masyarakat kalangan menengah ke bawah.
Hal itu diungkapkan saat Konferensi Pers soal UU Tax Amnesty di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Menteng, Jakarta Pusat pada Rabu (31/08/2016).
Masyarakat kini sedang resah kepada kebijakan pemerintah yang menyebabkan kesenjangan ekonomi, Ditambah dengan adanya UU Tax Amnesty. Muhammadiyah akan mengajukan Judicial Review (Hak uji materil) ke Mahkamah Konstitusi, ujar Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Kebijakan Publik Busyro Muqoddas.
Keputusan Muhammadiyah mengajukan Juidicial Review UU Tax Amnesty berdasarkan hasil Rapat Kerja Nasional Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah 26-28 Agustus 2016 lalu di Yogyakarta.
Di tempat yang sama, Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzhar Simanjutak menilai UU Tax Amnesty mengusung pemufakatan jahat sejak awal, karena dimulai dengan penyusunan UU Pengampunan Nasional serta bersamaannya dengan UU Revisi KPK.
Ia menambahkan, Tax Amnesty diperuntukan untuk mengampuni para pengusaha besar yang menyembuyikan uangnya di luar negeri, namun di lapangan sebaliknya, yang terancam adalah kelompok kecil yang patuh membayar pajak.
7
 
Mengampuni dosa-dosa koruptor berubah menjadi tax amnesty, kami melihat sejak awal ada itikad tidak baik dibalik tax amnesty, ujar Dahnil.
Sementara itu, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang juga hadir dalam konferensi tersebut juga mengungkapkan hal senada dengan Muhammadiyah, yakni UU Tax Amnesty justru dampaknya mengerikan bagi rakyat kecil, Pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM).
Secara filosofi dasar pembentukan, dan kebijakan penampunan pajak ini cacat konstitusional. Terbukti tujuan utama Pengampunan Pajak bukan untuk menambal defisit, sebaliknya untuk memutar roda bisnis konglomerat, kata Apung Widadi Manager Advokasi dan Investigasu FITRA.
Sama halnya dengan Muhammadiyah, FITRA dengan Civil Society yang lain akan mengajukan Juidical Review Undang-undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke Mahkamah Konstitusi (MK) ditengah menurunnya wibawa dan kredibilitas.
Sedangkan dari pihak Nahdlatul Ulama mempunyai rekomendasi tersendiri terhadap UU Tax Amnesty, hal ini dibahas oleh Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) mengenai rencana pemerintah untuk mensahkan undang-undang pemutihan pajak terhadap pengusaha pengemplang pajak yang uangnya diparkir di luar negeri. Setelah melakukan tashawwurul masalah (pendalaman materi) tentang Tax Amnesty, forum bahtsul masail PBNU menrekomendasikan lima poin penting untuk pemerintah dan anggota DPRD yang tengah menggodok UU tersebut.
Lima poin rekomendasi forum bahtsul masail PBNU mencakup sebagai berikut.
1.      Setiap warga negara yang sudah memenuhi syarat menjadi wajib pajak wajib membayar pajak dan negara wajib mengelola dana pajak sebaik-baiknya untuk kemaslahatan rakyat.
2.      Berdasarkan hasil Munas Alim Ulama NU di Cirebon Tahun 2012 ditegaskan bahwa penegakan hukum/law enforcement/iqamatul hukmi wal qanun wajib dilakukan tanpa tebang pilih, baik terhadap aparat perpajakan maupun terhadap wajib pajak yang melakukan kejahatan perpajakan. Seperti dalam hadist Rasulullah mengenai penegakan hukum, Artinya, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah melakukan kerusakan, bahwa ketika orang kuat mencuri, mereka membiarkannya.
8
 
3.      Dan ketika orang lemah mencuri, mereka memberikan hukuman kepadanya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya,” (HR Bukhari dari Aisyah RA).
4.      Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty wajib mempertimbangkan aspek maslahat yang muhaqqaqah (sudah pasti dan konkret) sebagaimana keputusan Muktamar XXXII NU di Makassar Tahun 2010.
5.      Meminta WNI untuk menyimpan uangnya di Indonesia dan Mendorong pemerintah untuk memperbaiki sistem perpajakan dan iklim investasi.
Mendorong pemerintah untuk melengkapi instrumen pajak dengan Polisi Pajak/IRS (Internal Revenue Services) yang bertugas memastikan uang negara dan setiap transaksi telah dibayar dengan benar. dan Federasi Pembayar Pajak (Tax Payer Federation) bertugas memastikan bahwa WP tidak dirugikan oleh pemerintah dan uang dari WP tidak disalahgunakan oleh pemerintah.[5]

C.    Pandangan Fiqh Kontemporer Mengenai Tax Amnesty
Pandangan secara Fiqih Kontemporer sebagaimana penjelasan diatas terkait asal mula adanya pajak dan penggunaanya serta sfesifikasinya maka hukum membayar pajak bisa menjadi Wajib, Sunnah Muakadah bahkan Sunnah serta Haram tergantung dari posisi subjek pajak nya dan kategori objek pajak harus yang di luar dengan harta yang di zakati atau telah selesainya dalam pembayaran zakat, usut punya usut yang di utamakan adalah zakat dulu untuk menambah devisa baitul maal. Tapi kalau sudah banyak kurang maka kebijakan Kharaj atau Dharibah bisa di lakukan. Lalu bagaimana dengan negara yang telah gunakan pajak sebagai iuran dan pendapatan utama negara seperti di Indonesia Ini ???[6]
Maka jawabanya Bisa Wajib dan Bisa hanya sekedar Sunnah, tinjauan prespektif agama dalam hal Ini Islam sebagaimana keterangan diatas pajak akan menjadi wajib apabila baitul mal kosong dan dibebankan kepada masyarakat melalui persyaratan dan kriterianya jika demikian, maka Kebijakan Tax Amnesty bertentangan prinsip awalnya, berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar). Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya.[7]
Banyak yang berpendapat bahwa tax amnesty itu sama saja melegalkan uang haram masuk ke Indonesia, namun bukan itu tujuan Pemerintahan mengusung tax amnesty, melainkan untuk mempersiapkan diterapkannya AEoI (Automatic Exchange System of Information) di tahun 2018, di mana nantinya data-data nasabah perbankan akan menjadi informasi publik yang dapat diakses di Negara manapun di dunia. Jika dalam persiapan AEoI ini Indonesia tidak dapat memberikan data yang baik ke Negara luar makan kondisi kita akan tetap terpuruk.
Namun jika tax amnesty itu diberikan kepada mereka yang selama ini tidak taat pajak, lalu keuntungan apa yang didapat bagi wajib pajak yang selama ini taat pada peraturan? Menteri Keuangan RI menjelaskan bahwa target tax amnesty ini adalah harta si wajib pajak, bukan dihitung dari pendapatan. Dan harta itu merupakan akumulasi dari pendapatan-pendapatan sebelumnya juga, maka objek pajaknya akan menjadi besar. Namun tetap, Pemerintah juga akan memperhatikan keadilan bagi semua subyek pajak.[8]
Tidak sedikit yang menyangsikan optimisme Pemerintah tersebut. Pasalnya, orang-orang yang mendapat pengampunan pajak, meskipun dibebaskan dari segala tuntutan yang terkait dengan pajak dan datanya dirahasiakan, mereka tidak dijamin dari tuntutan pidana atas tindakan kriminal yang menjadi sebab kepemilikan aset mereka. Padahal diperkirakan banyak dari dana-dana yang diparkir di luar negari tersebut berasal dari pendapatan ilegal seperti pendapatan yang diperoleh dari hasil korupsi, transaksi narkoba, kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, pertambangan ilegal dan pembalakan hutan secara liar.
9

10
Jika para penegak hukum dapat melacak sumber pendapatan tersebut maka wajib pajak pelapor dapat diseret ke meja hijau. Bagi para pemilik dana akan lebih aman menyimpan dana mereka di luar negeri terutama di negara-negara yang pajaknya rendah (tax haven) seperti Singapura.
Di sisi lain, tax amnesty memberikan rasa ketidakadilan kepada para wajib pajak yang selama ini taat dalam membayar pajak. Kebijakan ini dapat memicu wajib pajak yang patuh untuk ikut mengemplang pajak dengan harapan bahwa suatu saat Pemerintah akan memberikan pengampunan kepada mereka. Sebagaimana diketahui, Pemerintah Indonesia telah beberapa kali melakukan pengampunan pajak yakni pada tahun 1964, 1984 dan 2007.[9]

D.    Hukum Tax Amnesty dalam Islam
Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.
Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah.

تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-Nisa : 29]

Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]

Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.
Namun sebagian ulama berfatwa bahwasannhya  pajak yang diambil secara ‘adil dan memenuhi berbagai syaratnya adalah di perbolehkan, Pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa, sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan mashalih al-mursalah dan berdasarkan kaidahtafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma(sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i dlararin ‘aam(menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar).
Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya. Sudah diketahui bahwa berjihad dengan harta diwajibkan kepada kaum muslimin dan merupakan kewajiban yang lain di samping kewajiban zakat.
11
 


E.     Kaidah Fiqh
Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah untuk kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadaratan. Sedangkan mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah ushul fiqh: “Ma layatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib”.
Oleh karena itu pajak tidak boleh dipungut dengan cara paksa dan kekuasaan semata, melainkan karena ada kewajiban kaum muslimin yang dipikulkan kepada Negara, seperti memberi rasa aman, pengobatan dan pendidikan dengan pengeluaran seperti nafkah untuk para tentara, gaji pegawai, hakim, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pajak memang merupakan kewajiban warga Negara dalam sebuah Negara muslim, tetapi Negara berkewajiban pula untuk memenuhi dua kondisi (syarat): penerimaan hasil-hasil pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan pajak, Dan Pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata di antara mereka yang wajib membayarnya.[10]
12
 


PENUTUP

Tax amnesty adalah suatu kebijakan dimana yang namanya kebijakan tidaklah berlaku selamanya atau continue. Hanya dikeluarkan dan diberlakukan selagi masih diperlukan untuk memperbaiki sistem yang kurang baik. Namun dalam mengeluarkan kebijakan harus dipikirkan sebab –akibat yang akan terjadi apalagi mengenai pajak. Dalam Islam menarik pajak saja banyak ulama yang berbeda pendapat. Dan jika ada ulama yang membolehkan itu juga jika kas baitul maal kosong. Artinya negara tidak mampu membiayai pengeluaran negara dengan hanya mengandalkan kas baitul maal sehingga diperbolehkannya memungut pajak.
Dalam tax amnesty ini perlu diluruskan bahwa tujuan pemerintah adalah baik bagaimana cara untuk menarik uang warga negara Indonesia yang begitu banyaknya disimpan diluar negeri agar ditarik lalu mereka menyimpannya didalam negeri. Yaitu salah satu caranya dengan mengeluarkan kebijakan tax amnesty ini. Karena dengan mereka menyimpan uangnya didalam negeri, perekonomian Indonesia akan semakin membaik dan kesejahteraan perekonomianpun akan dapat kita rasakan. Dan sudah tentu dari paparan diatas, kebijakan ini memiliki mashlahat yang lebih besar daripada mudhorotnya.
13
 


DAFTAR PUSTAKA

14
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar